Indonesia Krisis Keteladanan, Kontribusi Kampus Dinantikan..

“…bagaimana kawan-kawan di luar Indonesia itu melihat dunia akademik di Indonesia kalau mereka sampai tidak percaya dengan akademisi di Indonesia. Kan jadi masalah. Padahal akademisi yang dipunyai kan cuma nama baik, harta enggak punya banyak. Kalau nama baik sudah dijual, punya apa lagi? Ini kan mengkhawatirkan,”

โ€”Rektor UII, Prof. Fathul Wahid

Di tengah begitu banyak masalah yang melanda Indonesia sebagai sebuah negara maupun bangsa, ternyata ada satu hal yang kemudian bisa disebut menjadi salah satu akar permasalahannya. Krisis keteladanan.

Praktik korupsi, nepotisme, plutokrasi, penggunaan orang dalam, mengandalkan kekuatan uang, kini terjadi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang ada di puncak kekuasaan, tapi juga mereka yang ada di bawahnya.

Para pemimpin yang diharapkan bisa menjadi contoh, justru terang-terangan melakukan pelanggaran, menormalisasikan kesalahan, bahkan bangga memamerkan keculasan.

Bangsa ini hampir kehabisan tauladan baik untuk bisa ditiru. Padahal, dulu Indonesia memiliki begitu banyak sosok baik yang bisa dijadikan anutan, baik dalam berbangsa, berpolitik, bernegara. Mengapa kita bisa kehabisan stok orang-orang baik?

Rektor Universitas Islam Indonesia(UII) Prof. Fathul Wahid melihat banyak tokoh saat ini yang tidak konsisten terhadap ucapannya, lain di mulut lain di perbuatan. Misalnya mengatakan berantas korupsi, tapi nyatanya tebang pilih dalam menangani kasus korupsi atau bahkan turut terlibat dalam tindak korupsi itu sendiri. Dalam kata lain adalah kemunafikan atau hipokrit.

“Itu kan menakutkan, akhirnya kita jadi kesulitan yang kita percaya siapa ya. Ketika tingkat kepercayaan turun sebagai sebuah bangsa, ini tanda-tanda yang tidak bagus,” kata Fathul dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Rektor UII Prof. Fathul Wahid.

Tokoh yang tidak bisa memegang ucapannya bisa jadi melahirkan ketidakpercayaan publik terhadapnya, baik secara pribadi pada individu yang bersangkutan maupun terhadap lembaga yang ia pimpin.

Jika hal seperti ini terus berlanjut, maka ujungnya bisa membawa Indonesia pada sesuatu yang menurut Farhul menakutkan.

“Tapi kita sebagai orang yang punya akal sehat, beragama ini kan dilarang untuk pesimis, harus optimis, sehingga harus mencari cara. Bayangan saya salah satu pintu masuknya adalah pendidikan,” ujar Fathul.

Pendidikan yang ia maksud adalah meliputi pendidikan semua tingkat, mulai dari usia dini, dasar, hingga tinggi. Yang pertama dan utama adah penanaman nilai-nilai kebaikan. Dengan harapan, ketika seorang generasi muda selesai dari bangku pendidikannya, maka nilai-nilai itu sudah terinternalisasi dengan baik dalam dirinya.

“Ini akan menjadi lebih mudah ketika ekosistem di luar kampus juga sama, artinya ada perbaikan di banyak level itu,” ungkapnya.

Sayangnya, tidak semua lembaga pendidikan bisa melakukan hal yang sama. Ada perguruan tinggi yang sudah terkooptasi, terbeli, atau tersandra opeh kepentingan tertentu.

Nilai, etika, dan moral yang ditanamkan dalam lingkungan pendidikan harus terus dirawat jika tidak ingin terjadi pembusukan (decaying), apalagi pembusukan dari dalam lingkungan pendidikan itu sendiri.

“Contoh kalau kasus yang terjadi di sebuah kampus di Jakarta itu menjadi preseden dan semua kampus di Indonesia seperti itu, kita bisa bayangkan dalam konteks global bagaimana kawan-kawan di luar Indonesia itu melihat dunia akademik di Indonesia kalau mereka sampai tidak percaya dengan akademisi di Indonesia. Kan jadi masalah. Padahal akademisi yang dipunyai kan cuma nama baik, harta enggak punya banyak. Kalau nama baik sudah dijual, punya apa lagi? Ini kan mengkhawatirkan,” jelas Fathul.

Prof. Fathul Wahid dalam Back to BDM.

Proses pembusukan dalam pemerintahan ini disadari atau tidak kini tengah berlangsung. Sehingga Fathul mengatakan perlu ada perbaikan melalui langkah-langkah signifikan. Misalnya membuat keputusan baru yang lebih sesuai dengan norma internasional dan juga lebih logis, mudah diterima akal sehat.

Tolak ukurnya mudah, jika sebuah kebijakan yang digelontorkan pemerintah itu adalah benar dan baik, maka tidak akan banyak penolakan dari publik, apalagi sampai muncul petisi-petisi penolakan di internet.

Di mata Fathul, saat ini sudah banyak lini kehidupan yang terindustrialisasi, termasuk politik, hukum, juga pendidikan. Dunia pendidikan mulai terinterupsi oleh kekuatan kapital. Pendidikan sudah menjadi ajang bisnis dan urusan perdagangan, neoliberalisme pendidikan.

“Akibatnya adalah ada pendekatan-pendekatan yang itu bisa jadi sampai level tertentu atau bahkan bisa sampai sangat akut itu menggerogoti nilai-nilai dasar kampus. Sebagai contoh misalkan komersialisasi atas nama keberlanjutan untuk mendapatkan uang dan lain-lain. Akhirnya yang terjadi apa, anak bangsa yang secara intelektual mampu tapi secara finansial tidak beruntung, tidak punya kesempatan,” papar Fathul.

Melawan neoliberalisme pendidikan mungkin terdengar sulit untuk dilakukan secara total. Namun, kampus bisa tetap melakukan perlawanan kecil-kecilan, setidaknya menunjukkan bahwa hati dan visi mereka tetap ada di jalan pendidikan dan perbaikan generasi muda.

Misalnya, bagi dosen tetap memaksimalkan publikasi di jurnal terindeks Scopus. Jangam niatkan penelitian hanya untuk kepentingan pemeringkatan, akreditasi, dan sebagainya. Namun, jadikan penelitian yang dilakukan untuk kontribusi keilmuan, membangun kesadaran publik, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Atau contoh lebih konkret, kampus harus tetap memberi porsi bagi kelompok masyarakat tidak mampu secara ekonomi untuk bisa mengakses pendidikan tinggi di institusinya. Jadi kesempatan mengenyam pendidikan tinggi tetap terbuka bagi semua kalangan.

Beberapa bulan yang lalu, pemerintah berencana memberikan konsesi tambang pada perguruan tinggi-perguruan tinggi. UII adalah salah satu kampus yang langsung menyatakan penolakannya. Ia beralasan risiko yang harus ditanggung terlampau tinggi.

“Ya kalau akhirnya memang baik, kalau tidak, kampus sudah kehilangan legitimasinya dan saya menduga itu sangat mungkin terjadi karena sampai hari ini mencari contoh pengelolaan tambang yang bebas masalah masih sangat susah. Sehingga cukuplah kampus mendidik ahli-ahli tambang tapi dengan suntikan nilai yang bagus,” papar dia.

Kapasitas mendidik ahli tambang. Kampus memiliki kemampuan. Tapi untuk mengelola kekayaan pertambangan, tidak ada yang menjamin.

“Risikonya besar secara finansial, yang paling penting risiko secara moral saya khawatir,” imbuhnya.

BDM memberikan buku karyanya kepada Fathul Wahid.

Pemberian konsesi tambang pada perguruan tinggi, ormas, dan berbagai pihak itu sesungguhnya pantas dicurigai bahwa pemerintah tengah merencanakan agenda tertentu di waktu yang akan datang.

Misalnya, banyak pihak yang kemudian diam dan tidak mengkritik pemerintah ketika ada sesuatu yang tidak tepat dan semestinya dikritisi. Hal ini disebut Fathul sudah menjadi salah satu indikasi buruk terkait pemberian konsesi tambang itu.

Terakhir, ia mnegaskan kampus harus tetap menjadi rumah intelektual yang tugasnya menyampaikan kebenaran. Jika ada kebenaran yang coba ditutup-tutupi, maka kampus bertugas untuk memberi cahaya dan membuatnya kembali terang dengan cara memberi narasi tandingan.

“Sehingga rakyat yang masih sehat akalnya ini bisa terus berpikir, kegelisahannya ini bisa ada jawaban, dan ketika itu terjadi kita patut menjaga optimisme mudah-mudahan ada perbaikan,” kata Fathul.

Semua pihak harus bekerja optimal di bidangnya masing-masing dan saling berangkulan memapah harapan besar bangsa ini agar bisa benar-benar terwujud. Kawan-kawan jurnalis menjaga idealisme dan integritasnya, akademisi menjaga akal sehatnya, parlemen terus menyuarakan suara rakyat, pemimpin yang baik (meski sedikit) harus terus menyebarkan semangat pada sesamanya, dan sebagainya.

“Kalau semuanya bisa menjalankan tugas dengan baik, bayangan saya kok bisa ini (berhasil). Tidak boleh berputus asa, harus ada aksi bersama untuk memperbaiki situasi negeri,” pungkasnya


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *