UU TNI Disahkan di Tengah Penolakan Publik, DPR: Sudah Keputusan Pimpinan

“…perlu diluruskan bahwa apa yang menjadi kekhawatiran seluruh elemen bangsa di dalam pembahasan draft RUU Undang-Undang TNI yang masuk ke panja (panitia kerja) ini berbeda dengan (draft) RUU yang beredar di masyarakat luas,”

—Anggota Komisi I DPR Fraksi PKB, Oleh Soleh

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Undang-Undang TNI atau UU No 34 Tahun 2004 hasil revisi pada Kamis (20/3/2025) melalui Rapat Paripurna DPR. Revisi tetap dilanjutkan meski keberaran dan protes disampaikan berbagai pihak melalui berbagai saluran cara.

Pihak-pihak yang tak setuju dengan pengubahan UU TNI misalnya kalangan mahasiswa, aktivis reformasi, akademisi, cendekiawan, dan sebagian masyarakat umum.

Penolakan dilartarbelakangi oleh rasa khawatir bahwa revisi akan membawa kembali dwifungsi ABRI yang terjadi di era Orde Baru. Khawatir, bahwa negara akan dijalankan dengan cara militer yang berkorelasi pada hilangnya kebebasan berdemokrasi.

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (19/3/2025) yang mengangkat tema “Undang-Undang TNI Direvisi, Dwifungsi TNI Kembali?”, sejumlah narasumber hadir membagikan pendapatnya terkait pengesahan revisi UU TNI dan dampak apa yang mungkin terjadi setelahnya.

Satu Meja The Forum KompasTV (19/3/2025).

Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) 2022-2023 Andi Widjajanto melihat revisi Pasal 47 dan Pasal 53 UU TNI lebih bersifat teknokratik, bukan revisi yang bersifat strategis. Revisi hanya berkutat pada soal kewenangan TNI di jabatan sipil dan perpanjangan masa aktif TNI. Padahal tantangan yang dihadapi TNI sebagai Garda terdepan kedaulatan Indonesia adalah isu dan dinamika terkait eskalasi geopolitik saat ini yang terus memanas dan berkembang.

“Dalam revisi ini kita tidak membahas apakah harus ada perubahan di doktrin kebijakan strategis, karena di Rusia-Ukraina muncul perang tipe baru yang disebut sebagai perang hibrida, misalnya. Lalu pengaruhnya apa, misalnya ke operasi militer yang dilakukan oleh TNl, tidak ada isu-isu seperti itu. Ada penggunaan drone, misalnya dalam perang Rusia-Ukraina atau ada yang disebut sebagai perang wilayah abu-abu grey zone, hal-hal seperti itu tidak dibahas,” kata Andi.

“Karena itu saya menyebutnya ini revisi teknokratik bukan revisi yang terkait dengan perubahan ancaman, perubahan karakter perang, perubahan teknologi, perubahan geopolitik yang membuat doktrin berubah,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Andi melihat revisi hari ini, khususnya di Pasal 47 hanya merupakan wujud legalisasi penempatan perwira aktif TNI yang sebelumnya ditugaskan di sejumlah pos kementerian/lembaga di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Misalnya, di ketentuan Pasal 47 lama tidak ada kata “bencana” dan “siber” dalam ketentuan kewenangan TNI di jabatan nonmiliter, namun pimpinan badan yang berkaitan dengan dua hal tersebut ketika itu berasal dari TNI (Kepala BNPB dan BSSN). Kini, di UU TNI yang baru dimunculkan lah kewenangan TNI untuk BNPB dan pertahanan siber. Sehingga Andi menyebutnya sebagai bentuk legalisasi.

Padahal menurutnya, TNI boleh-boleh saja berperan dalam hal-hal di atas tanpa harus diberi kewenangan khusus melalui undang-undang.

Ia mencontohkan bagaimana Amerika Serikat memiliki kementerian di bidang keamanan publik bernama Homeland Security, badan penanganan bencana bernama FIMA, dan penjaga pantai atau coast guard yang di sana sama sekali tidak ada penempatan perwira aktif. Namun, jika dibutuhkan maka kekuatan militer dari satuan manapun bisa dikerahkan untuk membantu.

“Lagi-lagi ini masalah paradigmatik, bagaimana militer dilibatkan untuk membantu tugas-tugas sipil pada saat ada kondisi-kondisi tertentu,” jelas Andi.

Selain disuarakan di berbagai kanal media sosial dan jalanan, penolakan terhadap revisi UU TNI ini dilakukan oleh sejumlah aktivis dengan mendatangi hotel mewah kawasan Jakarta Pusat yang di dalamnya berlangsung rapat tertutup para anggota DPR RI membicarakan agenda revisi UU TNI.

Politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai langkah itu sebagai upaya bersama untuk memelihara tatanan ketatanegaraan dan politik demokratik. Dan pemerintah harus mengerti hal itu tanpa perlu berekasi terlalu jauh.

“Harus diakui (masyarakat) memiliki akar traumatis terhadap kekerasan militer di zaman Orde Baru yang kemudian dilegalkan dalam dwifungsi ABRI. Namun ini sejenis trauma yang sehat, karena dia berfungsi untuk memelihara demokrasi,” ujar Rachland.

Menggunakan konstruksi yang sama, Rachland juga berharap masyarakat sipil dapat memahami bahwa trauma juga dimiliki oleh partai politik. Partai politik juga tak ada yang menginginkan dwifungsi ABRI atau TNI hidup kembali. Menurutnya, korban pertama dari kembalinya dwifungsi ABRI itu adalah kebebasan partai politik itu sendiri, parpol akan diberangus.

Kalangan TNI juga menurutnya tak memiliki keinginan untuk masuk ke ranah sipil lebih jauh dengan memiliki kewenangan yang lebih luas. Hal itu terbukti dari pernyataan-pernyataan Panglima TNI dan Presiden ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang datang dari latar belakang militer. Mereka menyampaikan kepada bagi para anggota TNI yang ingin menjabat posisi sipil maka harus mundur atau pensiun dari militer.

Bahkan SBY menyampaikan hal yang lebih jauh, bahwa dwifungsi ABRI sudah mengalami koreksi sejarah dan tidak ada yang menginginkan itu terulang sehingga koreksi harus kembali dilakukan.

“Jadi secara sederhana kita sebetulnya bisa memahami bahwa ini ada keinginan bersama-sama (masyarakat sipil dan TNI) untuk memelihara tatanan ketatanegaraan yang demokratik,” sebut Rachland.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang selama ini kerap meneriakkan “tolak revisi UU TNI” merasa suaranya dan rekan-rekan seperjuangan sama sekali tak didengarkan oleh DPR. Sekeras apapun penolakan yang mereka lontarkan, serinci apapun alasan yang dikemukakan untuk tidak merevisi UU TNI, revisi tetap dilakukan dan sudah resmi disahkan.

Penggerudukan yang dilakukan teman-teman aktivis di Hotel Fairmont menurutnya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Jauh sebelumnya, kalangan aktivis sudah menggunakan jalur-jalur legal, namun semua seolah tak menemui jawab. Upaya penolakan itu justru dihadapkan dengan langkah DPR yang melakukan rapat membahas undang-undang secara tertutup, di hotel mewah, dan menelan biaya besar di tengah upaya efisiensi pemerintah.

Hal lain, Bivitri mengaku selama ini mereka tak pernah mendapat draft revisi UU TNI yang terbaru dari DPR. Sehingga apa yang mereka pegang hanyalah draft yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya.

“Enggak jelas, karena kami dapat dari WhatsApp. Harusnya itu kan ada di website DPR yang normalnya kan harusnya begitu. Kenapa yang ini bahkan besok mau diketuk, publik belum tahu (draft-nya). Memangnya serahasia apa? Karena ini undang-undang levelnya, bukan strategi pertahanan (publik harus diberi tahu),” tanya Bibip, sapaan Bivitri Susanti.

“Ini yang harus kita baca, memang proses legislasinya juga cacat, ada problem besar,” lanjutnya.

Anggota Komisi I DPR dari PKB Oleh Soleh, bergabung via sambungan video.

Anggota Komisi I DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Oleh Soleh menegaskan pengesahan tetap dilakukan sekalipun protes berdatangan. Hal itu sudah menjadi keputusan pimpinan Komisi I setelah melakukan rapat-rapat koordinasi dan konsultasi.

“Pimpinan sudah memutuskan bahwa insya Allahu ta’ala kalau tidak ada perubahan kembali bahwa agenda Paripurna besok akan dilaksanakan. Ada beberapa agenda yang di mana salah satu agendanya itu adalah pengambilan keputusan untuk diminta persetujuan terhadap RUU TNI disahkan menjadi undang-undang,” jawab Oleh.

Meski tetap mengesahkan UU TNI yang baru, oleh menyebut hal itu bukan berarti DPR mengesampingkan aspirasi-aspirasi yang datang dari kelompok masyarakat, aktivis, mahasiswa, dan intelektual.

Ia mengapresiasi dan menghormati suara setiap elemen bangsa yang ingin terus melihat TNI berdiri sebagai lembaga militer yang berfungsi sebagaimana mestinya dan sebagaimana diamanatkan reformasi.

“Hanya saja perlu diluruskan bahwa apa yang menjadi kekhawatiran seluruh elemen bangsa di dalam pembahasan draft RUU Undang-Undang TNI yang masuk ke panja (panitia kerja) ini berbeda dengan (draft) RUU yang beredar di masyarakat luas,” jelas dia.

Oleh menyebut draft yang dibahas di panja merupakan bentuk final dari hasil konsultasi dan saran pendapat dari 20 kelompok elemen bangsa yang mewakili kelompok-kelompok masyarakat, termasuk dari TNI itu sendiri.

“Kami di Komisi I ini betul-betul mendengarkan dan menimbang banyak, menimbang bagaimana aspirasi masyarakat ini harus terakomodir di dalam perubahan undang-undang ini,” kata Oleh.

Misalnya, terkait kekhawatiran publik soal dwifungsi ABRI akan kembali Krena TNI menduduki jabatan sipil. Oleh menegaskan hal itu tak akan terjadi lantaran syarat berupa mundur dari TNI tetap diberlakukan jika seorang anggota TNI ingin menduduki jabatan sipil.

Bibip menganggap tak ada yang aneh dengan respons publik, DPR mah yang bersalah akibat tidak transparan dalam membagikan informasi terkait draft RUU TNI ini.

“Teman-teman semua bisa cek sekarang, buka aja dpr.go.id, ada enggak (draft RUU TNI)? Yang kemarin sudah disahkan itu saja tidak ada. Jadi saya sangat berkeberatan kalau ada pihak-pihak seperti Pak Oleh yang bilang bahwa ada salah tuh ngelihatnya draft lama. Bagaimana kami bisa memberikan masukan yang wajar seandainya kami juga tidak diberikan informasi yang cukup,” tegas Bibip.

Ia melanjutkan, berdasarkan Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal dijelaskan bahwa membentuk undang-undang harus melibatkan partisipasi bublik yang bermakna juga transparan dalam prosesnya.
Dalam konteks RUU TNI, bagaimana orang bisa berpartisipasi jika draft resminya saja tidak dibuka untuk umum. Aturam itu sudah lama termuat di UU 12/2011, disahkan oleh DPR, dilanggar pula oleh DPR itu sendiri.

Menanggapi hal itu, Oleh Soleh menyebut ketidaktersediaan data di laman resmi DPR merupakan tanggung jawab bagian kesekretariatan DPR, bukan anggota dewan.

Ia juga menyebut, mungkin ada alasan atau pertimbangan tertentu sehingga kesekretariatan DPR tidak memublikasikannya di laman resmi DPR.

“Krena ini mungkin sedang bergejolak, banyak multitafsir. Saya tidak menjustifikasi bahwa siapapun ini salah tafsir, salah ini, yang saya ambil di sini adalah memiliki kekhawatiran yang sama, memiliki tujuan yang sama, memiliki sebuah keinginan yang sama, bagaimana ABRI independen betul-betul sesuai dengan roh yang diamanatkan oleh reformasi,” ujar Oleh.

Namun, bagaimana bisa masyarakat khawatir sedemikian rupa terhadap kemungkinan bangkitnya dwifungsi ABRI, sementara DPR mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dimana celah yang membuat perbedaan pandangan ini akhirnya muncul?

Andi Widjajanto menganalisis celah itu terdapat pada interpretasi terhadap pasal 47 di UU TNI. Di sana memang disebutkan sejumlah posisi yang bisa diduduki oleh TNI. Namun pada kenyataannya ada TNI aktif yang diletakkan pada suatu jabatan yang di luar ketentuan Pasal 47.

Misalnya pejabat Eselon 1 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) era Jokowi. Posisi itu akhirnya diduduki anggota TNI dengan dalih berkaitan dengan tugas TNI Angkatan Laut, yakni penegakan hukum di laut.

“Maka ketika menterinya melakukan permintaan ke Panglima untuk menempatkan perwira Angkatan Laut di KKP, celah itu dipakai. Dengan menggunakan metode yang sama, saya mentotal ada 43 kementerian/lembaga yang bisa diduduki oleh perwira aktif,” ujar Andi.

Namun ia berujar hal itu tidak terjadi. Artinya, 43 kementerian/lembaga yang ia khawatirkan memiliki potensi menarik anggota TNI itu tidak melakukan hal yang sama dengan KKP.

Dan Pasal 47 yang saat ini menyebut ada 15 atau 16 posisi untuk perwira TNI, bagi Andi menjadi rem yang sangat signifikan sehingga celah-celah sebagaimana ia jelaskan sebelumnya bisa diminimalisasi.

“Akhirnya revisi Pasal 47 itu tidak bablas. Tadinya di pasal 47 draft 2024 itu ada pasal buka gerbangnya,” sebutnya.

Foto bersama para narasumber di studio: Andi Widjajanto, Rachland Nashidik, dan Bivitri Susanti.

Namun, ada satu hal yang Andi pertanyakan terkait inisiatif DPR melakukan revisi UU TNI. Mengapa DPR tidak mempertegas atau memperjelas kewenangannya terkait dengan lenggunaan TNI.

Misalnya untuk operasi militer selain perang (OMSP), pelaksanaan tugasnya harus dilakukan melalui keputusan politik, namun tidak jelas keputusan politik dalam bentuk apa. Apakah dengan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah (PP), atau pemerintah menggelar rapat dengan DPR, atau yang lain.

Di masa pemerintahan SBY, TNI pernah ditugaskan untuk OMSP membebaskan sandera kasus pembajakan kapal Somalia, di sana tidak ada proses yang melibatkan DPR hingga akhirnya operasi itu digelar. Begitupula di era pemerintahan Jokowi, TNI kembali diberangkatkan untuk membebaskan sandra di Filipina. Lagi-lagi proses di DPR juga tidak terlihat.

“Jadi kemudian DPR-nya menginginkan peran yang lebih jelas dalam pengerahan penggunaan baik operasi militer ataupun keputusan politik untuk OMSP. Itu yang bagi saya kalau ini inisiatif DPR mestinya DPR masuk di situ untuk memperjelas itu, karena beberapa kali pengerahan atau penggunaan tanpa ada perlibatan DPR sama sekali,” pungkas Andi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *