“Reformasi 1998 telah menempatkan ABRI lepas dari politik praktis. Setahap demi setahap citra ABRI meningkat dan menjadi lembaga dengan citra positif tertinggi bahkan berada di atas lembaga kepresidenan. Diskursus soal revisi Undang-Undang TNI jangan sampai mengembalikan memori publik pada era orde baru. TNI profesional untuk menjaga kedaulatan negara menjadi harapan semua pihak,”
Isu revisi Undang-Undang TNI atau UU No 34 Tahun 2004 menjadi perbincangan luas yang di dalamnya penuh dengan pro-kontra.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pihak yang tengah menggodok revisi itu beranggapan beberapa perubahan perlu dilakukan mengingat ada sejumlah situasi dan kondisi militer dan kebutuhan nasional saat ini yang tak lagi relevan dengan UU yang dibuat 21 tahun lalu itu.
Beberapa poin yang akan mengalami perubahan, misalnya soal penambahan atau perluasan tugas dan wewenang anggota TNI di ranah non militer. Hal ini memicu kekhawatiran akan memunculkan kembali multifungsi TNI, atau dalam bahasa reformasi dwifungsi ABRI.
Yang tak kalah kontroversial juga soal pembahasan usia pensiun anggota TNI yang akan diperpanjang. Ada kekhawatiran ketidaksiapan organisasi dan anggaran untuk menampung dan menggaji para anggota khususnya perwira yang masa tugasnya diperpanjang itu.
Lantas, apa yang semestinya dilakukan terkait rencana revisi UU TNI ini? Apakah dilanjutkan, atau dihentikan sembari memastikan apa-apa saja yang memang perlu diperbaiki beserta alasannya.

Dalam program Satu Meja The Forum (12/3/2025) KompasTV yang mengangkat tema “Revisi Undang-Undang TNI, Reformasi Sudah Mati?”, sejumlah narasumber menyampaikan pandangannya terkait hal ini.
Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) 2016-2022, Agus Widjojo menyarankan agar dalam proses penyusunan legislasi, pintu untuk konsultasi publik dibuka seluas mungkin. DPR diminta jangan takut dengan banyaknya pendapat berbeda yang mungkin datang dari publik.
Semua itu justru baik untuk produk undang-undang yang nantinya mereka sahkan.
“Mungkin ilmu dia lebih daripada ilmu saya, dan juga yang menyusun itu saya katakan fondasi pengetahuannya harus kuat, dia tahu bagaimana untuk me-manage kekuatan militer dalam sebuah sistem politik demokrasi,” kata Agus.
Adapun terkait perluasan wewenang anggota TNI untuk duduk di jabatan sipil, menurut Agus adalah sesuatu yang seharusnya tidak dilanjutkan. Baginya, jabatan sipil lebih pantas diisi oleh sipil pula, karena mereka menguasai dan mendalami berbagai macam keilmuan yang luas.
Berbeda dengan TNI yang secara umum tidak memiliki kapasitas keilmuan khusus untuk memimpin lembaga atau kementerian di ranah sipil pemerintahan.
“Sebuah negara yang mengandalkan dirinya kepada tentara tidak akan maju, karena tugas tentara itu terbatas pertahanan nasional, memenangkan perang, hanya itu saja. Tapi kalau sipil punya keleluasaan untuk menimba ilmu, bidang-bidangnya luas, dan mereka bisa sampai tingkat yang paling tinggi,” ujar Agus.
“Jadi sekali lagi (kekuatan sipil) itu harus didayagunakan dan tidak sebaliknya sedikit-sedikit ke TNI, karena TNI itu kalau dibawa ke sipil nanti tanpa terasa postur pertahanan kita akan merosot, karena satuan-satuan TNI tidak akan terlatih,” lanjutnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid sepakat dengan saran yang disampaikan Agus, bahwa untuk melakukan revisi sebuah undang-undang, konsultasi dan komunikasi dengan masyarakat, akademisi, dan para ahli harus diperluas. Semua itu demi mendapatkan sebanyak mungkin masukan.
Lebih lanjut, Usman berpesan jika revisi benar akan dilakukan maka DPR harus menjamin UU TNI yang baru nantinya tetap satu nafas dengan mandat reformasi yang termaktub dalam Tap MPR Nomor 6 dan 7 tentang pemisahan TNI dan Polri juga penempatan TNI sebagai alat pertahanan nasional.
“Bagaimana pentingnya tidak menggabungkan antara urusan pertahanan dengan urusan sipil, bagaimana agar pertahanan nasional kita tetap kuat ke depan,” sebut Usman.
Selama ini, sektor pertahanan Indonesia dalam hal ini TNI masih dianggap lemah, khususnya jika dilihat dari aspek kelengkapan alutsista dam kesejahteraan para prajuritnya.
“Postur pertahanannya diperkuat bukan justru ditarik-tarik ke dalam urusan sipil. Pasal-pasal itu janganlah dilanggar, kembalilah ke dalam Tap MPR itu,” pesan Usman.

Pengamat Militer Jaleswari Pramodhawardani menawarkan perspektif lain pada DPR yang berencana memperluas kewenangan TNI di lingkup sipil. Mungkin mereka beranggapan TNI akan senang dan merasa dianggap apabila kewenangannya ditambahkan.
Namun, bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya? Bagaimana jika TNI merasa tidak senang dengan wewenang sipil yang semakin besar ini? Karena itu memperberat beban mereka sebagai seorang prajurit negara yang notabene sudah memiliki kewajiban tersendiri, yakni melindungi kedaulatan Tanah Air.
“Beban ganda atau tripel yang luar biasa ini, ngurusin pangan, ngurusin sawah, dan lain-lain,” kata Dani.
Satu hal lagi, jika DPR ingin melakukan revisi alangkah baiknya untuk mengurangi potensi kontroversi dan munculnya berita simpang-siur di media yang menimbulkan kegaduhan publik.
“Saya rasa pemerintah dan DPR wajib untuk membukakan partisipasi yang bermakna. (Kritik dan saran) yang dari publik, akademisi, itu bukan hanya direaksi saja, jawaban dengan argumentasi, tapi dipahami dulu seperti kata Pak Agus dan Mas Usman,” seru Dani.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan hanya menekankan satu hal terkait rencana revisi UU TNI ini. Pesannya adalah, DPR tak boleh menghilangkan semangat reformasi TNI dalam revisinya.
“Revisi undang-undang TNI 34 ini tentu semangatnya adalah kita harus betul-betul semangat reformasi TNI. Kalau ada yang mengatakan revisi undang-undang itu harus menambah (wewenang), saya malah berpikir bukan menambah, tapi mempersempit lagi,” kata Syarief yang berharap agar profesionalitas TNI terap terjaga baik itu.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait UU TNI itu ada baiknya untuk dipublikasikan dan dikomunikasikan kepada publik secara lebih terbuka. Keterbukaan dapat meminimalisasi potensi salah paham di masyarakat.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar Abraham Sridjaja sepakat dengan usulan itu. Ia pun berterima kasih atas semua masukan yang diberikan dan akan menjadi bahan pertimbangan DPR ke depannya.
“Tentunya semua masukan dari masyarakat akan kami lakukan melalui RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) maupun nanti selesai Panja (Panitia Kerja) saya juga akan membagikan hasil dari Panja. Kita akan berusaha seterbuka mungkin, dan kedatangan saya hari ini di Satu Meja inialah sebagai keterbukaan komunikasi,” papar Abraham.
Leave a Reply