Reformasi Perlu Diganti, Chappy Hakim: Sudah Cukup…

“Reformasi kenapa saya katakan sudah cukup dong ya, kita sudah cukup mendapat pelajaran itu. Sekarang kita harus mulai (hal baru yang lebih baik dari reformasi), mesti ada starting line untuk lebih baik lagi,”

-KSAU 2002-2005 Marsekal TNI Chappy Hakim

Sejak merdeka pada 1945, Indonesia sebagai sebuah negara terus bekembang dan tercatat mengalami sejumlah perubahan sistem pemerintahan mulai dari presidensial, parlementer, hingga demokrasi yang dianut hingga saat ini.

Demokrasi pun turut berubah seiring berjalannya waktu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan keadaan negara. Dulu, Indonesia sempat menganut demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, dan sejak Orde Baru lengser hingga kini demokrasi yang dijalankan bernapaskan reformasi.

“Perubahan-perubahan) itu kan sebuah langkah yang sangat luar biasa dan normal saja. Kalau orang baru bernegara pasti kan dinamikanya itu kita enggak bisa hindari, pasti ada coba-coba, pasti ada trial dan error, itu pasti,” kata Chaply dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Kepala staf TNI AU 2002-2005 Chappy Hakim dalam podcast Back to BDM.

Terhitung sudah lebih dari 25 tahun Reformasi berjalan. Ada yang menganggap era ini sudah usang dan harus diperbaharui dengan sesuatu yang baru. Salah satu yang mengemukakan pendapat itu adalah Kepala Staf TNI AU (KSAU) 2002-2005 Marsekal Chappy Hakim.

Baginya, reformasi hanyalah bagian dari siklus dinamika sebuah negara yang bisa berubah kapan saja. Meski sejauh ini reformasi merupakan bentuk yang paling sempurna untuk demokrasi di Indonesia.

“Reformasi kenapa saya katakan sudah cukup dong ya, kita sudah cukup mendapat pelajaran itu. Sekarang kita harus mulai (hal baru yang lebih baik dari reformasi), mesti ada starting line untuk lebih baik lagi,” ujarnya.

Indonesia harus segera memulainya dengan mempersiapkan pedoman (white paper) berisi strategi jangka panjang, detail-detail lengkap, agar tidak menghadapi banyak kesulitan bernegara di masa yang akan datang.

Pedoman itu harus dijabarkan dalam bentuk perencanaan-perencanaan yang semuanya didasari oleh kajian akademik dan kajian lapangan. Jadi perencanaan itu tidak dibuat asal-asalan, sekadar inovasi, improvisasi, dan sebagainya.

Kajian-kajian itu nantinya akan dijembatani oleh think tank di bidangnya masing-masing sehingga para pemimpin yang memegang kewenangan bisa membuat kebijakan paling tepat dan bijaksana, minim penolakan apalagi menimbulkan kegaduhan.

“Kenapa, karena dia dapat (pandangan) dari think tank, dia dapat dari kajian akademik dan kajian lapangan yang di-bridging oleh sebuah think tank,” sebut Chappy.

“Itu sebabnya negara-negara yang sudah established tidak pernah ya hampir dikatakan, mungkin pernah tapi jarang sekali mengeluarkan kebijakan yang kontroversi. Kenapa, sudah ada landasan akademiknya, sudah ada landasan kajian lapangan,” lanjutnya.

BDM menyerahkan buku karyanya pada Chappy Hakim.

Indonesia pun harus bisa menuju ke sana, dimana arah langkah negara diketahui dengan jelas oleh seluruh komponen bangsa, elite politik mengambil kebijakan berdasarkan riset dan data, publik bisa menaruh percaya pada pemimpinnya.

Apa yang disusun Indonesia tentu tidak perlu menjiplak apa yang menjadi susunan rencana bangsa lain. Tiap negara memiliki kondisi, karakter, dan kebutuhan yang berbeda-beda.

“Kita harus mengkaji lagi di kita tuh bagaimana, karena banyak hal yang spesifik di Indonesia yang merupakan kultur,” ungkap Chappy.

Misalnya kultur untuk tidak cakap berpendapat atau mengambil keputusan bangsa Indonesia yang ia ketahui dari sah satu Profesor di Jerman. Sang profesor mengatakan salah satu kelemahan mahasiswa dari Indonesia adalah kesulitan mengambil keputusan.

Bukan karena apa, ketidakmampuan itu rupanya lahir dan tumbuh dari kultur keluarga di Indonesia yang tidak membiasakan anak-anak untuk berpendapat dan mengambil keputusan sendiri.

“Di Indonesia anak-anak itu tidak dilatih, malah dilarang sama bapak ibunya ngambil keputusan. Sudah tahu bereslah, itu bapak Ibu aja, kan itu kultur,” ungkap Chappy.

“Jadi kita tidak well trained dalam mengambil keputusan. Sehingga pada waktu dia dewasa, dia gelagepan. Jadi sangat tergantung pada (keputusan) sekolahnya bagaimana, kalau enggak dia pasti lemah dalam pengambilan keputusan,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *