“Yang dikhawatirkan adalah melepaskan ikatan-ikatan yang tadinya mengikat TNI menjadi tentara profesional di dalam sistem politik demokratis, kemudian ikatan-ikatan itu lepas lagi dan amburadul, TNI ini akan kembali amburadul. Ini akan merusak tatanan negara, itu akan sulit lagi untuk memperbaiki kembali, dan itu tentu dampaknya akan ada,
—Kepala Lemhanas 2016-2022 Agus Wijoyo
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas rencana revisi terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Republik Indonesia (TNI). Rencana ini dikhawatirkan akan kembali menghidupkan dwifungsi ABRI yang dulu ditentang dan telah ditumbangkan oleh gerakan reformasi 1998.
Pasalnya, RUU ini disebut-sebut membuka pintu bagi anggota TNI aktif untuk bisa masuk dan duduk di jabatan sipil, sama seperti masa Orde Baru. Saat ini saja, sudah ada sejumlah anggota TNI aktif yang duduk di kementerian/lembaga negara. Misalnya Letkol Teddy Indra Wijaya yang saat ini menjabat Sekretaris Kabinet Merah-Putih Prabowo-Gibran, kemudian Mayjen Novi Helmy Prasetya yang diangkat menjadi Direktur Utama Bulog mulai 7 Februari kemarin.
Akankah profesionalisme dan kepercayaan publik pada TNI yang sudah terbangun dan berjalan selama masa reformasi akan berakhir dengan kembalinya potensi dwifungsi ABRI atau jika ditarik ke konteks saat ini menjadi multifungsi TNI.
Dipandu oleh Budiman Tanuredjo, sejumlah narasumber hadir berdiskusi dan menyampaikan pandangan juga pendapatnya soal isu tersebut dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (12/23/2025) yang mengangkat tema “Revisi Undang-Undang TNI, Reformasi Sudah Mati?”.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar yang juga menjadi anggota Panitia Kerja (Panja) RUU TNI, Abraham Sridjaja mengatakan pihaknya baru saja melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan elemen masyarakat. Dan di tanggal 14 Maret 2025 akan melaksanakan Panja Komisi I bersama-sama dengan pemerintah, dengan harapan terjadi sinkronisasi antara eksekutif dan legislatif.
Abraham menyebut sprit utama DPR merevisi UU TNI adalah memperjelas dan memberi batasan-batasan yang lebih konkret terkait TNI, mengingat UU yang saat ini berlaku sudah cukup usang, sehingga ada beberapa frasa di dalam UU tersebut yang tak lagi relevan dengan kondisi saat ini.
“Dengan spirit itu kita ingin merevisi Undang-Undang TNI ini. Namun banyak kesalahpahaman yang mungkin masyarakat terima,” kata Abraham.
Misalnya soal larangan perwira TNI aktif untuk berpolitik dan keharusan melakukan pensiun dini jika tetap ingin masuk ke ranah sipil. Abraham menegaskan hal itu tak ditetang oleh DPR dan tidak akan direvisi. Hal lain adalah soal 10 posisi jabatan sipil yang dikecualikan dan boleh diduduki oleh anggota TNI. Abraham menggarisbawahi ketentuan itu sudah ada sejak tahun 2004 dan bukan inisiasi DPR saat ini yang akan diimplementasikan melalui RUU TNI.
“Saya tadi lihat ada yang memberikan komen, jangan bawa TNI ke jabatan-jabatan sipil. Loh Itu barang kan sudah ada sejak tahun 2004. Kita hanya memperbarui, memperjelas, sesuai dengan urgensi yang ada,” ujar Abraham.

Pengamat Militer Jaleswari Pramodhawardani menyayangkan mengapa UU yang sudah stabil dan berjalan baik selama 20 tahun terakhir harus kembali diutak-atik oleh DPR dengan alasan ketidaksesuaian frasa dan konteks waktu.
Padahal, di masa reformasi, TNI bekerja dengan profesional menjalankan fungsinya sebagai penjaga kedaulatan Republik. Institusi militer itu juga mendapatkan apresiasi dan kepercayaan tinggi publik dari waktu ke waktu.
“Kekhawatiran kami adalah jangan sampai capaian yang sudah bagus ini menjadi setback setelah 25 tahun dan menjadikan kita membicarakan hal-hal yang sebetulnya kita sudah bicarakan lama tentang membawa TNI yang profesional,” sebut Dani.
Dani ingat, undang-undang ini dulunya lahir atas diskusi panjang para pejuang reformasi juga bersama DPR, khususnya Komisi I kala itu, yang mengalami betapa tidak profesionalnya ABRI, karena masuk ke ranah politik dan menjabat posisi nonmiliter.
“Membicarakan itu (dulu) memang pakai gebrak-gebrak meja, tapi waktu itu semangat kami sama. Kita kan mengumpulkan persepsi yang beda-beda, tapi semangatnya sama (ingin membentuk ABRI yang profesional),” jelas Dani.
Atas rencana revisi UU TNI yang kini tengah digodok DPR, Dani menyebut ada ketidakjelasan pemerintah juga DPR dalam mengomunikasikan rencananya kepada publik.
Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) 2016-2022 yang juga terlibat dalam reformasi ABRI juga memiliki kekhawatiran serupa terkait rencana DPR melakukan revisi terhadap UU TNI.
Baginya, meski UU TNI sudah berusia lebih dari 20 tahun, tak lantas UU itu harus direvisi atau diubah. Kalaupun memang ada hal-hal yang harus disempurnakan atau dipertajam, lakukan saja revisi, tapi jangan jadikan usia undang-undang sebagai alasannya.
“Yang dikhawatirkan (dari revisi UU TNI) adalah melepaskan ikatan-ikatan yang tadinya mengikat TNI menjadi tentara profesional di dalam sistem politik demokratis, kemudian ikatan-ikatan itu lepas lagi dan amburadul, TNI ini akan kembali amburadul. Ini akan merusak tatanan negara, itu akan sulit lagi untuk memperbaiki kembali, dan itu tentu dampaknya akan ada,” jelas Agus yang tersambung melalui komunikasi video.
Dampak yang ia maksud, misalnya ketika TNI boleh menduduki jabatan sipil maka para Aparatur Sipil Negara (ASN) akan merasa terintervensi dan terdesak.
Jika suatu posisi memang benar-benar perlu dijabat oleh sosok TNI dengan segala macam kompetensi dan keilmuannya, maka hal itu dipersilakan, selama anggota TNI yang bersangkutan terlebih dahulu mengundurkan diri dari militer. Jadi, jangan sembarang menempatkan TNI di ranah sipil jika tidak ingin TNI kita kembali berantakan dan kehilangan profesionalitasnya seperti yang terjadi di zaman Orde Baru.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyorot soal risiko memudarnya profesionalitas TNI jika RUU benar-benar dilakukan dan mereka diberi kesempatan lebih besar untuk masuk ke jabatan sipil.
Sebagai seorang aktivis, kekhawatiran itu benar-benar ia rasakan. Ia tak bisa membayangkan, TNI yang dibentuk dan dilatih sedemikian rupa untuk menjaga pertahanan nasional kemudian malah ditempatkan di jabatan sipil yang di luar dari keahliannya.
“Akhirnya TNI kembali ke dalam urusan-urusan di luar pertahanan, itu melemahkan Pertahanan Nasional Indonesia, dan pada akhirnya merusak sistem pembinaan karier di dalam kementerian/lembaga,” kata Usman persis seperti yang disampaikan Agus Widjojo.
Lagi pula, setiap pembuatan atau perubahan undang-undang harus memiliki landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Artinya, tidak bisa revisi dilakukan hanyabatas dasar UU sudah berusia tua dan butuh diperbaharui.
Jika memang itu dasarnya, ada banyak undang-undang yang berusia lebih tua dibandingkan UU TNI. Mengapa hanya UU TNI yang dirombak?
Dari kacamata pandang Usman, penempatan TNI dalam jabatan sipil adalah bentuk ketidakberesan sistem pembinaan dalam organisasi militer yang rekruitmennya terlalu banyak di matra Angkatan Darat.
“Mengikuti Undang-Undang Pertahanan Negara, yang dikembangkan itu bukan matra Angkatan Darat, tapi laut dan udara. Itu sebabnya dari 2.500 TNI aktif di dalam jabatan sipil, 1500-nya adalah Angkatan Darat. Jadi ada pembinaan karier yang bermasalah di lingkungan organisasi militer, ditambah lagi dengan penempatan mereka di dalam kementerian dan lembaga, ini semakin jauh penyimpangannya dari reformasi TNI,” ungkap Usman.
Mengacu pada Tap MPR Nomor 7, tidak ada anggota TNI aktif yang bisa menduduki jabatan sipil, kecuali telah mengundurkan diri. Dalam ketetapan itu tidak ada pengecualian sebagaimana UU TNI yang mengizinkan anggota TNI menjabat di 10 posisi yang telah ditentukan.
Pengecualian dalam UU TNI itu disebut sebagai upaya kompromi untuk masa peralihan dari Orde Baru di mana banyak pos-pos jabatan sipil diduduki oleh militer.
Usman berpandangan, 25 tahun reformasi berjalan seharusnya kita sudah melakukan peningkatan profesionalisme militer dan sipil. Sehingga posisi-posisi militer di sipil bisa dikurangi atau jika perlu dihapuskan.
“Sayangnya justru ditabrak, dan ingat kasus Mayor Teddy, itu melanggar Tap MPR dan melanggar undang-undang, karena kalimatnya jelas anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri. Ini belum mengundurkan diri,” tegas Usman.
Hal ini harus dipertanggungjawabkan oleh DPR dengan cara memanggil Presiden dan Presiden harus mencopot Letkol Teddy dari jabatan Seskab.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat, Syarief Hasan mengatakan, SBY selaku Presiden ke-6 RI, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, sekaligus tokoh yang turut memerjuangkan reformasi ABRI sangat menekankan bahwa semua pihak tak terkecuali, harus menaati undang-undang yang berlaku terkait TNI masuk sipil.
Jika ada anggota TNI aktif yang ingin masuk ke jabatan sipil, maka ia harus mengundurkan diri terlebih dulu sebagaimana dicontohkan oleh putranya, Agus Harimurti Yudhoyono yang mundur dari militer saat mencalonkan diri menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.
“Yang sudah dilakukan oleh Mas AHY yang adalah putra Pak SBY dan sudah diimplementasikan semangat daripada undang-undang reformasi TNI tersebut seharusnya juga menjadi contoh bagi kita, siapapun dia saat ini, untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 34 tersebut,” ujar Syarief.
“Bahwa di dalam perjalanan setelah tahun 2004 sampai 2025 sekarang ada sesuatu yang perlu untuk dilakukan updating, artinya ingin menyelesaikan keadaan, bagi kami itu boleh-boleh saja, tetapi dengan catatan tidak melanggar semangat reformasi,” lanjutnya.

Menjawab pernyataan-pernyataan kontra dari narasumber lain, Abraham selaku anggota DPR yang berasal dari partai pendukung pemerintah, Golkar, menyebut tidak ada yang salah dengan penunjukan Seskab dan Dirut Bulog saat ini yang keduanya merupakan anggota TNI.
“Menurut saya Letkol Teddy tidak melanggar undang-undang,” ujar Abraham singkat.
Secara pribadi, ia berpendapat di dalam UU TNI, selain ditugaskan pada kondisi perang, TNI juga diturunkan pada operasi militer nonperang, yakni dalam Pasal 7 ayat 2. Ia menyebut, TNI bisa diperbantukan untuk mengamankan objek vital negara. Dan dalam Keputusan Presiden (Kepres) No 63 Tahun 2004 diperinci lagi, salah satunya adalah terkait dengan kebutuhan pokok sehari-hari dan energi.
“Meskipun sifatnya adalah perbantuan, tapi ini merupakan perluasan, karena kita punya Undang-Undang 18 Tahun 2012 yang membahas mengenai ketahanan pangan, meskipun Ini belum ada klausula yang secara pasti dalam RUU (TNI),” sebut Abraham.
Pendapat pribadi Abraham itu langsung dimentahkan oleh Usman. Ia menyebut Abraham tak paham apa yang disebut dengsn operasi militer.
“Operasi militer itu berbatas waktu, bukan yang bersifat permanen. Yang kedua yang kita bicarakan ini adalah alih status anggota TNI aktif ke dalam jabatan struktural di dalam kementerian dan lembaga bukan soal tugas perbantuan, itu urusan lain lagi,” serunya.
Agus Widjojo juga tak setuju dengan pendapat Abraham soal tugas perbantuan di bidang pangan sebagai implementasi operasi militer nonperang. Ia menganggap tugas itu lebih layak diemban oleh sipil, karena keilmuan yang lebih memadai ketimbang TNI.
“Orang-orang sipil itu lebih pintar untuk membangun kader-kader dengan pengetahuan yang berkaitan dengan manajemen pangan. Kita lihat kemarin itu prajurit bikin sawah, prajurit tanam padi, banyak yang gagalnya karena itu bukan kerjaan prajurit,” kata Agus.
Kemampuan prajurit TNI adalah perang dengan segala taktik dan kemampuan teknikal di dalamnya. Dan untuk melakukan perang, dibutuhkan sekian banyak orang di tiap satuan. Jadi, Agus juga mengatakan jangan pernah menganggap TNI memiliki sumber daya manusia yang melimpah sehingga sah ditarik-tarik ke urusan sipil.
Banyaknya jumlah prajurit yang mereka miliki adalah terkait dengan kekuatan yang dibutuhkan jika ada perang yang harus mereka lakukan.
Menyambung pendapat Agus dan Usman, Dani menambahkan bahwa kondisi sosual politik domestik maupun internasional saat ini sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi mengalami kemunduran atau regresi terjadi tak hanya di Indonesia, tapi juga negara demokrasi yang lainnya.
Untuk itu, Dani menekankan kita sebagai sebuah negara harus memikirkan kesan apa yang kemudian akan muncul di pandangan dunia internasional tentang Indonesia jika TNI banyak dimasukkan dalam pos-pos jabatan sipil yang tak berkaitan dengan tugas dan fungsi utamanya sebagai penjaga kedaulatan.
“Apa kesan kita sebagai Indonesia untuk dibaca di luar negeri dimana misalnya melihat ada Batalyon Pangan, ada kemudian TNI ngurusi cetak sawah Food Estate, kemudian memperluas wewenang dalam revisi undang-undang TNI. Apa yang ingin disampaikan ke dunia luar,” tanya Dani.
Leave a Reply