Choirul Anam Soal TWK KPK: Kepentingan Politiknya Besar

“…Ada operasi intelijen ilegal dalam TWK KPK. Kita mau ngomong bahwa sebenarnya proses itu untuk menyingkirkan,”

โ€”Mantan Komisioner Komnas HAM Choirul Anam

Dalam perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terjadi dinamika yang luar biasa di dalam internal institusi itu sehingga menjadi KPK hari ini.

Salah satu yang paling banyak mendapat perhatian publik adalah soal pemecatan atau dalam hal ini pemberhentian dengan hormat 58 karyawan KPK akibat tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Padahal, dari 58 karyawan itu, banyak di antaranya merupakan orang-orang yang berintegritas tinggi dalam hal memberantas korupsi.

Beberapa di antaranya adalah Novel Baswedan, Sujanarko, Ambarita Damanik, Arien Winiasih, Chandra Sulistio Reksoprodjo, Hotman Tambunan, dan Giri Suprapdiono.

Hasil TWK KPK ini memicu banyak ketidakpercayaan di benak publik. Publik membaca, mereka disingkirkan bukan karna tak lolos ujian, melainkan karena kerja-kerjanya dianggap mengganggu permainan besar para koruptor.

Terlepas dari apapun itu, pemberhentian telah dilakukan pada tahun 2021.

Komisioner Kompolnas Choirul Anam dalam Back to BDM.

Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam bahkan menyebut perkara TWK KPK menjadi salah satu kasus terberat yang pernah ia tangani selama berada di Komnas HAM.

“Kalau secara politik TWK KPK itu berat, karena kepentingan politiknya berasa banget. Kepentingan di situ keras banget, kepentingan kekuasaan yang kuat sekali,” kata Anam saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.

Anam membenarkan pembacaan masyarakat yang menganggap 58 karyawan KPK itu disingkirkan secara paksa menggunakan media bernama TWK.

Ia tak berani mengatakan siapa orang atau institusi yang menghendaki semua ini terjadi, yang jelas orang atau institusi tersebut sangatlah kuat.

Anam menceritakan, ketika itu Komnas HAM menemukan fakta tak terbantahkan adanya aktivitas intelijen negara yang ilegal dalam proses TWK di KPK. Baginya, itu adalah sesuatu yang sangat serius dan temuan itu membuat Komnas HAM bersitegang dengan institusi lain.

“Kami di Komnas HAM berhubungan dengan institusi yang lain, telepon, ngajak ngobrol, macam-macam, baik yang kenal maupun yang tidak, itu banyak banget (tekanan) waktu itu secara politik kekuasaan. Kita hadapi, kita kasih penjelasan yang baik, dan mereka juga enggak ngapa-ngapain, ya ya ya. Entah iyanya setuju entah enggak, tapi setiap kali saya menghadapi itu saya bilang ini faktanya begini, kecuali ada fakta yang lain oke, kalau enggak ada fakta yang lain ya enggak bisa,” ungkapnya

“Karena kami menemukan fakta yang cukup detail, akhirnya mereka komprominya, jalan tengahnya, teman-teman Novel direkrut untuk menjadi PNS, tapi PNS-nya kepolisian,” lanjutnya.

Wawancara Budiman Tanuredjo bersama Choirul Anam di podcast Back to BDM.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini tak menyebutkan secara gamblang keputusan menjadikan pecatan karyawan KPK sebagai PNS di Polri merupakan hasil negosiasi antara siapa dengan siapa. Hanya saja, Anam mengatakan itu merupakan hasil negosiasi kelembagaan dan kekuasaan yang dilakukan oleh pucuk pimpinan di negara ini.

Hasil negosiasi itu juga dianggap menjadi jalan tengah yang paling adil bagi semua pihak, khususnya karyawan yang kehilangan posisinya di KPK.

“Saya kira itu jalan keluar yang sama-sama baik, karena saya ada di sana ikut terlibat dinamikanya, ditanya kanan kiri sama orang termasuk oleh Pak Kapolri waktu itu, kalau ini (menjadikan PNS) ditaruh sebagai jalan tengah untuk ditaruh di kepolisian bagaimana Komnas HAM? Sebagai satu jalan tengah bagus, saya bilang gitu,” papar pria kelahiran Malang itu.

Kapolri Listyo Sigit Prabowo sudah membicarakan opsi ini dengan mereka para pegawai KPK yang tak lolos TWK. Dan mereka, khususnya Novel Baswedan menganggap hal ini adalah jalan yang baik, meski ada juga di antara 58 orang itu yang tidak setuju.

Anam mengaku, sesungguhnya ada tawaran untuk memindahkan mereka ke bawah naungan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Obrolan intensif pun sudah dilakukan dengan Menkopolhukam.

Sayangnya, niatan itu tidak bisa dilakukan karena alasan teknis.

“Menkupolhukam enggak ada perangkat kerja yang praksisnya kalau Menko, dia cuma mengkoordinir,” ujarnya.

Pertanyaan lain pun muncul, jika memang Novel Baswedan CS keluar dari KPK akibat tidak lolos TWK, mengapa kemudian mereka diterima di institusi kepolisian? Tidakkah hal itu mendelegitimasi validitas dari TWK itu sendiri?

Secara blak-blakan, Anam mengatakan bahwa memang ditemukan sesuatu yang tidak baik dalam proses TWK di KPK.

“Salah satunya, harusnya misalnya tindakan formal untuk proses itu a, b, c, d, ternyata ada a absen, a-nya memang jalan tapi a absennya juga jalan, itu yang enggak benar. Itu yang membuat ya orang-orang itu jadi tersingkir,” kata Anam.

Secara pribadi, Anam tak meyakini hasil dari TWK itu, karena baginya para pegawai yang tersingkir memiliki kapasitas yang mumpuni terkait wawasan kebangsaan. Bahkan, beberapa di antaranya menjadi pengajar bidang kebangsaan yang menjadi substansi dari TWK itu

“Jadi enggak make sense, karena loh kenapa mereka yang menguasai (materi) kok malah enggak lolos, karena ada proses yang a absen itu yang di luar proses yang semestinya, dan kami temukan itu,” jelas Anam.

Wawancara Budiman Tanuredjo bersama Choirul Anam di podcast Back to BDM.

Meskipun harus diakui, ada sejumlah pertanyaan dalam TWK itu yang tidak berkaitan dengan bidang wawasan kebangsaan, bahkan bisa dikatakan aneh bisa masuk dalam daftar pertanyaan yang diujikan.

Dengan temuan yang mereka dapatkan, Komnas HAM pun menyimpulkan bahwa TWK KPK itu adalah dirancang untuk menyingkirkan mereka-mereka yang dianggap mengganggu manisnya praktik dosa korupsi di Indonesia.

“Yang ditemukan oleh Komnas HAM adalah ada satu proses yang tidak semestinya dilakukan dalam proses perekrutan dan lain sebagainya, tapi dilakukan. Ada operasi intelijen ilegal dalam TWK KPK. Kita mau ngomong bahwa sebenarnya proses itu untuk menyingkirkan,” tegas dia.

KPK sejak awal didirikan memang sudah diberi tugas besar untuk memberantas korupsi di Indonesia. Padahal, korupsi merupakan kejahatan yang bahkan hingga saat ini masih jamak dilakukan oleh para petinggi pemerintahan.

“KPK itu anak baik yang pas kebetulan (lahir) di keluarga yang enggak baik-baik,”


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *