Relasi Kepolisian dan Politik dari Kacamata Kompolnas

“Polisi adalah milik kita, bukan milik pemerintahan. Itu kayak klise tapi itu penting untuk merefleksikan kita semua sekarang, karena polisi belum maksimal menjadi alat negara tapi sudah maksimal menjadi alat pemerintahan dan abusif jadinya,”

—Komisioner Kompolnas Choirul Anam

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat negara yang bertugas menegakan hukum, melindungi, serta mengayomi masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, saat ini kedudukan Polri ada di bawah komando Presiden dan bertanggung jawab secara langsung terhadap Presiden.

Posisi itulah yang kerap menimbulkan bias, bagaiamana sesungguhnya kepolisian dipergunakan, apakah sebagai alat negara, atau alat politik yang melekat pada Presiden. Kita tentu belum lupa bagaimana polisi dikabarkan terlibat secara langsung dalam praktik politik praktis di Indonesia.

Mereka diisukan bergerak untuk memenangkan pasangan calon tertentu, misalnya dalam konteks Pemilihan Presiden 2024. Salah satunya dengan cara memanggil para kepala desa dan menyampaikan pesan bahwa paslon tertentu harus menang di daerahnya.

Komisioner Kompolnas Choirul Anam dalam Back to BDM.

Hal-hal seperti itulah yang kemudian menimbulkan lahirnya istilah “Partai Coklat” alias Parcok. Polisi yang semula bertugas di ranah keamanan, saat itu, bahkan mungkin sampai sekarang masih ada yang bergerak di ranah politik kekuasaan.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam pun mengakui presepsi tersebut memang berkembang di tengah masyarakat dan dikemukakan oleh para ahli. Dan isu pengerahan polisi dalam pemenangan Pilpres bukan hanya datang dari tahun 2024, namun juga tahun-tahun politik sebelumnya.

“Semua orang mengakui efektivitas dalam politik praktis menggunakan polisi itu diakui, karena memang sangat efektif. Dan polisi ada yang memang senang bermain aktornya,” kata Anam dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Ia menggarisbawahi, sesungguhnya tak semua polisi berlaku demikian. Pasti ada banyak polisi yang lurus dan tak mau ikut terlibat dalam urusan politik. Sayangnya, mereka dihadapkan pada ruang politik yang membuat tidak ada banyak pilihan tersedia.

Oleh karena itu, Anam meminta pada politisi di tingkat apapun itu untuk berhenti mengajak polisi “bermain” di area politik praktis.

Wawancara Budiman Tanuredjo bersama Choirul Anam di podcast Back to BDM.

Atas tuduhan Parcok itu, sebenarnya sejumlah pihak di kepolisian menyampaikan pembelaannya saat bertemu dengan Anam. Mereka menyebut pemanggilan kepala desa yang mereka lakukan itu dalam rangka mengimbau agar si kepala desa berlaku netral dalam Pemilu, tidak memengaruhi warganya untuk memilih pasangan tertentu.

“Sebenarnya kalau dituduh sebagai parcok sebenarnya enggak loh Cak, kami itu memastikan semua aparat Itu netral makanya Polisi datang ke orang-orang apa ngomong kamu harus netral, kamu harus netral. Gara-gara dia jalan harus netral harus netral itu menjadikan mesin salah satu peserta pemilu kemarin enggak jalan,” jelas pria kelahiran Malang 1977 itu.

Komisioner Kompolnas Choirul Anam dalam Back to BDM.

Disebutkan sebelumnya, Polri berkedudukan di bawah Presiden secara langsung. Namun, ada sejumlah pihak yang menyebut posisi kepolisian sebaiknya dipindah menjadi ada di bawah kementerian, apakah itu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau kementerian lain yang relevan.

Namun, Anam mengaku tak sependapat dengan itu. Polisi sebagai alat negara ada di bawah Presiden, dinilai sudah tepat. Selama, relasi keduanya adalah antara alat negara dan kepala negara, bukan kepala pemerintahan.

Artinya, Kapolri tidak perlu terlibat apalagi melibatkan diri dalam urusan-urusan kepemerintahan. Misalnya, jika Presiden menggelar rapat kabinet yang membahas program-program pemerintahan, Kapolri tak perlu ikut. Berbeda jika rapat itu tengah membahas program kenegaraan dan Presiden sedang mengambil peran sebagai kepala negara.

“Kalau polisi ditaruh sebagai alat negara saya kira untuk menghindari politik praktis jauh lebih maksimal daripada ditaruh di Kemendagri yang jelas-jelas Kemendagri, kementerian apapun itu unsur politik, instrumen politik dari pemerintah sebagai pemenang pemilu. Kalau kayak begitu semakin menjadikan polisi alat politik praktis, jangan,” ungkap Anam.

Namun, dalam acara Retreat Kabinet Merah Putih di Magelang beberapa waktu lalu, Kapolri Listyo Sigit Prabowo diundang dan turut ambil bagian di sana. Hal itu memantik lahirnya penilaian bahwa kepolisian tak lagi menjadi alat negara, namun alat pemerintah.

“Yang terjadi ada tuduhan bahwa ini parcok, karena dipakai oleh Presiden yang menang oleh pemerintah untuk menyukseskan running dia yang kedua, atau nanti kubu dia yang ketiga, keempat, kelima,” sebut advokat yang sempat menjadi Komisioner Komnas HAM itu.

“Dia harus pruden dari politik praktik termasuk politik praktis menjalankan program pemerintah,” imbuhnya.

Tugas polisi sebagai alat negara adalah memastikan negara dalam hal ini pemerintah tidak membuat kebijakan yang melanggar hukum. Apapun program yang diambil pemerintah, selama tidak menabrak aturan, maka kepolisian harus mempersilakannya.

Satu hal yang perlu diingat, Presiden atau pemerintahan hanya menjabat 5 atau maksimal 10 tahun, kemudian akan diganti oleh yang lain. Namun kepolisian tidak demikian. Polisi alat Negara, bukan alat pemerintah. Oleh karena itu, Polri harus bisa memasang pagar pembatas agar tidak terlibat dalam ranah pemerintahan, cukup di urusan krnegaraan.

“Polisi adalah milik kita, bukan milik pemerintahan. Itu kayak klise tapi itu penting untuk merefleksikan kita semua sekarang, karena polisi belum maksimal menjadi alat negara tapi sudah maksimal menjadi alat pemerintahan dan abusif jadinya,” ujar Anam.

Keterkaitan polisi dengan politik juga terlihat dari lambannya bahkan berhentinya kasus-kasus hukum yang menyangkut seseorang yang memiliki keterkaitan atau afiliasi dengan kekuatan politik tertentu.

Misalnya mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang terjerat kasus gratifikasi, suap, dan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) beberapa waktu silam. Kini SYL sudah dibui, namun Firli yang sudah berstatus tersangka masih juga bebas, bahkan kasusnya sudah tak lagi terdengar.

Sebagai latar belakang, Firli merupakan jenderal bintang 3 purnawirawan Polri dengan pangkat komisaris jenderal kepolisian. Selain itu, ia juga dikenal sempat memiliki kedekatan khusus dengan Megawati Soekarno Putri dan Joko Widodo.

Wawancara Budiman Tanuredjo bersama Choirul Anam di podcast Back to BDM.

Bagi, Anam, kasus Firli memang terlalu kental aroma politik hukumnya. Padahal, sekali seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka artinya penyidik sudah memiliki alat bukti yang kuat tentang tindak pidana yang dilakukan seseorang.

“Itu tinggal hitungan hari saja untuk masuk ke jaksa dan dan pengadilan, enggak ribet-ribet. Tapi kalau ternyata penetapan tersangka atau penaikkan penyidikannya memang sejak awal tidak memenuhi kaidah norma pidana, ya pasti ribut…,” kata Anam.

Menggantungnya kasus Firli memang menjadi pertanyaan banyak orang, sosok yang seharusnya memimpin pemberantasan korupsi itu justru menjadi tersangka dari kejahatan korupsi. Sudah begitu, ia juga tidak ditahan atas pelanggaran yang dilakukannya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *