“Yang kita perlukan adalah action oriented, kita enggak butuh lagi kebijakan-kebijakan, apalagi yang berubah-ubah,”
—Anggota Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit
Indonesia ada di tengah belitan permasalahan yang kompleks di usianya yang menginjak 79 tahun pasca merdeka pada 1945. Wajah hukum coreng-moreng akibat banyak pihak yang memanfaatkannya sebagai senjata kekuasaan. Dunia politik pun tak kalah menyedihkan, karena sistem merit perlahan terbunuh oleh praktik nepotisme dan kekuatan uang. Ternyata hal serupa juga terjadi di ranah ekonomi dan usaha.
Secara nasional, perekonomian memang mengalami peningkatan, tapi manfaat dari peningkatan itu tidak bisa dirasakan secara merata oleh seluruh kelompok masyarakat. Ketimpangan terjadi di sana-sini, angka pengangguran meningkat, lapangan kerja sulit, semua itu disebabkan oleh sedikitnya investasi yang masuk di Indonesia.
Banyak persoalan yang dihadapi oleh para pengusaha untuk bisa bertahan dan bersaing dengan industri sejenis dari luar negeri. Sayangnya, mereka tak memiliki wadah yang bisa mereka tuju untuk mengadu dan mencari solusi, khususnya dari pihak pemerintah selaku pembuat regulasi.

Oleh karena itu, Anggota Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Joenoes Supit mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto membentuk satu unit lembaga khusus untuk menjawab persoalan-persoalan di dunia usaha.
“Bisa enggak ditunjuk satu orang yang senior, yang kalau ada kesulitan seperti ini kita mengadu ke Beliau. Kan enggak mungkin kita ke Presiden (langsung), ke menteri juga kan ada batasan,” kata Anton dalam wawancaranya bersama Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.
Misalnya perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam, keuntungannya jelas banyak, namun sumber daya alam itu jumlahnya terbatas. Harus ada strategi dan upaya yang dilakukan agar hasilnya optimal, tidak merusak lingkungan, dan bisa berlangsung secara berkelanjutan.
Terlebih dengan target pertumbuhan ekonomi yang diapsang pemerintah ada di angka 8 persen, maka sumber faya alam yang terbatas itu tidak bisa dijadikan satu-satunya pegangan. Anton menegaskan, peran dari perusahaan-perusahaan manufaktur juga harus digenjot.
“Manufacturing ini yang banyak diganggu sekarang, termasuk ormas datang memaksakan harus kasih dia yang angkut, dia yang (olah) waste-nya, limbah harus kasih mereka. Tapi semua ini kan mengganggu,” ujar Anton.
Dengan adanya gangguan semacam itu, perusahaan mau tak mau harus menambah jumlah petugas keamanan dan itu tidak sehat bagi sebuah perusahaan, karena menambah beban keuangan.
Lalu, apa urgensi dari pembentukan badan baru ketika sebenarnya sudah ada badan-badan atau lembaga-lembaga yang bisa menangani persoalan mereka, yakni Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Atau misalnya terkait “gangguan ormas” bisa diselesaikan melalui laporan polisian.
“Pengalaman kita orang sudah sungkan ke sana. Saya tidak bisa mengatakan 100 persen, ada yang bisa pantau, tapi kita bicarakan pada umumnya,” sebut Anton.
Di akhir masa kepemimpinan Presiden Soeharto, Menteri Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deparindag) kala itu Tungki Ariwibowo memiliki tim dan tenaga khusus yang ditugaskan untuk menerima masukan dari para pelaku usaha.
Keluhan dan masukan itu mereka formulakan untuk kemudian dibawa ke forum rapat yang digelar setiap bulan. Di forum itu, pelaku usaha yang melaporkan beserta menteri terkait akan diundang hadir. Di situ lah persoalan akan diputuskan.
“Jadi kita berharap ada seperti itu, ada hotline yang kalau kita melapor, umpamanya pabrik kita diblokir, ini kan sudah urusan hukum, polisilah harus bertindak,” harap Anton.
Ada sejenis sistem yang di dalamnya berisi orang-orang kompeten yang akan menindaklanjuti segala keluhan yang datang dari kelompok mereka.
Saat ini, jika ada masalah yang dialami pelaku usaha yang memiliki akses ke kepolisian akan melaporkan pada institusi itu. Namun yang memiliki privilese seperti itu tidaklah banyak.
Jika nekad membuat laporan tanpa memiliki akses relasi pada petugas di dalamnya, biasanya hanya berujung pada kekecewaan, tidak ditindaklanjuti, dan tidak ada penyelesaian apapun.

Anton menceritakan pertemuannya dengan Luhut Binsar Pandjaitan selaku ketua DEN baru-baru ini. Dalam pertemuan itu, mereka membahas soal padat karya, khususnya di daerah yang masih memiliki potensi untuk itu.
Luhut pun berencana untuk membuat semacam satuan tugas khusus yang skan bertugas sebagai pendamping.
“Ya mungkin ini cikal-bakal dari itu. Tapi yang paling penting di mana paling mudah kita mengadu, mungkin seperti mengadu ke Wapres seperti itu Lapor Wapres. Tittle-nya sudah betul, tapi kalau kita melapor di follow up enggak,” tanyanya.
Tidak adanya saluran untuk mengadu, tak jarang membuat sejumlah pihak menempuh jalur “viral”. Viralkan masalah yang dihadapi, mendapatkan atensi publik, baru penanganan dari pihak terkait akan diberikan.
Bagi Anton, pihak yang melakukan keviralan adalah mereka yang sudah buntu, tak tahu lagi harus melakukan apa. Tapi jalur viral itu hanya bisa mengatasi masalah per masalah, tidak bisa untuk mengatasi masalah secara berkelanjutan. Maka yang dibutuhkan adalah sistem yang di dalamnya ditempatkan orang-orang kompeten.
“Yang kita perlukan adalah action oriented, kita enggak butuh lagi kebijakan-kebijakan, apalagi yang berubah-ubah,” ujarnya.
Anton menyebutkan salah satu pelatah China yang intinya jika masuk ke rumah yang baru, jangan main bongkar tembok, karena siapa tahu tembok itu fungsinya untuk penahan atap.
Ingin Indonesia Maju, Ubah Paradigma…
Terlepas dari segala persoalan yang mendera negeri ini, Anton Supit menyebut satu hal yang menyebabkan Indonesia terus jalan di tempat, bahkan sesekali mundur menjauh dari predikat negara maju. Permasalahannya terletak pada kepemimpinan atau leadership.
Paradigma pemimpin kita selalu mengedepankan popularitas dan kepuasan publik yang mereka pantau melalui hasil-hasil survei. Padahal, apalah arti kepuasan publik dan popularitas jika ia sebagai seorang pemimpin tidak berhasil membuat negara dan rakyat yang ia pimpin menjadi sejahtera.
“Lupakanlah popularitas, survei-survei itu sudahlah. Apa yang diyakini baik, silakan bikin, walaupun opini masyarakat mungkin tidak mendukung. Itu akan jauh lebih bermanfaat,” tegas Anton.
Ia mencontohkan, ketika kampanye Presiden Amerika Serikat, George Bush Senior membuat pernyataan tidak akan menaikkan pajak. Padahal saat itu kondisi perekonomian AS sangat membutuhkan kenaikan pajak. Janji politiknya itu tentu menyenangkan hati rakyat, tapi tidak tepat bagi kondisi negara.
Lee Iacocca, ketika itu adalah Presiden Chrysler sebuah perusahaan produsen mobil si AS, bersurat pada Bush dan memintanya untuk menaikkan pajak, karena negara benar-benar butuh itu. Di tahun pertama, kebijakan ini memang akan membuat Anda dicaci orang, dikatakan pembohong, kehilangan dukungan, dan seterusnya. Tahun kedua pun masih demikian. Namun, di tahun ketiga rakyat mulai melihat hasilnya. Akhirnya, di tahun keempat Anda akan kembali terpilih di pemilihan selanjutnya.
“Dia tidak mau ikut, akhirnya dia kalah dengan Clinton, Bill Clinton,” kata Anton.

Begitu pula dengan yang terjadi di Indonesia. Anton mencontohkan apa yang dilakukan oleh Joko Widodo selama menjadi Presiden. Ia kerap membagikan bantuan pada masyarakat, mendatanginya secara langsung, didokumentasikan, dipublikasikan.
Ya, itu memang membantu dan enak dipandang mata, bahkan pihak luar yang tak turut menikmati bantuan itu pun bisa merasakan kegembiraan melihat bagaimana pemimpin memperhatikan rakyatnya yang tengah susah.
Namun, bukan bantuan sosial yang dibutuhkan, bukan menebar bantuan yang semestinya dilakukan seorang pemimpin negara.
“Itu popularitas, tapi yang sebenarnya harus dilakukan Presiden adalah membuat rakyat keluar dari kemiskinan, berikan lapangan kerja,” sebutnya.
Lebih parahnya lagi, paradigma mengedepankan popularitas semacam itu terus dipertahankan demi mendapatkan dukungan rakyat di kontestasi-kontestasi selanjutnya. Ink yang harus dihentikan.
Sekarang, ketika tampuk kekuasaan dolanjutkan oleh Prabowo, kita sebagai masyarakat harus terus proaktif mengawasi dan memberikan kritik, jika memang kebijakan yang diambilnya tidak tepat.
Sudah bukan saatnya lagi mengatakan pendukung atau bukan pendukung, karena siapapun yang kita pilih di bilik suara, Prabowo lah Presidennya. Kebijakan yang ia ambil bukan hanya berdampak bagi pemilihnya, tapi seluruh rakyat Indonesia.
Jangan jika ada kritik langsung dikatakan sebagai pembenci, dikatakan sebagai orang-orang sakit hati akibat kalah pilpres, penilaian semacam itu harus segera dihentikan. Ibarat pertunjukan musik, lagunya tidak didengar, tapi penyanyinya yang lebih diperhatikan.
“Saya dengar dari Pak Faisal Basri almarhum, dia sangat sedih. Pak Faisal kan selalu mengritik dengan data, ada satu kritik dijawab oleh yang bersangkutan, ah kalau tidak mengritik itu bukan Faisal Basri. Wah dia bilang begini, saya lebih senang kritikan saya ditanggapi kalau itu salah, tapi jangan terus apriori padahal data ini betul,” kisah Anton teringat apa yang pernah disampaikan Faisal Basri.
Padahal, pada dasarnya kritik adalah bentuk perhatian dan keinginan baik masyarakat untuk negaranya yang disampaikan pada pemerintah dan pemimpin sebagai pihak yang berwenang atas pengelolaan Negara.
Leave a Reply