Kacau dan Berantakan, Komunikasi Pemerintah Harus Segera Diperbaiki

“…saya meyakini opini publik itu seperti air tenang, tetapi jika ada gempa dia bisa jadi tsunami,”

โ€”Pakar Komunikasi Politik, Gun Gun Heryanto

Indonesia sedang tak baik-baik saja, harga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus memerah, rupiah kian melemah. Demo terhadap revisi UU TNI merebak dimana-mana, belum usai penolakan UU TNI yang baru, kini muncul isu rencana DPR dan pemerintah revisi UU Polri. Teror terhadap media terjadi berulang, PHK meluas, lapangan pekerjaan susah dicari, anggaran negara terbatas, dan kebutuhan membayar utang begitu besar.

Ada begitu banyak persoalan yang dihadapi olrh bangsa ini dalam waktu yang bersamaan. Kondisi ini dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak buruk bagi keberlangsungan negara jika pemerintah gagal menemukan jalan keluar, terus bersikap arogan, dan antikritik.

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (26/3/2025), Pemimpin Redaksi The Jakarta Post M. Taufiqurrahman menyebut salah satu pangkal permasalahan di negara ini sekarang adalah buruknya atau tidak jelasnya komunikasi pemerintah terhadap publik tentang segala kebijakan yang mereka buat.

“Mungkin ada yang menyepelekan bahwa komunikasi tidak terlalu penting, tapi ketika komunikasi itu gagal dilakukan ongkosnya sangat mahal. Ada harga yang harus dibayar kalau komunikasi tidak berjalan dengan baik,” kata Taufiq.

Ia mencontohkan bagaimana pemerintah tidak memberi pemahaman dan penjelasan yang komprehensif soal Danantara pada publik, baik publik dalam negeri maupun internasional. Apa risikonya terhadap ekonomi ke depan, apakah ada hubungannya dengan UU TNI yang baru, dan sebagainya.

Satu Meja The Forum KompasTV (26/3/2025).

Kondisi politik yang penuh ketidakjelasan memicu tingginya kekhawatiran investor global untuk tetap berinvestasi di Indonesia. Bukan hal yang mustahil jika perusahaan-perusahaan multinasional yang sekarang masih beroperasi di Indonesia akan segera hengkang dan mencari negara pengganti untuk menjalankan bisnisnya.

Demonstrasi besar-besaran menolak revisi UU TNI, bisa jadi merupakan bentuk dari tidak adanya informasi memadai yang bisa diterima oleh publik. Demonstrasi ini bahkan tak hanya digelar di Jakarta, namun juga di kota-kota kecil di berbagai provinsi di Indonesia.

“Ini menunjukkan bahwa publik mulai merespon bukan hanya di kota besar, melainkan juga di wilayah yang mungkin tidak dianggap sebagai kota besar, tetapi kemudian mereka punya kepedulian. Itu menurut saya jangan dianggap sepele, karena saya meyakini opini publik itu seperti air tenang, tetapi jika ada gempa dia bisa jadi tsunami,” ujar Pakar Komunikasi Politik Gun Gun Heryanto.

Ada 3 tahapan kekuatan opini publik: brainstorming, stage of brainstorming, stage of consolidation, dan solid stage. Di tahap ketiga, opini publik akan membentuk gerakan kuat yang mungkin tidak dapat terprediksi oleh rezim yang berkuasa.

Gun Gun menyebut tahap ketiga itu akan mudah terbentuk ketika masalah politik bertemu dengan masalah ekonomi dalam waktu bersamaan.

Oleh karena itu, Taufiq mengusulkan agar komunikasi pemerintah diperbaiki. Pertama, harus memperkuat Finding Conclusion Recommendation (FCR).

“Itu pagi harus ada brief media, media handling dari manajemen isu yang reguler, tapi ada juga hal-hal yang ketika masuk di wilayah krisis itu harus ada penanganan yang khusus,” jelas Gun Gun.

Yang juga harus dikuatkan adalah aspek Communication of Privacy Management (CPM), harus diketahui dengan pasti informasi mana hang harus dibuka dan ditutup untuk publik, dan siapa yang harus menyampaikannya jika memang harus dipublikasikan.

“Ini terkait dengan information role, peran informasi. Saya melihat awal pemerintahan Pak Prabowo yang lemah tuh di situ, yaitu soal siapa yang memerankan fungsi komunikasi publik,” ujar dia.

Foto bersama seluruh narasumber di studio.

Menanggapi saran dari Gun Gun, Wakil Kepala Staf Kepresidenan M. Qodari hanya menjawab bahwa setiap presiden mempunyai gaya komunikasi yang berbeda-beda. Untuk Presiden Prabowo, Qodari melihat Prabowo lebih menyukai gaya komunikasi langsung meski memiliki institusi khusus yang bertugas untuk mewakili Presiden berkomunikasi, seperti Presidential Communications Office (PCO).

“Tapi intinya semua masukan dari teman-teman itu pada hari ini diterima dengan tangan terbuka. Terima kasih banyak atas saran-saran ini dari the best brain Indonesia dalam hal komunikasi dan jurnalisme,” ucap Qodari.

Hanya saja, Qodari menyampaikan alasan yang mungkin membuat komunikasi pemerintah terkesan berantakan. Ada 45 kebijakan yang telah diluncurkan pemerintah dalam 130 hari, jadi ada 1 kebijakan yang diluncurkan tiap 3 harinya.

Jika komunikasi pemerintah tetap seperti ini, berantakan, dan berbagai permasalahan masih terus terjadi, maka dapat dipastikan tantangan politik ke depan akan menjadi lebih menantang.

“Politik tidak baik-baik saja dengan aksi RUU TNI, ekonomi juga tidak baik-baik saja dengan pernyataan PCO itu, kebabasan pers juga tidak baik-baik saja, ini kan harusnya menjadi perhatian pemerintah. Berbagai tantangan paling sederhana ketika IHSG anjlok, ini kan soal sentimen, pemerintah keluar dong bukan malah ‘aduh biasa’. Terus ketika rupiah sampai pada level terendah pasca 98, ini kan sentimen semua pergerakannya. Apa kuncinya, ya komunikasi. Komunikasi publiknya harus diperbaiki,” jelas Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra.

Melanjutkan Setri, Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis menyebut masalah komukasi muncul akibat tidak adanya transparansi dan akuntabilas, sebagaimana minimnya informasi soal draf RUU TNI juga Danantara untuk publik.

“Dua contoh terakhir, hal besar itu menunjukkan bahwa kurang akuntabilitas, transparansi sehingga publik bisa terlibat, karena ini kan pengambilan keputusan publik harusnya melibatkan publik, sehingga memunculkan ruang-ruang spekulasi, rumor, ketidakpastian dan ini mau dikomunikasikan seperti apa ya enggak akan jalan semua,” ungkap Uni.

Jadi, pemerintah harus lebih bisa terbuka dan transparan untuk memperbaiki kekacauan yang ada saat ini.

Berbeda dengan Uni, Taufiq berpendapat pemerintah mestinya hanya membuka satu pintu komunikasi. Kabinet yang begitu besar, jangan dibiarkan masing-masing kementerian berbicara sendiri-sendiri, karena akan menimbulkan kekacauan komunikasi publik.

“Perlu satu pintu saja dan apapun itu harus sangat efektif dan calibrated, terkalibrasi dengan baik,” kata Taufiq.

Gun Gun Heryanto, Uni Lubis, dan M. Taufiqurrahman.

Hal lain, Taufiq menekankan bahwa penyampai pesan tidak perlu menjadi objek tersendiri yang justru akan mengganggu efektivitas informasi yang disampaikan. Artinya, komunikator cukup sampaikan pesan yang ada tanpa perlu bersikap atau berlaku lain yang akan mengundang perhatian tersendiri.

“Dalam jurnalisme itu ada adagium jurnalis tidak perlu menjadi bagian dari berita, itu sepertinya berlaku juga untuk juru bicara. Jadi juru bicara itu secara personal tidak perlu jadi bagian dari berita. Yang jadi berita adalah apa yang dia katakan, bukan tentang bagaimana dia mengatakan atau siapa yang mengatakan,” tegas Taufiq.

Gun Gun Heryanto mengusulkan perbaikan bisa dilakukan melalui 3 cara: perbaikan manajemen data, manajemen birokrasi, dan manajemen komunikasi. Cara pertama semestinya tak lagi berlaku, mengingat PCO bukan badan baru yang dibentuk pasca Prabowo dilantik, namun sudah ada sejak sebelumnya.

Untuk manajemen komunikasi, perbaiki narasi yang digunakan, pastikan narasi yang disampaikan sinkron antar lembaga/kementerian, jangan sampai berbeda-beda.

“Karena saya lihat bolong besarnya itu adalah pada pernyataan-pernyataan publik yang diakses oleh media yang kemudian tidak terkelola dengan baik,” ujar Gun Gun.

Atas semua masukan yang ada, Qodari selaku Kepala Kantor Staf Kepresidenan mengamini bahwa komunikssi kebijakan publik pemerintah masih harus diperbaiki. Pihaknya sudah menyiapkan tiga rencana perbaikan, mulaibdari perbaikan konten, manajemen, juga perbaikan personalia.

“Mudah-mudahan ke depan akan jauh lebih baik, sehingga kebijakan yang baik juga akan berujung pada komunikasi yang baik dan respon juga baik-baik,” harap Qodari.

Terkait dengan kesan bahwa sejauh ini PCO tidak efektif dalam menyampaikan pesan Pemerintah, Qodari beranggapan badan itu tetap diperlukan dan jangan dibubarkan. Alasannya, dalam pemerintahan yang terdiri dari banyak kementerian, ada satu badan khusus yang harus ditugaskan untuk mengelola sekian banyak informasi itu sehingga bisa terkonsolidasi dengan baik.

“Walupun mungkin nanti ini harus dikoordinasikan dengan Setneg, karena Setneg itu adalah muara dari semua proses-proses lahirnya kebijakan, paling tidak di atas kertas dan secara aturan,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *