Tak Kunjung Maju, Choirul Anam: Indonesia Bangsa Tak Berkomitmen

“…tidak hanya pemerintahan loh, masyarakatnya juga enggak ada komitmen terhadap penegakan hukum itu,”

โ€”Komisioner Kompolnas, Choirul Anam

Tahun 2025 ini, Indonesia akan genap berusia 80 tahun. Namun, sebagai negara dan bangsa yang merdeka, mengapa Indonesia belum juga menjadi negara maju?

Padahal, jika ditilik dari kekayaan sumber daya alam, budaya, juga posisinya secara geografis, negeri ini memiliki potensi begitu besar untuk muncul menjadi negara hebat.

Sayangnya, Indonesia masih jauh tertinggal jika dibandingkan, katakanlah dengan Singapura dan Korea Selatan. Tertinggal secara perekonomi, pendidikan, kualitas manusia, teknologi, dan berbagai aspek lainnya.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M. Choirul Anam menyebut ada satu masalah utama yang membuat langkah Indonesia menjadi negara maju terhambat. Masalah itu terletak pada tidak adanya komitmen.

“Karena bidang saya bidang hukum dan hak asasi manusia, (saya melihat Indonesia) enggak ada komitmen soal penegakan hukum dan hak asasi manusia, itu enggak ada komitmennya, rendah sekali,” kata Anam saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo dalam siniar Back to BDM.

Komitmen tinggi dari semua pihak baru akan muncul ketika terjadi kasus-kasus yang ramai diperbincangkan publik. Namun, komitmen yang sama tidak bisa ditemukan di kehidupan sehari-hari dalam bernegara dan bermasyarakat.

“Dan ini tidak hanya pemerintahan loh, masyarakatnya juga enggak ada komitmen terhadap penegakan hukum itu. Satu sak karepnya sendiri, kedua ya gampang-gampang terus nyogok dan sebagainya Itu loh. jadi gak ada komitmen termasuk juga menghormati orang dalam konteks hak asasi manusia hormat menghormati juga enggak ada komitmen,” jelas dia.

Padahal, Indonesia sebelumnya dikenal sebagai negara di Asia yang masih memegang norma ketimuran, dimana sopan santun, adab, dan saling menghormati sangat dijunjung tinggi.

Namun, bagi Anam hal itu hanya tersisa jargon semata. Bahkan, pada titik tertentu, masyarakat Indonrsia dipandang masih kerap menggunakan ras sebagai bahan ejekan yang sebenarnya menutupi rasa kecemburuan yang ada. “Dasar China”, “Dasar Jawa”, Dasar Batak”, demikian Anam memberi contoh.

“Jangan dong gitu, ras itu kan enggak boleh itu kan (dijadikan ejekan), enggak hormatin orang. Kalau kita perspektifnya setara, kita bisa kerja sama. Kalau kita bisa kerja sama dengan semua orang pasti kita punya modalitas untuk membangun negara ini dengan begitu maju,” sebut mantan Komisioner Komnas HAM itu.

Komisioner Kompolnas Choirul Anam dalam Back to BDM.

Jika hal itu dimiliki oleh Indonesia, ditambah dengan perbaikan aspek penegakan hukum yang kini babak belur, maka menjadikan negara ini maju pesat di segala bidang bukan hal yang terlalu berat.

Negara maju, negara yang diidam-idamkan oleh Anam bukanlah negara yang melejit dengan ekonomi supernya. Tidak perlu muluk-muluk.

Bagi Anam, negara maju adalah negara yang bisa membahagiakan rakyatnya, kesejahteraan terdistribusi merata, para pemimpin bisa menjadi figur panutan, tingkat partisipasi masyarakatnya tinggi dalam proses berkehidupan bernegara.

Ia menyebut negara Skandinavia sebagai salah satu contoh negara ideal baginya.

“Skandinavia itu kan dikatakan negara kaya masyarakatnya gak kaya-kaya amat, yang punya mobil hitungan jari. Dikatakan gak bahagia kesan saya kok mereka bahagia, dikatakan mereka kekurangan kok semua bisa makan bisa sekolah, tingkat kecerdasan juga tinggi,” ujar dia.

Begitu pula ia berharap pada Indonesia agar negeri ini bisa sejahtera dan segala keberagaman di dalamnya tetap terjaga. Tak harus kaya raya, tapi tak ada masyarakat yang kesulitan makan, akses pendidikan, akses kesehatan. Semua tercukupi, semua merasakan kesejahteraan.

Hal lain, toleransi menyikapi perbedaan harus terus ditumbuhkembangkan.

“Klau kita enggak toleran itu spirit ruang hidup kita akan enggak kuat, karena salah satu tantangan negara yang kayak Skandinavia dan sebagainya, tantangan yang sifatnya sangat fundamen adalah watak toleransi,” Anam kembali mengacu pada Skandinavia.

Terakhir, untuk mencapai Indonesia maju, Anam berpesan agar tidak terjadi disintegrasi di tengah masyarakat. Bukan masyarakat atau pihak eksternal yang menyebabkan potensi disintegrasi terbuka, tapi justru pemerintah. Bagaimana bisa?

Pemerintah yang tidak peka terhadap dinamika atau gejolak yang terjadi di masyarakat, pemerintah yang kaku dan merasa paling bijak dengan segala keputusannya, dialah yang akan menyebabkan ancaman disintegrasi menguat.

“Dengan masyarakat yang sangat terbuka kayak begini, semua orang bisa ngomong dan sebagainya. Kalau pemerintahnya tidak menginsafi kondisi ini, terus beradaptasi di sini, dan merasa bahwa dia paling benar, paling berkuasa, dialah faktor pemicu disintegrasi bangsa , bukan masyarakatnya,” papar Anam.

“Kita belum siap di situ. Orang masih kupingnya masih panas kena lagu kena gitu aja, kupingnya masih panas kena ayo kita kabur dulu aja, kupingnya masih panas Indonesia gelap, kupingnya masih panas,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *