Budiman Tanuredjo
Sepanjang hari Jumat, 7 Maret 2025, saya bertemu dengan sejumlah politisi. Di tempat berbeda, dari parpol berbeda. Ada kesan yang saya tangkap – semoga saya salah, tapi saya yakin tidak salah – partai politik (parpol) seperti tersandera. Parpol menjadi powerless. Parpol tak bisa berbuat apa-apa dengan situasi negeri yang saya katakan sebagai “tintrim”.
“Jangan terlalu berharap dengan parpol. Kita ini ngomong keras sedikit langsung kena semprit,” ucap politisi senior dan juga anggota DPR. Saya manggut-manggut. Parpol telah menjadi oligarki tersendiri di mana ketua umum parpol adalah “pemilik”. Para “pemilik” inilah yang berembuk dengan pemegang kekuasaan untuk memenuhi kredo politik purba yang dirumuskan Halord Laswell (1936), “who get what, when, dan how.” Di atas para ketua umum parpol ini masih ada sentral oligarki lagi yang mengontrol ke mana arah bangsa ini akan dibawa.
Di dunia digital beredar surat keputusan menteri, namun sulit ditemukan di media arus utama. Dalam surat keputusan tersebut berisi daftar nama-nama kader partai yang dilibatkan dalam sebuah proyek. Dalam daftar tersebut ada juga pendapatan yang diterima. Besarnya lumayan. Saya mencoba mengonfirmasi surat tersebut kepada seorang pengurus partai. Ia tak membantah. Namun ia pun mengatakan, dana itu bukan dari APBN. Ia juga mengatakan di kementerian lain pun terjadi demikian, bahkan lebih banyak jumlahnya. Namun buru-buru ia mengatakan sebelum menjadi kontroversi, SK itu telah direvisi.
Konfirmasi itu membenarkan prinsip politik Laswelian “who gets what, when dan how.” Gejala ini bisa ditemukan di sejumlah kementerian. Dimana elite memimpin di satu Kementerian, di sanalah berkumpul para pendukungnya. Jika era reformasi dikenal dengan retorika perang terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), di era paska-reformasi telah berubah menjadi NKK atau Narik Kawan-kawan. Kekuasaan ini ditopang dengan pilar patronase politik, patronase ormas dengan prinsip “who gets what, when dan how.” Meskipun secara retorika, semua itu dikemas dengan gimik nasionalistik gotong-royong. Inilah politik kekuasaan berbagi kepada para pendukungnya. Inilah era industrialisasi politik.
Ketika parpol mengalami kelumpuhan, dunia kampus juga mengalami hal serupa. Beberapa kampus terjerat dalam industrialisasi pendidikan yang kadang mengabaikan etika. Situasi ini menambah rasa “tintrim” negeri ini. “Tintrim” adalah suatu kondisi di antara harapan dan kecemasan. Di antara kepastian ada ketidakpastian namun berharap masih ada harapan.
Di tengah situasi tak menentu, sinar terang justru muncul dari Yogyakarta, khususnya Universitas Islam Indonesia (UII), kampus di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Yogyakarta tampaknya akan menjadi pusat gerakan kesadaran baru dan UII akan menjadi salah satu pusat gerakan yang membangun critical mass. UII menjadi pusat gerakan tak bisa dilepaskan dari Rektor UII Dr Fathul Wahid, doktor lulusan Universitas Adger, Norwegia. Di tengah sepinya kampus, UII justru memberikan pernyataan sikap politik menanggapi situasi kebangsaan.
Satu pesan penting yang ditekankan UII adalah krisis keteladanan. “Mengingatkan pejabat negara untuk menjadi teladan dengan menjaga tutur kata, sikap, tindakan, dan gaya hidup yang tuna empati untuk mengedukasi publik dan sekaligus dalam rangka membangun kepercayaan rakyat,” tulis UII yang ditandatangani sendiri oleh Fathul Wahid, Kamis 6 Maret 2025.
UII melihat tanda- tanda kemunduran demokrasi di Indonesia terus bermunculan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin terancam dengan meningkatnya kasus intimidasi, ancaman kriminalisasi, dan pembungkaman terhadap aktivis, seniman, akademisi, serta jurnalis. Gejala kemunduran demokrasi di Indonesia sudah disepakati ilmuwan politik seperti David Ziblatt, Stefen Letwisky, Nancy Bermeo, dan Thomas Power.
Dengan latar belakang situasi sosial-politik kebangsaan, UII menyerukan, masyarakat sipil harus tetap berperan aktif sebagai kontrol sosial. Ketidakpedulian dan apatisme hanya akan memberikan ruang lebih luas bagi penyimpangan kekuasaan. Berangkat dari kesadaran tersebut, kami, keluarga besar Universitas Islam Indonesia:
Pertama, mendesak pemerintah untuk membuka ruang demokrasi yang lebih luas dengan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis dari intimidasi dan ancaman kriminalisasi.
Kedua, menuntut pemerintah untuk lebih sensitif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat dengan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada data yang valid dan pendekatan ilmiah untuk menjamin akurasi, relevansi, dan tepat
Ketiga, meminta pemerintah untuk serius dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan memastikan penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak pandang bulu, di samping juga memperkuat peran lembaga antikorupsi, meningkatkan pengawasan anggaran, serta berhenti membuat kesan mengembangkan narasi yang menutupi atau mengaburkan praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Keempat, menyeru pemerintah untuk menjamin bahwa efisiensi harus berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik dan program sosial yang berdampak langsung pada rakyat.
Kelima, mengingatkan pejabat negara untuk menjadi teladan dengan menjaga tutur kata, sikap, tindakan, dan gaya hidup yang tuna empati untuk mengedukasi publik dan sekaligus dalam rangka membangun kepercayaan rakyat.
Keenam, mengajak masyarakat sipil dan elemen bangsa lainnya untuk tidak apatis dengan terus berperan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah dan mengkritisi secara konstruktif demi menciptakan pemerintah yang lebih responsif, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat, serta mewujudkan demokrasi yang sehat.
Yogyakarta telah bersuara. Lugas dan tegas. Akankah suara Yogyakarta akan bergulir? Biarlah sejarah yang mencatatnya.


Leave a Reply