Setelah Ray Dalio Memberi Pesan

Presiden Prabowo Subianto mengundang Ray Dalio ke Istana Negara. Dalio adalah pendiri hedge fund Bridgewater Associates yang mengelola dana 112 miliar dollar AS. Penulis buku best seller Principles for Dealing with The Changing World Order Why Nations Succeed and Fail (2021) ini diminta Presiden Prabowo untuk berbicara di depan sejumlah menteri, pengurus Kadin, dan sejumlah konglomerat Indonesia. Dalio menyampaikan dua masalah bangsa yang harus ditangani secara serius: reformasi birokrasi dan maraknya korupsi! Dalio kini menjadi Dewan Penasihat Danantara.

Pesan Dalio bukanlah hal baru. Sejumlah ahli Indonesia sudah mengetahui bahwa problem terbesar bangsa ini adalah maraknya korupsi. Bahkan, Presiden Prabowo dalam buku Paradoks Indonesia (2023), dengan mengutip Litbang KPK (2019), menyebut potensi kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun mencapai Rp2.800 triliun. Masalahnya, di kalangan elite Indonesia, termasuk di pemerintahan Presiden Prabowo, masih ada yang berpandangan, โ€korupsi adalah oli pembangunanโ€, dan menganggap โ€OTT adalah kampunganโ€.

Padahal sudah ada โ€dokumen pertobatanโ€ kenegaraan, seperti Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi komitmen bangsa untuk memerangi korupsi tanpa pandang bulu.

Tap MPR ini adalah fondasi lahirnya komisi independen untuk memberantas korupsi. Tap MPR itu lahir dengan lumuran darah mahasiswa akibat bentrokan dengan aparat di hari terakhir Sidang Istimewa MPR, 13 November 1998.

Bagaimana mendesain badan antikorupsi, juga pernah disarankan Jon ST Quah (2008), pakar antikorupsi di Asia. Ada tiga pola. Pertama, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi, tetapi tidak memiliki badan independen. Kedua, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi, dengan banyak badan pemberantasan korupsi. Ketiga, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi dan punya satu badan independen.

Quah berpendapat, pola ketiga adalah yang paling efektif dan lembaga independen tidak mudah dibelokkan ke prioritas lain. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003- 2019 mengacu pada pola ketiga Quah. Namun, setelah revisi UU KPK, pemberantasan korupsi tak berpola.

Membunuh komisi independen

Sejarah mengajarkan untuk menyelesaikan problem di Tanah Air, tetapi masalahnya bukanlah pada teori dan aplikasi. Secara agak sinikal, Mahfud MD pernah menulis di Harian Kompas pada 2005: โ€Sudah Habis Teori di Gudangโ€, tetapi masalah di Indonesia tidak pernah bisa terselesaikan.

Untuk menyelesaikan problem hak asasi manusia (HAM), teori mengajarkan dibutuhkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, setelah Komnas HAM terbentuk, masalah pelanggaran HAM masa lalu tidak kunjung juga terselesaikan.

Untuk mengatasi korupsi di lingkungan peradilan, dibutuhkan Komisi Yudisial untuk mengawasi peradilan dan rekrutmen hakim agung. Namun, selain ada komisioner Komisi Yudisial yang terjerat korupsi, praktis korupsi hakim agung juga tidak reda.

Untuk mengatasi korupsi, perlu dibentuk komisi independen, tetapi korupsi tetaplah merajela. Paling tidak sudah ada 12 komisi independen sejak Orde Lama sampai Orde Reformasi. Namun, nasibnya sama, yakni dimatikan, dibiarkan mati, mati sendiri, atau mati sebelum berkembang.

Jadi, menurut Bambang Widjojanto dalam buku Jangan Bunuh KPK (2016) yang ditulis Denny Indrayana, โ€membunuhโ€ atau โ€mematikanโ€ lembaga antikorupsi bukan sesuatu yang ditabukan. Sejarah memberikan data empirik yang meyakinkan. Patronase politik tak menghendaki agresivitas pemberantasan korupsi.

Politik kekuasaan

Semua problem di atas, termasuk identifikasi Dalio, sangat tergantung pada satu kata: politik kekuasaan. Apakah kekuasaan mempunyai niat untuk menyelesaikan dua masalah di atas: reformasi birokrasi dan maraknya korupsi.

Kita lihat bagaimana nasib KPK. Ketika KPK mampu membawa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia ke skor 40โ€”tertinggi dalam sejarah Indonesiaโ€”pada tahun 2019, dengan jumlah tangkap tangan terbesar; KPK justru dilemahkan melalui revisi UU KPK. Menyusul, setelahnya, pembersihan terhadap pegawai KPK, kemudian DPR memilih sosok komisioner KPK yang kontroversial dan ini mengarahkan pada pelemahan demokrasi Indonesia.

Ketika Quah mengatakan, perlunya badan tunggal pemberantasan korupsi, yang terjadi justru memperluas kewenangan polisi dengan memberi keleluasaan Polri membentuk Korps Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2024 dan mendorong atau mengumpani Kejaksaan Agung mengungkap kasus besar, seperti Asabri, Jiwasraya, PT Timah, dan Pertamina, dengan klaim kerugian yang demikian besar. Terjadi penormalan dari KPK sebagai badan tunggal, dan dikembalikan ke posisi status quo,dengan memberikan ruang bagi Polri dan kejaksaan.

Praktik politik di Indonesia kerap berkebalikan dengan teori-teori politik Barat.
Ketika teori politik mengatakan bahwa kekuasaan membutuhkan kontrol di luar kekuasaan, yang terjadi semua kekuatan politik, ormas, dan kampus dicoba ditarik masuk ke dalam kekuasaan atau dalam pengaruh kekuasaan.

Ketika badan investasi harus dijauhkan dari politisasi kekuasaan, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika semangat reformasi 1998 di jalanan meneriakkan basmi KKN, era pasca-Reformasi menjadi NKK. Narik Kawan-kawan.

Praktik politik menjadi sangat Laswellian: who gets what, when, dan how. Bagaimana struktur birokrasi pemerintahan ditopang oleh pilar-pilar yang terikat dengan patronase partai politik, patronase ormas, patronase kedaerahan.

Ketika pengurus partai politik mendapatkan kekuasaan, bagaimana dia membagi kekuasaan dengan menempatkan kawan-kawannya dalam birokrasi kekuasaan. Praktik yang dijalankan bukanlah meritokrasi seperti di Singapura, tetapi koncoisme atau nepotisme.

Tindakan konkret

Resep Dalio menunggu olahan Presiden Prabowo Subianto. Dari narasi besar antikorupsi, narasi Presiden Prabowo tidak perlu diragukan. Presiden Prabowo akan mengejar koruptor sampai ke Antartika.
Sebelum ke Antartika, mungkin bisa dilakukan pembersihan di antar-kita sesama elite dan tinggal di Jakarta. Yang ditunggu adalah tindakan politik konkretnya. Akankah Presiden Prabowo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang (Perppu) tentang Omnibus Law Pemberantasan Korupsi?
Mengapa perppu? Ini bisa jadi jawaban Presiden Prabowo soal kedaruratan korupsi. Omnibus Law Pemberantasan Korupsi diperlukan untuk menata ulang lembaga antikorupsi.

Pemberantasan korupsi hendak menjadi badan tunggalโ€”di mana KPK menjadi โ€pusatโ€ atau koordinator atau berbagi tugas antara KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung agar โ€kompetisiโ€ di antara lembaga penegak hukum ini sehat dan tidak saling โ€sanderaโ€.
Atau mengembalikan resep pemberantasan korupsi Quah dengan memberikan otonomi penuh untuk memberantas korupsi di Tanah Air.

Dalam kasus penyuapan hakim kasus Ronald Tanur, kejaksaan menjalankan peran menyelidiki, menyidik, menuntut, dan membawa kasus itu ke pengadilan. Tiga fungsi berada di satu tangan. Kejaksaan berfokus pada suap, tetapi tidak pada tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Zarof Rizar. Di rumah Zarof ditemukan barang bukti berupa uang yang katanya hampir Rp1 triliun. Uang dari siapa? Dan, siapa yang mau menyupervisi? Padahal itu adalah pintu masuk untuk membongkar jaringan mafia peradilan di negara ini.

Buku karya Ray Dalio berjudul Why Nations Succeed and Fail.

Siklus sebuah bangsa

Kembali pada Dalio, dalam bukunya, Dalio membeberkan sejarah bangsa-bangsa. Siklus sejarah ekonomi, politik, dan kekuatan global yang menyebabkan naik turunnya negara besar dalam sistem dunia.

Dalio menggunakan pendekatan berbasis data untuk memahami pola perubahan tatanan dunia yang berulang dalam sejarah. Pola siklus peradaban yang berulang dalam sejarah, di mana negara besar mengalami fase kebangkitan, kejayaan, dan kejatuhan. Artinya ada fase kejatuhan sebuah bangsa.
Siklus kekuasaan dalam tataran global dimulai dengan awal kebangkitan. Negara membangun ekonomi kuat, dan memperkuat struktur sosial. Masa keemasan adalah di mana negara mencapai puncak kekuasaan ekonomi, militer, dan pengaruh global. Fase kemunduran dan krisis ditandai dengan ketimpangan sosial, utang tinggi, serta ketidakstabilan politik mulai muncul.
Secara relatif, Indonesia pernah mengalami fase kejayaan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi dua digit (1970) dan stabilitas politik di era Orde Baru, tetapi kemudian jatuh akibat ketimpangan sosial, korupsi, dan kesenjangan ekonomi. Perpecahan internal, ketimpangan sosial, dan korupsi sering kali menjadi tanda awal kemunduran negara.

Tren demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, sebagaimana disampaikan Economist Intelligence Unit (EIU), mengalami kemunduran.

Indikasi kemunduran itu bisa dilihat dari pelemahan lembaga independen, penggunaan hukum sebagai alat politik sebagaimana disebut Thomas Power (2018) sebagai the executive weaponization of law enforcement atau penggelembungan kekuasaan eksekutif (executive aggrandizement, Bermeo), regresi demokrasi (Levitsky, Ziblatt, Bermeo, Power), serta terjadinya konsolidasi oligarki kapital dan politik.

Dengan menggunakan analisis Dalio, sejumlah langkah konkret perlu dipikirkan untuk mencegah kemunduran demokrasi makin dalam. Itu, di antaranya, memperkuat institusi demokrasi. Negara yang akan tetap kuat dalam jangka panjang adalah negara yang menjaga hukum dan institusi independen, serta mengurangi ketimpangan ekonomi dan menjaga netralitas dalam geopolitik. Dan jangan lupa, untuk mengembalikan dan memperkuat KPK guna menjawab Dalio: pemberantasan korupsi. (artikel ini telah dimuat Harian Kompas, 20 Maret 2025)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *