Stigma Kompolnas Jubir Kepolisian, Choirul Anam: Kita Enggak Mau

“Kalau ada kasus antara polisi dengan masyarakat, datanglah ke masyarakat dulu, tanya apa yang terjadi, baru kita konfirmasi ke polisi. Bukan sebaliknya ke polisi dulu baru ke masyarakat. Kalau ke polisi dulu baru ke masyarakat itu kayaknya kita men-delivery informasi dari kepolisian ke masyarakat. Itu yang disebut sebagai juru bicara kepolisian, kita enggak mau,”

—Komisioner Kompolnas Choirul Anam

Sebagai sebuah institusi negara, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tak berjalan begitu saja tanpa adanya pihak yang mengontrol dan mengawasi kinerjanya. Ada satu badan yang berfungsi untuk mengawasi tugas fungsional Polri dan menjamin profesionalitas institusi tersebut. Badan yang dimaksud adalah Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Lebih dari itu, Kompolnas juga bertugas membantu Presiden menetapkan arah kebijakan Polri dan memberi pertimbangan pada Presiden terkait pengangkatan atau pemberhentian Kapolri.

Berkaca pada posisi Kompolnas dalam beberapa permasalahan yang melibatkan anggota kepolisian, timbul kesan di masyarakat bahwa Kompolnas bukanlah pihak eksternal yang melakukan pengawasan terhadap Polri, Kompolnas justru menjadi juru bicara alias humasnya Polri. Bahkan Kompolnas lebih humas dari humasnya Polri.

Komisioner Kompolnas 2024-2028 Choirul Anam menyebut hal itu sudah ia ketahui bahkan menjadi salah satu bahan pertanyaan panitia seleksi saat ia menjalani seleksi Komisioner Kompolnas.

Dalam podcast Back to BDM bersama Budiman Tanuredjo, Anam menyebut Kompolnas seharusnya membawa fakta institusinya sendiri, bukan yang lain, khususnya fakta yang datang dari kepolisian, karena kepolisian ini merupakan lembaga yang harus mereka awasi.

“Jadi kalau ada kasus antara polisi dengan masyarakat, datanglah ke masyarakat dulu, tanya apa yang terjadi, baru kita konfirmasi ke polisi. Bukan sebaliknya ke polisi dulu baru ke masyarakat, kalau ke polisi dulu baru ke masyarakat itu kayaknya kita men-delivery informasi dari kepolisian ke masyarakat. Itu yang disebut sebagai juru bicara kepolisian, kita enggak mau,” kata Anam.

Tradisi inilah yang saat ini tengah didorong dalam internal Kompolnas dengan susunan komisioner yang baru saja berjalan kurang lebih 4 bulan lamanya.

Selain itu, untuk membantah label “jubir Polri”, Kompolnas sekarang juga memegang teguh norma dan koridor hukum. Jadi, setiap ada anggota polisi yang melakukan pelanggaran, Kompolnas tidak terbatas hanya pada etik, jika pelanggaran yang dilakukan juga memenuhi unsur pelanggaran pidana, maka konsekuensi hukum pidana pun harus diberikan pada yang bersangkutan.

Misalnya kasus polisi tembak polisi di Solok dan polisi tembak siswa di Semarang.

“Ini tidak boleh berhenti di etik, tapi juga harus pidana, karena pidananya terang-benderang. Kecuali enggak ada pidananya, kita juga enggak memaksakan diri. Tapi kalau ada pidananya ya harus diproses pidana,” tegas mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu.
Apalagi, jika hukuman pidana yang dijatuhkan lebih dari 2 tahun, maka itu bisa berdampak pada pemecatan. Ketegasan ini penting dilakukan untuk memberi efek jera, sehingga tiap anggota Polri tak akan bertindak ceroboh dan mengulang kesalahan yang dilakukan oleh sesamanya.

Wawancara Budiman Tanuredjo bersama Choirul Anam di podcast Back to BDM.

Sebagaimana diketahui, Kompolnas saat ini dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan sebagai Ketua, kemudian Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebagai Wakil Ketua. Keduanya adalah mantan petinggi di kepolisian.

Dengan fakta itu, bagaimana Kompolnas bisa tetap profesional menjalankan tugasnya sebagai pengawas Polri dan menyampaikan temuan-temuannya terkait Polri kepada masyarakat?

Anam mengaku para jenderal kepolisian yang kini menjabat di pemerintahan dan kini menjadi “bos” mereka di Kompolnas tak pernah ikut campur ataupun intervensi terhadap tindakan atau pernyataan publik yang Kompolnas lakukan, mereka menyerahkan semuanya pada Ketua Harian yang bertugas.

“Kami punya WA grup, tapi beliau bertiga (Budi Gunawan, Tito Karnavian, dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas) tidak pernah intervensi kami. Kami mau melakukan apapun atau statement keras di publik enggak ada intervensi. Nanya pun juga enggak. Baru kalau kami selesai melakukan sesuatu, sudah kelar semua, kami kasih tahu, ini loh hasilnya, ini ini ini ini. ‘Terima kasih’, cuma gitu aja. Dan itu saya kira satu sikap yang baik yang menunjukkan tata kelola enam orang yang harian ini dihormati lah,” jelas alumnus Universitas Brawijaya itu.

Pesan yang disampaikan oleh Budi Gunawan hanya sebatas, di internal kepolisian sampaikan sejujur-jujurnya, keras, terang, dan apa adanya sehingga kerusakan bisa diketahui dan segera diperbaiki. Namun, dalam konteks penyampaian pada publik hendaknya atur kalimat dengan baik, karena ada hubungan institusioanal yang harus dijaga.

Kasus demi Kasus Terjadi di Kepolisian…

Dalam kurun waktu beberapa tahun ke belakang hingga saat ini Polri kerap didera kasus yang melibatkan anggota atau personilnya. Misalnya saja kasus Ferdy Sambo yang tembak ajudannya, kasus Kanjuruhan, Teddy Minahasa terkait kasus narkoba, kasus Semarang, Solok, represi band Sukatani, pemerasan Djakarta Warehouse Project (DWP), juga penyogokan Prodia.

Terkait hal itu, Anam melihat upaya perbaikan kepolisian melalui jalur pendidikan, promosi kinerja, dan sebagainya baik untukdilakukan. Tapi ternyata itu saja tidak cukup. Diperlukan adanya tindakan tegas, tak hanya sekadar teguran terkait etika untuk menertibkan dan mengubah perilaku personel kepolisian.

“Yang paling penting, yang kurang adalah tindakan tegas. Apa yang dimaksud tindakan tegas tidak cukup etik, kalau ada pidana ya di pidana. Saya kira kalau ini ditegakkan akan mengubah perilaku,” ujarnya.

Karena jika berbicara sistem, Polri telah dan terus berbenah memperbaiki sistem yang dimilikinya. Berangkat dari kritik yang masuk dari luar, Polri terus berinovasi menuju pelayanan yang lebih profesional dan lebih baik. Misalnya kritik terkait pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang rawan dengan kegiatan suap-menyuap. Kini telah dihadirkan sistem online, sehingga masyarakat selaku pemohon dan anggota kepolisian selaku penerbit tidak bertemu secara langsung.

Tapi, hal demikian tidak berlaku untuk konteks penanganan kasus, sekalipun ada pelaporan berbasis online.

Anam berpandangan kontrol harus terus diberlakukan, salah satunya dengan menerapkan hukuman pidana bagi siapa saja anggota yang terbukti melanggar, juga masyarakat yang jelas-jelas juga menrabas aturan hukum.

Misalnya dalam kasus DWP, itu adalah pemerasan yang dilakukan oleh personil Polri. Sementara kasus Prodia, di sana ada masyarakat yang bertindak menyuap Polri. Keduanya adalah pelanggaran pidana.

“Dua-duanya ini jadi cermin sebenarnya. Apapun itu keduanya ini adalah pidana, ya harus dipidana. Kalau tidak ada satu sekuel pemidanaan ini saya kira enggak akan ada perubahan yang signifikan,” jelas advokat sekaligus aktivis itu.

Sayangnya, hingga kini kedua kasus itu belum ada yang ditangani secara pidana, semua masih di ranah etik. Namun demikian, Kompolnas mengaku secara resmi sudah berkirim surat pada Polri agar dua kasus itu segera diselesaikan secara hukum.

“Kami kepengin menyelamatkan institusi. Kami tidak menyelamatkan anggota kepolisian, kami menyelamatkan institusi,” tegas dia.

Wawancara Budiman Tanuredjo bersama Choirul Anam di podcast Back to BDM.

Selama ini, kesalahan-kesalahan yang terjadi dan dibuat oleh anggota kepolisian dinilai Anam sebagai sesuatu yang tidak dibuat-buat, genuine. Namun, upaya untuk menyebarluaskan kesalahan itu menjadi gelombang viral di publik, itu yang dianggap Anam sebagai sesuatu yang tidak genuine.

“(Ada) Orang-orang yang memiliki kepentingan lain untuk mendelegitimasi kepolisian. Memang orang, dia tidak pernah bawa lembaga, tapi dia punya background lembaga. Menurut saya yang itu yang enggak genuine” kata Anam.

Orang atau lembaga yang dimaksud bukanlah masyarakat umum, korban, pemerhati, atau lembaga netral seperti YLBHI, KontraS, dan sebagainya.

Mereka membuat narasi besar-besaran yang jika ditilik oponi yang dibangun jauh dari akar persoalan.

Misalnya kasus penembakan bos rental mobil di Banten, di mana saat itu Kapolres tidak menindaklanjuti laporan yang datang pada pukul 23.00 malam bahwa ada kejadian perampasan mobil dimana pelakunya membawa senjata tajam.

Polisi tidak menindaklanjuti laporan warga adalah satu kesalahan. Namun porsinya dalam kasus Banten mungkin hanya 30 persen saja di mata Anam. Bisa jadi, Kapolres merasa tidak memiliki kapasitas di saat itu untuk mengamankan pelaku yang bersenjata tajam. Mungkin faktor keterbatasan personel, waktu yang sudah larut, dan sebagainya.

“Itu kan dalam konstruksi peristiwanya mungkin kesalahannya 30 persen, 70 persennya yang mati, cuma yang viral ini soal kapolseknya, penembakan sampai kematian dan sebagainya (tidak menjadi fokus),” sebut Anam.

“Itu kami juga heran, semua orang heran, ini kenapa kok isu sepenting itu, hilangnya nyawa, kalah dengan isu yang tidak menerima pengaduan. Itu juga mempertegas kami,  memang ada orang yang secara campaign itu di luar kepentingan publik, punya kepentingan yang lain,” lanjutnya.

Lain halnya jika narasi yang berkembang adalah sesuatu yang riil datang dari keresahan masyarakat dan kesalahan benar dilakukan oleh personel kepolisian. Jika itu yang terjadi, Kompolnas justru berterima kasih, karena itu menjadi satu bentuk kritik yang baik. Ia mencontohkan soal lagu “Bayar Bayar Bayar” dari band punk Sukatani.

“Soal fakta substansi lagunya apakah betul terjadi, bagi kami itu betul terjadi. Misalnya Sukatani ngomong bayar bayar bayar, masuk Polisi bayar polisi, bikin SIM bayar SIM, itu terjadi,” kata pria kelahiran 25 April 1977 itu.

Hanya saja, satu hal yang perlu diketahui oleh masyarakat, atas kritikan semacam itu polisi tidak mendiamkan. Institusi telah dan terus melakukan perbaikan.

“Termasuk soal SIM. SIM kan juga dibikin digital, pendaftarannya digital, ininya (prosesnya) juga lebih terbuka, tapi juga ada yang tetap mau nyogok bayar. Pertanyaannya siapa yang berkeinginan, apakah polisinya kepinginan disogok atau masyarakatnya yang kepingin nggampangke, bayar aja ke polisi biar beres. Dua-duanya salah,” jelasnya.

Sukatani Diintimidasi?

Berbicara soal Sukatani, beberapa waktu lalu band yang terdiri dari dua orang personel itu membuat video permintaan maaf yang diunggah di publik pasca diundang oleh kepolisian atas lagu “Bayar Bayar Bayar” yang berisi kritikan terhadap polisi. Tak lama, mereka kemudian mengaku diintimidasi sehingga membuat pernyataan maaf tersebut.

Sukatani juga mengaku sempat ditawari menjadi duta kepolisian oleh pihak terkait, namun mereka sepakat untuk menolaknya.

Benarkah intimidasi dilakukan?

Anam melihatnya dari perspektif kebebasan berekspresi, seharusnya Polri tak perlu sensitif jika ada kritik yang masuk melalui bentuk karya seperti lagu milik Sukatani.

“Biarin aja, enggak usah sensi terus mendekati ngajak ngobrol, apalagi pakai surat manggil dan sebagainya, datangin dan sebagainya. Walaupun mendatanginya juga baik-baik saja, tidak represif, tapi kan perasaan orang enggak ada yang tahu,” ujar Anam.

Ia berpendapat, seharusnya Polri memanggil Sukatani bersama teman-teman seniman yang lain juga, biarkan mereka membawakan karya mereka di kantor kepolisian, setelah itu berdiskusi bersama. Sehingga yang bersangkutan akan merasa lebih nyaman, dihargai, dan tidak terintimidasi.

Kepolisian berdalih undangan yang dilayangkan pada Sukatani hanya untuk kepentingan klarifikasi. Namun, bagi Anam Polri tidak melihat apakah pihak yang diundang merasa nyaman dengan gaya undangan yang dibuat. Jika sudah begitu, polisi pasti akan disebut intimidatif sekalipun mereka tidak berniat untuk mengintimidasi.

Komisioner Kompolnas Choirul Anam dalam Back to BDM.

Padahal, selama ini Kapolri Listyo Sigit Prabowo berulangkali menyatakan siapa yang berani mengritik Polri maka ia akan menjadi sahabat Polri, sahabat Kapolri bahkan. Kapolri bahkan sempat membuat lomba mural dan demo bertema kritik terhadap Polri. Semua itu menunjukkan keseriusan Kapolri yang terbuka dengan kritik.

Lantas, apakah “intervensi” terhadap Sukatani merupakan wujud adanya ketidaksamaan perintah atasan dan tindakan bawahan dalam hal menangani kritik?

“Kalau saya sih melihatnya ini improvisasi dari petugas kepolisiannya yang mungkin enggak nyaman dengan lagu itu dan kepingin juga mendapatkan perhatian pimpinan dengan cara yang menurut saya blunder. Dia enggak tahu bahwa Pak Kapolri atau institusi kepolisian pernah menghadapi kritik yang lebih kejam dari sekedar nyanyian kayak begitu,” ujar Anam.

Polri justru membuka diskusi, mengajak duduk bersama, dan membuka ruang untuk mereka menyampaikan ekspresinya, sehingga esensi “keterbukaan atas kritik” yang coba dibangun Kapolri bisa ditangkap dengan baik.

Anam menyampaikan, sebelum Sukatani muncul, 2-3 bulan sebelumnya Polri telah membuka saluran pengaduan berupa sambungan hotline dengan Propam untuk melaporkan jika ada keresahan masyarakat terkait Polri.

Jadi, masyarakat bisa menggunakan jalan formal ini terlebih dahulu, tidak tiba-tiba menyampaikan kritiknya secara terbuka dengan dalih kebebasan berekspresi. Kecuali, jika kritik yang disampaikan secara langsung itu tidak mendapat tanggapan atau respons, barulah jalur kebebasan berkeskpresi bisa digunakan.

“Kadang-kadang kalau meninggalkan saluran formal cuma main di saluran kebebasan berekspresi tidak bisa serta-merta membawa manfaat yang maksimal kepada kasusnya,  apalagi ini sudah ada saluran formalnya,” ujar dia.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *