Komunikasi Pemerintah Dinilai Amburadul, Apa yang Salah?

“Wajah Negeri ditentukan oleh narasi dan corak komunikasi. Pesan celometan pejabat yang tidak rasional tapi emosional dan cenderung merendahkan bisa menghadirkan bencana komunikasi yang memperburuk wajah Negeri. Komunikasi dengan empati adalah jalan membangun trust publik di tengah masyarakat yang masih terbelah,”

Baru 5 bulan kepemimpinan Prabowo-Gibran berjalan, beragam kebijakan justru berujung menjadi permasalahan lantaran buruknya komunikasi publik yang dilakukan oleh lingkar pemerintah.

Polemik pagar laut yang ditanggapi berbeda oleh pihak-pihak terkait, KKP minta dipertahankan sebagai bukti, Presiden perintah TNI untuk segera bongkar demi rakyat. Soal penertiban penjualan gas melon 3kg yang dilakukan secara mendadak sehingga memicu kelangkaan dan antrian di tengah masyarakat. Revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa sehingga memantik kemarahan dan demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Juga terkait bagaimana pemerintah merespons peristiwa besar yang terjadi, teror kepala babi terhadap jurnalis Majalah Tempo misalnya, disikapi enteng oleh Hasan Nasbi selaku Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia dengan: “masak saja”.

Program Satu Meja The Forum KompasTV (26/3/2025) mengangkat tema “Dikritik dan Tuai Polemik, Ada Apa dengan Komunikasi Pemerintah?” dan menghadirkan sederet pakar, tokoh, juga pimpinan redaksi media nasional untuk mendiskusikannya.

Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Setri Yasra mengaku sudah melaporkan tindak teror yang dialamatkan ke kantor redaksi mereka ke Breskrim Mabes Polri, 2 hari setelah paket kepala babi mereka terima.

Setri membuat laporan dengan nama pribadinya, sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai pemimpin tertinggi redaksi di Tempo. Baginya, teror pada seorang jurnalis adalah teror pada pers secara menyeluruh.

“Meskipun itu dikirimkan kepada Fransisca Christy Rosana, itu kami anggap adalah terhadap redaksi, bukan personal. Jadi saya sebagai pemimpin redaksi membuat laporan polisi dan sudah di periksa. Pemeriksaannya berlanjut, rasanya dengan bukti-bukti yang sudah kami berikan polisi ini harapan bisa lebih cepat mengungkap,” kata Setri.

Teror tak berhenti pada paket kepala babi dengan telinga terpotong, tiga hari selanjutnya paket misterius kembali diterima petugas keamanan Tempo. Kali ini berisi 6 bangkai tikus dengan kondisi kepala terpenggal.

Ia berharap dalang di balik teror bangkai binatang pada Tempo bisa segera terungkap, jika tidak maka nama Pemerintah yang akan tercoreng, karena semua pihak pasti akan mengarahkan telunjuknya pada Pemerintah sebagai pihak yang selama ini selalu dikritisi oleh Tempo.

Dan atas respons “masak saja” yang diberikan Hasan Nasbi saat dimintai tanggapan teror kepala babi, Setri mengaku tak heran.

“Saya sudah menduga bahwa responnya akan biasa-biasa saja. Tapi dengan melihat respon dilakukan itu, ini sungguh keterlaluan, sangat sangat tidak punya empati,” ujar Setri.

Gun Gun Heryanto, Uni Lubis, M. Taufiqurrahman, Setri Yasa, dan M. Qodari saat di back stage Satu Meja The Forum.

Kepala Staf Kepresidenan M. Qodari menyebut pihaknya tak ada yang memberi komentar secara spesifik terhadap pernyataan Hasan Nasbi. Namun, ia menyebut ada kesepakatan di internal mereka bahwa komunikasi publik pemerintah memang belum optimal dan mesti dilakukan perbaikan. Pesan perbaikan itu juga disampaikan secara langsung oleh Presiden Prabowo.

“Koreksi khusus itu tidak, tapi bicara mengenai perlunya perbaikan komunikasi pemerintah secara keseluruhan. Dan sebelum dinamika isu beberapa hari ini sebetulnya di internal pemerintahan sepengetahuan saya juga sudah ada komunikasi-komunikasi, evaluasi, termasuk rencana-rencana untuk memperbaiki dan mengoptimalkan titik-titik komunikasi yang ada untuk bagaimana komunikasi itu menjadi efektif,” jelas Qodari.

Ia mengaku tak tahu menahu soal alur komunikasi di Kantor Komunikasi Kepresidenan atau PCO (Presidential Communications Office), karena PCO kini sudah menjadi organisasi tersendiri dan tak lagi ada di bawah Kantor Staf Presiden (KSP).

Yang pasti, ia meyakini suatu kebijakan publik tak akan sukses jika tidak dikomunikasikan dengan baik. Kebijakan adalah hulu, sementara komunikasi adalah hilirnya.

“Intinya begini, bahwa memang disadari adanya suatu proses yang tidak putus antara kebijakan dengan komunikasi dan ini salah satu yang perlu diperbaiki dari pemerintahan sekarang ini,” ujar Qodari.

Berbanding terbalik dengan respons datar dan nirempati dari pemerintah, Pakar Komunikasi Politik Gun Gun Heryanto menganggap apa yang dilakukan Hasan Nasbi adalah bentuk ketidakcakapan mengelola komunikasi publik.

Ia menjelaskan, komunikasi publik memiliki 4 orientasi: menyamakan pemahaman publik (mutual understanding), menciptakan niat baik orang untuk bekerja sama (good will), mengontrol potensi kerusakan (damage control), dan memperjelas substansi kebijakan.

“Empat hal ini penting dalam konteks komunikasi publik, kalau tidak maka bukan menurunkan tingkat ketidakpastian dan ketidaknyamanan, justru yang ada adalah menambah masalah,” kata Gun Gun.

Foto bersama BDM dan seluruh narasumber Satu Meja The Forum (26/3/2025).

Sebagaimana yang disampaikan Hasan Nasbi, pernyataan “dimasak saja” tidak menyelesaikan masalah, justru menambah bobot dari masalah itu sendiri. Diksi dan gesturnya diartikan sebagai tidak adanya empati, arogan, dan tidak ada kemauan menyelesaikan masalah.

Bahkan Hasan Nasbi menyebut respon “dimasak saja” ia keluarkan sebagai tanggapan atas cuitan bernada canda yang ditulis Cica (Fransisca Christy Rosana) di X, yang menyayangkan kenapa peneror hanya mengirim kepala, tanpa badan yang semestinya bisa diolah menjadi masakan lezat.

“Isu teror menjadi respon atas pernyataan di X dari Cica, ini kan namanya men-downgrade persoalan, bukan menjadi problem solving dari komunikasi Istana,” imbuhnya.

Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis juga memberi tanggapan keras terhadap respons Hasan Nasbi. Baginya, teror kepada Tempo adalah teror terhadap media secara menyeluruh. Pelaku teror itu adalah pihak yang merasa ketakutan atas kebenaran yang dikemukakan Tempo, sehingga dirasa perlu ditakut-takuti agar Tempo diam.

“Pihak yang meneror itu saya rasa sanat patriarkis, berpikir bahwa perempuan adalah titik lemah sehingga harus diteror yang perempuan, sehingga nanti bisa mempengaruhi yang lain. Dan ini adalah sikap yang pengecut, meneror secara spesifik jurnalis perempuan, meskipun yang dituju itu adalah media. Itu menunjukkan siapapun yang menjadi dalang dari teror ini adalah orang yang sangat pengecut dan ketakutan,” tegas Uni Lubis.

Jika sudah terjadi aksi teror semacam ini, jangankan terhadap jurnalis, terhadap rakyat biasa pun Presiden harus segera turun tangan memberikan proteksi. Misalnya dengan memerintahkan Kapolri segera menemukan pelakunya dengan memberi batas waktu tertentu.

“Ini adalah bentuk yang lebih konkret terhadap statement presiden, termasuk di hari pers nasional, bahwa pemerintahan ini mengakui dan menghargai kemerdekaan pers. Nah ini (saatnya membuktikan),” kata Uni.

Kapolri memang telah memerintahkan Bareskrim untuk menyelidiki kasus teror ini, namun Pemimpin Redaksi The Jakarta Post M. Taufiqurrahman mengaku tak yakin polisi akan berhasil menemukan pelaku. Jika pun berhasil, polisi belim tentu berani menunjukkan ke hadapan publik siapa pelakunya.

Hal ini lantaran demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia tengah mengalami regresi dalam beberapa tahun terakhir.

“Saya pikir kalau ada ancaman terhadap kebebasan pers, saya terus terang agak pesimis di tengah atmosfer di mana kebebasan pers itu sendiri sedang mendapatkan (tekanan). Saya pikir media tidak akan mendapat dukungan yang konkret dan kuat,” ungkap Taufiq.

Blunder Komunikasi Pemerintah…

Selain komentar “dimasak saja” dari Hasan Nasbi atas isu teror yang serius, sejumlah pejabat pemerintah juga tercatat menyampaikan pernyataan yang dinilai sebagai blunder atau tidak tepat.

Misalnya kritik Indonesia Gelap dibalas “yang gelap kau, bukan Indonesia” oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan. Kritik kabinet gemuk dibalas “ndasmu” oleh Presiden Prabowo. Kritik RUU TNI disebut “kurang kerjaan, kampungan” oleh KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak. Ada pula pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hidayana “PSSI sulit menang, kurang gizi”. Satu lagi, Menteri PPN/Bappenas sebut MBG lebih penting daripada lapangan kerja.

Menanggapi hal itu, Qodari beralasan tiap orang memiliki latar belakang, pengalaman, dan cara berkomunikasi yang berbeda-beda. Sehingga tidak bisa disamaratakan. Selain itu, bagi Qodari pemerintahan Prabowo-Gibran ini masih terbilang anyar, sehingga masih dalam tahap-tahap penyesuaian.

“Kita masuk pemerintahan itu kayak masuk rumah baru. Kita itu masih orientssi ruang rumah baru, bahkan cari-cari perabot, lalu tata letaknya pun juga kita atur-atur. Dan saya kira kalau kita pernah masuk rumah baru mungkin sampai setahun itu kita masih terus ngatur-ngatur prabot. Dalam kerangka itulah saya melihat semua proses ini adalah proses belajar,” bela Qodari.

Namun, Qodari tak mengelak jika masih terdapat banyak kekurangan dalam komunikasi pemerintah yang ada saat ini. Ia pun mengusulkan agar tim komunikasi Presiden memberikan update isu atau permasalahan di publik hari ini atau kemarin, kemudian pada pihak yang menjadi perpanjangan tangan menjadi komunikator publik diberikan koridor atau arahan yang jelas. Apa dan kemana orientasi pemerintah terkait isu-isu itu.

Selanjutnya, ia mendorong para komunikator pemerintah untuk memahami bahwa media adalah sahabat pemerintah. Dengan media, publikasi dan sosialisasi kebijakan menjadi lebih mudah.

“Lebih jauh lagi bukan cuman komunikasi, edukasi, karena ternyata banyak rakyat yang walaupun tahu ada (program) cek kesehatan gratis tetap enggak mau. Nanti kalau saya cek saya tahu penyakit saya. Kayak begini kan harus edukasi, enggak cukup cuma diinformasikan,” sebut Qodari.

Foto bersama seluruh narasumber di studio.

Setri Yasra mengamini jika cara komunikasi pemerintah saat ini masih sangat semrawut. Berbagai kebijakan diluncurkan namun mengabaikan komunikasi publik yang seharusnya dipentingkan. Meremehkan amarah-amarah publik yang semestinya diredakan.

Termasuk pada kasus teror wartawan Tempo, Setri berharap semestinya pemerintah bisa memberi tanggapan yang mendinginkan, bukan sebaliknya.

“Kami jurnalis ini, Cica itu warga negara yang seharusnya direspon oleh pejabat negara dengan baik. Kalaupun tidak ada simpati, minimal menenangkan. Oke saya belum tahu, nanti saya cek itu. Hasan Nasbi seharusnya ambil (cara itu), bukan malah menganggap udah masak saja dulu jadi berbagai kekacauan ini menimbulkan ketidakpasastian,” ujar Setri.

Presiden Prabowo memiliki juru bicara yang tak sedikit, jumlahnya lebih daro 5 orang. Namun, dengan jumlah yang relatif banyak itu, komunikasi publik pemerintah belum bisa berjalan baik.

Uni Lubis pun heran dengan hal itu. Apalagi, pemerintahan saat ini adalah satu-satunya pemerintahan yang mempersiapkan para pembantunya dengan kegiatan retreat di Magelang dan Hambalang. Di Magelang mereka diajak disiplin, bela negara, dan kerja sama. Sementara di Hambalang, mereka diajarkan banyak hal termasuk soal anti korupsi dan komunikasi publik di hadapan media.

“Salah satu materinya adalah handling media. Saya menulis itu, yang memberikan materi adalah jurnalis dari Rumania Ana Moraru plus ada satu orang, saya enggak tahu apakah itu yang ikut menteri-menteri, kepala badan itu benar-benar paham, karena mungkin ini disampaikan dalam bahasa Inggris juga, atau mungkin capek,” kata Uni.

“Ada retreat di Akmil (Magelang), jadi ini pembekalannya tuh enggak pernah ada dalam sejarah kabinet ya, harusnya ini lebih siap,” lanjutnya.

Selanjutnya Uni menilai pemerintah kali ini terlalu banyak memiliki juru bicara yang sayangnya tidak semua kompeten untuk menjawab berbagai persoalan terkait pemerintah itu sendiri.

Uni mengaku, lebih baik menanyakan isu pemerintah langsung pada orang yang bertanggung jawab atas isu tersebut. Misalnya Danantara pada Rosan Roeslani atau Dony Oskaria atau soal BUMN langsung pada Erick Thohir.

“Tanya yang lain, tanya menterinya langsung. Kemandirian pangan tanya sama Pak Zulhas. Ua enggak kepengin aja nanya sama PCO, karena yang ini lebih menguasai, bukan apa-apa, lebih menguasai,” sebutnya.

Ia pun mengacu pada sistematika juru bicara di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menurutnya jauh lebih terfokus.

“Di era Presiden SBY cuma ada satu juru bicara untuk urusan luar negeri, Dinopati Djalal, satu juru bicara untuk urusan dalam negeri Andi Malarangeng. Jadi jelas bertanya kepada siapa,” jelas  Uni.

Sementara juru bicara yang sekarang (Hasan Nasbi) memiliki rekam jejak sebagai orang yang tidak memiliki kedekatan langsung dengan Prabowo, malah ia diketahui pernah menjadi orang yang sangat kritis terhadap Prabowo selama pemerintahan Joko Widodo.

“Jejak digitalnya bertebaran di media sosial, setiap kali dia ngomong ngebelain pemerintah yang sekarang netizen langsung ngeluarin rekam jejak,” kata Uni.

Tak hanya berjarak dengan Presiden, Hasan Nasbi ini juga disebut tidak dekat dengan media, termasuk para pimpinan redaksi. Jadi teman-teman pemred hampir tidak pernah menerima informasi langsung dari Hasan Nasbi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *