Di tengah kepengaban politik, unjuk rasa kelompok masyarakat terhadap RUU TNI, teror kepala babi dan kepala tikus yang ditujukan ke Majalah Tempo, respon โclometanโ Kantor Komunikasi Presiden, Minggu 23 Maret 2025, saya minggir meninggalkan Jakarta. Saya mencari inspirasi dan mencoba memahami wajah kehidupan lain di pinggiran Jakarta yang mulai sepi ditinggalkan penghuninya. Mengasah kepekaan nurani.
Dalam beberapa bulan terakhir– saya kerap mengunjungi panti asuhan untuk melihat bagaimana teks konstitusi, โFakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negaraโ diterjemahkan dalam praksis. Minggu pagi itu saya mengunjungi Panti Asuhan berkebutuhan khusus, di bawah naungan Yayasan Bhakti Luhur yang dikelola suster-suster ALMA. Lokasinya di kompleks perumahan Permata Pamulang. Sebelumnya saya ke Panti Asuhan Gunung Sindur dan Panti Asuhan di Bekasi.
Saya datang untuk mendistribusikan bantuan bela rasa hasil kolaborasi kanal Youtube saya #backtobdm dengan #rekhastailor. Bantuan dalam bentuk bahan pokok senilai Rp3,5 juta diterima oleh Suster Yuli.

Dari tiga kunjungan saya ke panti asuhan dalam kurun waktu enam bulan, kolaborasi #backtobdm dan #rekhastailor telah mendistribusikan bantuan senilai Rp 11.362.000 dalam program โJurnalisme untuk sesamaโ (journalism for others). Program itu telah menyalurkan bantuan ke tiga panti asuhan.
Di panti itu ada 69 orang berkebutuhan khusus. Rentangnya usianya mulai dari 15 tahun sampai 60 tahun. Berkebutuhan khusus kebanyakan adalah mereka yang keterbelakangan mental. Usia tampak dewasa namun lambat dalam pemikiran. Beberapa di antara mereka tatapannya kosong. Namun di antara mereka terlibat aktif dalam menari didampingi para suster yang dengan setia mendampingi mereka untuk selalu bergembira.

Suster Yohana yang berasal dari Bajawa (Nusatenggara Timur) dan mengenakan gaun khas Bunda Teresa dengan tiga garis biru melambangkan kaul kemiskinan, kaul ketataan, dan pelayanan tanpa pamrih. Bunda Teresa adalah suster dari Misionaris Cinta Kasih. Melayani kaum berkebutuhan khusus memang membutuhkan jiwa pelayanan luar biasa. Kelangsungan hidup panti asuhan selain dari bantuan gereja juga hidup dari berbagai donatur yang ingin selalu berbagai. โIni adalah penyelenggaraan Ilahi,โ ujar Suster Yohana yang mengikuti pengabdian Bunda Terasa.
Kisah Bunda Teresa adalah kisah pelayanan total dengan cinta. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh kesenjangan sosial, konflik, dan egoisme, keserakahan hidup Bunda Teresa dari Kalkuta, termasuk para suster-suster ALMA, hadir bagaikan cahaya kecil yang bersinar lembut namun tak pernah padam. Mereka bukan pemimpin politik yang hobi pamer, bukan politisi yang gemar beretorika kosong, bukan pemilik kekuasaan yang komunikasinya tuna empati. Namun, karya mereka untuk kemanusiaan demikian nyata. Sebagaimana Bunda Teresa yang tinggal di gang sempit dan kumuh di Kalkuta, suster-suster ALMA membuktikan bahwa kekuatan terbesar manusia terletak pada kasih tanpa syarat.
Bunda Teresa, atau yang lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu, meninggalkan kenyamanan hidupnya sebagai biarawati dan memilih hidup di antara mereka yang dianggap “tidak terlihat” oleh duniaโyang sekarat di trotoar, yang dijauhi karena kusta, yang kehilangan martabat karena kemiskinan. Ia tidak hanya memberi makan atau tempat tinggal, ia mengembalikan kemanusiaan mereka. Bunda Teresa lahir 26 Agustus 1910 dan pada tahun 1950 mendirikan Misionaris Cinta Kasih (Missionaries of Charity) yang didedikasikan untuk merawat โorang-orang yang paling miskin dari yang miskinโ.
Ketika dunia berlomba untuk menjadi besar, Bunda Teresa memilih menjadi kecil. “We cannot all do great things. But we can do small things with great love,” katanya. Kalimat ini bukan sekadar kutipan, tetapi filosofi hidup. Ia mengajarkan bahwa cinta yang tulus, betapapun kecilnya tindakan kita, memiliki kekuatan untuk mengubah hidup seseorang.

Dari Bunda Terasa saya belajar bagaimana belajar melakukan hal-hal kecil yang bermakna untuk kemanusiaan daripada melakukan narasi besar namun terasa kosong. Refleksi tentang hidupnya menyadarkan bahwa kadang kita terlalu terfokus pada pencapaian besar, lupa bahwa kehadiran kita, waktu yang diluangkan, bisa menjadi anugerah bagi orang lain. Bunda Teresa tidak menyelamatkan dunia dalam satu langkah besar. Ia menyentuh satu jiwa demi jiwa. Inilah yang kadang mengingatkan saya akan sebuah kutipan dalam bahawa Jawa, urip kuwi kudu migunani tumpraping liyan. Man for others dan tentunya journalism for others.
Jejak Bunda Teresa tidak hanya tertinggal di rumah misi atau bangunan fisik, tetapi dalam hati orang-orang yang pernah disentuhnyaโdan juga mereka yang terinspirasi olehnya. Ia adalah pengingat bahwa kasih adalah bahasa universal, yang bisa dimengerti bahkan oleh mereka yang tak bisa berbicara. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti hadir, peduli, dan memberi, meski hanya dengan hal sederhana. Dalam dunia yang haus akan keajaiban besar, Bunda Teresa menunjukkan bahwa keajaiban sejati terjadi dalam tindakan kecil yang dilakukan dengan cinta yang besar. Paus Fransiskus dalam homili Misa Kanonisasi 4 September 2016 di Basilika Santo Petrus, mengatakan, โBunda Teresa membuat suara kasih terdengar di tengah kebisuan kemiskinan.โ
Dalam perjalanan balik, saya merefleksikan karya pelayanan Bunda Teresa dan suster-suster ALMA itu begitu dalam. Jauh dari arogansi sejumlah elite politik di Tanah Air, yang anti kritik dan cenderung melecehkan suara rakyat yang kadang disebutnya sebagai โorang kampungโ dan โkurang kerjaanโ. ***
Leave a Reply