“Dewan Perwakilan Rakyat tengah mempertaruhkan dirinya sendiri, apakah DPR mewakili dan mendengar suara rakyat, suara mahasiswa, suara kaum intelijensia, atau menutup telinga dengan hanya mendengarkan perintah ketua partai atau pimpinan DPR. Apakah DPR masih setia pada cita-cita reformasi 1998 atau malah membiarkan reformasi tinggal sejarah.Biarlah sejarah mencatat,”
Undang-Undang TNI secara resmi telah direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (20/3/2025). Ada 3 pasal dalam undang-undang lama yang direvisi. Pasal 3 terkait kedudukan TNI, Pasal 53 soal usia pensiun TNI, dan Pasal 47 mengenai kewenangan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit TNI.
Dalam Pasal 47 hasil revisi, terdapat 15 lembaga/kementerian yang dapat diisi oleh TNI yakni: (1) Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; (2) Dewan Pertahanan Nasional; (3) Kesekretariatan Negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden; (4) Intelijen Negara; (5) Siber dan/ atau Sandi Negara; (6) Lembaga Ketahanan Nasional; (7) Search and Rescue (SAR) Nasional; (8) Narkotika Nasional; (9) Pengelola Perbatasan; (10) Kelautan dan Perikanan; (11) Penanggulangan Bencana; (12) Penanggulangan Terorisme; (13) Keamanan Laut; (14) Kejaksaan RI; dan (15) Mahkamah Agung.
Sebelum revisi dilakukan, hanya terdapat 10 kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh prajurit, kemudian ada penambahan area kewenangan setelah revisi dikerjakan.
Penambahan atau perluasan inilah yang kemudian memicu banyak penolakan dari publik, termasuk di dalamnya kelompok mahasiswa, aktivis reformasi, cendikiawan, dan sebagainya. Perluasan kewenangan TNI untuk duduk di jabatan sipil dinilai mempersempit supremasi sipil.
Yang paling banyak disorot adalah penambahan kewenangan di MA dan MK, karena keduanya berhubungan dengan sistem peradilan sipil.
Dalam Satu Meja The Forum KompasTV (19/3/2025), sejumlah narasumber diundang dan memberikan tanggapannya terkait penambahan kewenangan TNI di MA dan MK ini.

Politisi Partai Demokrat Rachland Nashidik menyebut hal itu tak menjadi soal selama pengadilan terhadap prajurit TNI yang melakukan pelanggaran hukum tetap diadili di pengadilan militer, bukan sipil. Sehingga kedudukannya di MA maupun MK tak bisa mengintervensi proses hukum yang harus ia hadapi di militer.
“Selalu ada kompartemen yang bernama pengadilan militer dan di situ pasti ada jaksa militer, pasti ada juga hakim untuk itu,” kata Rachland.
Namun, Rachland menggarisbawahi perlu dilakukan perbaikan terhadap pengadilan militer tersebut agar supremasi sipil bisa benar-benar terjaga.
Anggota Komisi I DPR dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Oleh Soleh menjelaskan sesungguhnya revisi Pasal 47 hanyalah menambah sejumlah lingkup kementerian/lembaga yang sebelumnya tidak ada dalam undang-undang versi lama. Namun, tambahan itu juga sebenarnya sudah diatur dalam Keputusan Presiden (Kepres).
Kementerian/lembaga tambahan yang dimaksud adalah pengelola perbatasan, penanggulangan bencana, penanggulangan terorisme, keamanan laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia.
“Perlu perlu diketahui oleh bersama ini itu semua existing di Undang-Undang 34 Tahun 2004, kemudian tambahan-tambahan lain itu kan ada di Kepres, kami satukan di dalam undang-undang ini supaya lebih kuat,” ujar Oleh.
Jadi ia membenarkan jika Presiden dimungkinkan menunjuk perwira aktif TNI untuk menjadi ketua peradilan sipil, misalnya menjadi Jaksa Agung.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti khawatir jika Pasal 47 yang baru ini akan ditafsirkan terlewat jauh. Tertulis dalam pasal itu, “membidangi”, yang bagi Bivitri itu terlalu luas artinya, bisa mencakup berbagai tingkatan level.
“Jadi bisa kalau kata-katanya begini (membidangi), mau bedol desa satu kantor kementerian itu diisi oleh tentara semua ibaratnya ya kalau ada tafsir yang segila itu, bisa enggak, bisa kalau kata-katanya begini. Itu yang kami khawatirkan,” ungkap Bibip, sapaan Bivitri.
Kekhawatiran Bibip ditambah dengan karakter pemimpin saat ini, yakni Presiden Prabowo yang memiliki karakter komando. Terbukti di kabinet pemerintahannya sudah ada beberapa menteri yang berasal dari kalangan TNI. Jadi, pasal yang memuat kata multitafsir itu sangat berpotensi diterjemahkan secara maksimal sebagaimana skenario buruk yang ada di bayangannya.
“Kami tidak membahas itu. Kalau tidak ada pembahasan itu berarti existing undang-undang yang masih berlaku, bahwasanya jikalau TNI aktif melakukan tindak pidana ya otomatis yang bersangkutan akan diadili di peradilan militer,” kata dia.
Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) 2022-2023 Agus Widjajanto menanggapi soal kekhawatiran Bivitri soal potensi satu lembaga/kementerian diisi oleh TNI sepenuhnya.
Konstruksi yang digunakan dalam Pasal 47 itu, permintaan terhadap anggota TNI datang dari pimpinan kementerian/lembaga terkait, bukan presiden. Artinya, pimpinan memiliki kewenangan penuh untuk memasukkan atau bahkan menyingkirkan anggota TNI dalam struktur kepemimpinan lembaganya.
“Jadi kalau tadi Bibip mengatakan satu saat mungkin saja ada Jaksa Agung yang meminta semua Eselon I-nya militer, ya harus ada permintaan dari jaksa Agung. Tapi saya rasa pengawalan masyarakat sipilnya yang kemudian harus keras sekali pada saat ada permintaan di luar kebiasaan tersebut,” ujar Andi.
Adapun terkait dengan pelanggaran pidana yang dilakukan oleh TNI yang duduk di bangku sipil, Bivitri justru memiliki pandangan berbeda. Baginya, peradilan militer seharusnya hanya diperuntukkan bagi pelanggaran di KUHP Militer, bukan dilandaskan pada subjek yang melakukan pelanggaran, yakni anggota TNI baik yang ada di militer maupun sipil.
Oleh menjelaskan dalam draft RUU TNI yang dibahas oleh Panja DPR tidak menyentuh bagian status atau proses hukum perwira aktif yang menjabat di jabatan sipil.

Kekhawatiran lain adalah soal adanya perbedaan perlakuan hukum terhadap pelanggar yang datang dari kelompok TNI dan sipil.
Bibip mencontohkan saat terjadi dugaan tindak pidana korupsi pengadaan helikopter, KPK sudah mulai melakukan penyidikan namun tidak bisa dilanjutkan. Sebaliknya, malah KPK menyampaikan permohonan maaf pada TNI, karena semestinya diproses melalui peradilan militer berdasarkan peraturan yang ada.
“Padahal kan itu bukan equality before the law dong. Memang ada putusan MK yang mengatakan bahwa harusnya yang dilihat tindak pidananya, tapi yang sudah terjadi adalah putusan MK itu masih diabaikan,” sebut Bibip.
“Berarti perlakuannya jadi berbeda antara manusia biasa, nonmiliter, dengan tentara. itu yang harusnya jadi prioritas justru,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Bibip mengaku sangat terbuka potensi untuk mengajukan judicial review terhadap UU TNI yang baru disahkan ini. Jika pun bukan jalur formil yang ditemuh, jalur materiil juga mungkin ditempuh. Alasannya, proses revisi UU TNI ini berjalan dengan sangat kacau.

Terakhir, Rachland menduga demo dan penolakan dari publik masih akan terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Namun, baginya itu adalah sesuatu yang sehat dalam negara demokrasi. Tidak perlu ditanggapi berlebihan.
Namun, ia berhara ada perbaikan pola komunikasi baik dari pemerintah maupun DPR terhadap publik. Dengan komunikasi yang transparan, permasalahan kesalahpahaman bisa ditekan.
“Harusnya dari awal itu bisa lebih terbuka, karena jangan-jangan situasi ini tidak akan terlalu menjadi polemik apabila misalnya ketersediaan akses terhadap progres perumusan pasal-pasal itu bisa didapatkan oleh masyarakat secara mudah, sehingga tidak ada kesimpangsiuran,” jelas Rachland.
Ia mengakui, di media sosial memang terjadi simpang siur informasi terkait revisi UU TNI, draft yang beredar berbeda dengan draft yang tengah digodok.
Leave a Reply