“Kaderisasi korupsi yang semakin cepat. Masih muda-muda itu loh sudah segitunya. Kan enggak mungkin saya melihat itu orang tiba-tiba korupsi sekian T tanpa pelan-pelan, itu kan enggak mungkin. Saya khawatir Itu ada tahapan-tahapan yang selama ini seakan-akan diizinkan menjadi normal, menjadi biasa, kemudian skalanya bertambah,”
โRektor UII, Prof. Fathul Wahid
Kemerosotan demokrasi di Indonesia sudah terjadi dan terpantau sejak beberapa waktu terakhir. Hal itu misalnya terlihat dari indeks demokrasi Indonesia hasil perhitungan The Economist Intelligence Unit (EIU). Diketahui, sejak tahun 2022 hingga 2024, demokrasi kita terus menunjukkan tren penurunan. Dari 6,71 di 2022 menjadi 6,5 di 2022, dan 6,44 di tahun 2024.
Di lapangan, kita bisa dengan mudah menyaksikan bagaimana demokrasi coba dibatasi. Misalnya suara masyarakat dalam pemilihan umum dibeli dengan uang. Contoh lain, kelompok musik Sukatani yang dipanggil kepolisian usai karyanya yang berisi sindiran terhadap institusi negara merebak luas. Atau tiga orang aktivis dari KontraS yang dilaporkan ke kepolisian setelah masuk ke dalam ruang rapat Komisi I DPR di Hotel Fairmont, Jakarta untuk menyampaikan aspirasinya terkait RUU TNI. Ada juga yang terakhir, bagaimana teror kepala babi yang dikirimkan pada seorang jurnalis di salah satu media massa yang selama ini dikenal keras dan konsisten mengritik pemerintah.
Ada begitu banyak contoh yang lain, dan daftar panjang bisa dibuat untuk itu.
Universitas Islam Indonesia (UII) sempat membuat pernyataan yang didalamnya termuat pendapat bahwa ruang demokrasi di Indonesia telah mengalami penyempitan.

Rektor UII Prof. Fathul Wahid selaku pihak yang menandatangani pernyataan tersebut menjelaskan apa masksud di balik pernyataan keras dari universitas yang ia pimpin itu.
Dalam siniar Back to BDM kanal YouTube Budiman Tanuredjo, Fathul mengatakan upaya pembatasan terhadap demokrasi di Indonesia sudah dilakukan secara terang-terangan.
“Misalkan ada kegiatan menyampaikan aspirasi dari mahasiswa, ketika Indonesia gelap itu, ternyata liputan di media juga kita tidak melihat yang proporsional. Saya khawatir itu salah satu indikasi bahwa kebebasan berpendapat, berekspresi di ruang publik untuk menyampaikan aspirasi itu sudah tidak seperti yang kita bayangkan seharusnya,” kata pria kelahiran Jepara 1974 itu.
Bahkah jika ditelisik lebih jauh, akhirnya bisa dipahami ada sejenis ketakutan di benak publik untuk menyampaikan pendapatnya. Entah takut tak didengar atau takut direpresi. Hal lain yang juga membuat orang takut bersikap dan bersuara adalah karena minimnya informasi yang mereka diterima, sehingga perspektifnya menjadi sempit, tak memahami isu secara menyeluruh.
“Ketika informasi itu cukup, maka orang menjadi bersikap lebih proporsional. Cuma masalah sekarang adalah memastikan bagaimana eksposur informasi itu menjadi cukup, sehingga orang akan mendapatkan perspektif dari beragam sudut,” jelas Fathul.
Penyempitan ruang demokrasi yang terjadi dikhawatirkan akan membuka peluang terjadinya penyelewengan kekuasaan yang tidak dibarengi dengan koreksi publik. Di saat itu, orang menjadi apatis, takut mengoreksi pemerintah, atau lebih parahnya akan menganggap semua kesalahan yang dilakukan penguasa adalah suatu kelaziman atau kenormalan baru.

Misalnya seperti DPR saat ini yang cenderung diam dan tidak melakukan fungsinya sebagai pengawas pemerintahan, ketika berbagai kebijakan yang diluncurkan pemerintah dirasa tidak tepat dan menuai banyak kritik dari masyarakat. Fathul khawatir, kesalahan yang terus dibiarkan lama kelamaan akan kian membesar, dan kita terlambat menyadarinya. Konsekuensi fatal pun harus diterima bersama.
Publik ketakutan, DPR diam, bagaimana kondisi kampus saat ini? Masihkah kampus berdiri dan bersuara untuk kebaikan rakyat di tengah banyaknya pekerjaan rumah yang diemban oleh institusi pendidikan tinggi itu?
“Kita punya Tridharma, penelitian dilakukan, pengajaran tetap dilakukan, pengabdian pada masyarakat juga dilakukan. Tetapi menjaga kampus sebagai rumah intelektual di mana suara-suara kritis itu dibentuk di situ, harus tetap dilakukan. Bukan berarti banyak pekerjaan rumah kemudian sudahlah kita menyerah begitu saja,” ujarnya.
Sayangnya, tak semua kampus memiliki prinsip yang sama. Sebagian kampus menganggap persoalan bangsa bukan menjadi tanggung jawabnya, bukan fungsi kampus didirikan, sehingga tidak perlu berbicara. Ada juga kampus yang takut menanggung risiko jika bersikap keras.
“Kalau ini sudah lengkap. Ini kan situasi yang sempurna untuk sikap diam yang seharusnya tidak terjadi,” sebut pria lulusan University of Agder, Norwegia itu.
Di sisi lain, pemerintah kerap mengambil kebijakan secara gegabah yang disadari atau tidak berdampak buruk bagi masyarakat kebanyakan. Sebut saja bagaimana kebijakan tentang gas tabung Elpiji 3kg menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat, terutama rakyat kecil.
Padahal, dalam situasi seperti itu pemerintah seharusnya bisa peka melihat kondisi ril masyarakat dan mengambil keputusan yang paling bijak.
“Kami khawatir ada kebijakan yang antisains, tidak berbasis data, tidak berbasis fakta, karena ada keinginan main cepat tanpa ada evidence (base policy),” ungkap Fathul.
Korupsi Kian Menjadi
Korupsi di Indoneaia diketahui sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum negara ini memasuki masa kemerdekaan di tahun 1945. Namun, korupsi hari ini kian menjadi. Pelakunya semakin muda, jumlah korupsinya pun semakin fantastis.
Dulu, pelaku korupsi adalah orang-orang yang sudah senior dalam satu lembaga/kementerian, jumlah yang dikorupsi pun tak terlampau banyak, misalnya hanya di kisaran ratusan juta atau milyar saja. Sekarang, koruptor juga mencakup mereka yang berusia masih muda. Jumlahnya pun tak main-main, mulai dari ratusan milyar, triliunan, bahkan mencapai bilangan kwadriliun.
“Kaderisasi korupsi yang semakin cepat. Masih muda-muda itu loh sudah segitunya. Kan enggak mungkin saya melihat itu orang tiba-tiba korupsi sekian T tanpa pelan-pelan, itu kan enggak mungkin. Saya khawatir Itu ada tahapan-tahapan yang selama ini seakan-akan diizinkan menjadi normal, menjadi biasa, kemudian skalanya bertambah,” kata Fathul.

Dari sisi akademis, sebagai orang yang banyak bersinggungan dengan generasi muda, Fathul mencoba berkontribusi melalui buku. Beberapa waktu lalu, ia dan sejumlah mantan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menulis sebuah buku berjudul Boba (Buku Orang Baik Belajar Anti Korupsi).
“Sekarang meyakinkan mahasiswa bahwa korupsi itu jijik,menjijikan, korupsi itu brengsek, maaf ya, itu sulit. Mengapa, mereka menjadi saksi setiap hari ada berita korupsi, mereka juga menyaksikan banyak korupsi besar hukumannya rendah, mereka juga menyaksikan banyak koruptor ditangkap dipenjara keluar dipilih rakyat lagi, mereka juga melihat koruptor di televisi dan lain-lain masih bahagia seakan-akan tidak ada penyesalan,” ungkap Fathul.
Informasi yang mereka terima terkait korupsi juga begitu terbatas. Untuk itu buku yang ia tulis diharapkan dapat tertarik dengan kasus korupsi dam bisa memahaminya dengan lebih baik. Akhirnya, para generasi muda bisa mencapai kesadaran bahwa korupsi itu menjijikan dan mereka tak ingin terjerumus ke dalamnya.
Selain merasa korupsi adalah “makanan sehari-hari” alias bukan sesuatu yang aneh, para generasi muda menjadi rentan turut terjerumus di dalam lingkaran setan itu. Terlebih apabila teman-teman di lingkungannya sudah melakukan korupsi, mau tak mau, suka tak suka, seseorang yang belum melakukannya pun terbesit niat untuk turut dalam permainan.
Kesadaran sangat perlu dicapai oleh seseorang sehingga bisa teguh menghindari perbuatan buruk yang bernama korupsi. Ada atau tidak ada orang lain yang mengetahui, sekali tidak tetaplah tidak mau melakukan kecurangan.
“Sebetulnya kesadaran itu bisa dengan berbagai cara. Kawan-kawan yang menggeluti agama dakwah juga bisa masuk, di pendidikan dengan berbagai perspektif juga bisa masuk, bayangan saya itu menjadi membekas, menjadi lebih terinternalisasi.
Korupsi kini tidak identik sebagai kejahatan yang hanya bisa dilakukan di pusat, tapi sudah merambah hingga ke desa-desa, dan siapapun bisa melakukannya. Alasannya satu, kurangnya keteladanan dari tokoh pemimpin untuk mencontohkan sifat-sifat yang bersih dan tegas terhadap pelaku korupsi.
Selain membentuk kesadaran pada generasi muda, korupsi juga bisa diatasi salah satunya menggunakan bantuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
“Sebagai contoh, kita ambil pengadaan barang dan jasa, itu kan sektor yang paling koruptif selama ini. Ada peluang untuk meningkatkan transparansi akuntabilitas dengan bantuan teknologi informasi, dan selama ini sudah dilakukan waktu itu dikawal oleh LKPP misalkan sudah cukup baik. Cuma kita juga harus tidak naif bahwa modus (korupsi) selalu berubah dan teknologi informasi ini belum bisa menjangkau seluruh proses pengadaan mulai dari identifikasi kebutuhan sampai audit,” ujar dosen yang juga pakar sistem dan teknologi informasi itu.
“Jadi teknologi informasi membantu, tetapi orang di belakang teknologi itu tetap menentukan,” lanjutnya.
Terakhir, soal keseriusan negara ini dalam memberantas korupsi, Fathul mengaku bingung menjawabnya.
“Di ruang publik kita lihat wacana itu (pemberantasan korupsi), tapi juga di waktu yang sama kita sering sarapan dengan berita-berita korupsi dan tidak ada ujungnya seakan-akan. Jadi mau bilang serius kok tiap hari ada, mau bilang tidak serius nyatanya juga ada lembaga-lembaga yang dibentuk untuk itu. Jadi ini posisi yang susah disimpulkan secara mudah,” pungkasnya.
Leave a Reply