“Mencari kerja ini susah, dan ya kita lihatlah gangguan kiri kanan ini. Akar permasalahannya akhirnya menjadi kenapa mencari lapangan kerja susah, karena tidak ada investasi yang masuk, atau kurang lah, tidak bisa memenuhi,”
โAnggota Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton Supit
Anggota Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Joenoes Supit menjadi tamu di Podcast Back to BDM di kanal YouTube BudimanTanuredjo. Dalam obrolan tersebut, Anton berbocara tentang banyak hal terkait dunia usaha dan ekonomi, mulai dari peluncuran Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), hingga bagaimana “Indonesia Gelap” dilihat dari kacamata para pengusaha.
Soal Danantara, Anton melihat ini sebagai sesuatu yang baik dan menjanjikan bagi masa depan perekonomian negara. Hanya saja, ada kondisi-kondisi tertentu yang bisa menyebabkan angan-angan indah itu justru berubah menjadi malapetaka.
Ia membukanya dengan analisis dari kantor konsultan managemen McKinsey yang menyatakan bahwa pada 2045 Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan perokonian terbesar ke-6 di dunia. Analasis itu didukung oleh sejumlah kondisi yang memang menguntungkan Indonesia, salah satunya adalah pasar yang luas dan adanya kekayaam sumber daya alam.
“Begitu bagus, tapi yang tidak diperhatikan orang, nanti di ujung, yang tidak masuk tertulis, Presiden Direktur McKinsey Indonesia mengatakan ini akan terjadi if (apabila). If ini kan yang selalu samar-samar. If kalau memang ini berhasil, di-manage dengan baik, dan seterusnya,” kata Anton.

Untuk bisa mewujudkan Danantara menjadi sesuatu yang gemilang dan menjadi pijakan kokoh yang mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia itu harus dikomandoi oleh seorang pemimpin yang memiliki inspirasi dan obsesi tinggi.
“Obsesi atau inspirasi ini penting bahwa kita merasa bahwa dengan Danantara ini kita bisa besar. Saya kira (Danantara) sesuatu hal yangย tidak salah juga, tetapi bagaimana memaintain-nya, memanage-nya. Apalagi ekonomi ini salah spekulasi (akan menyebabkan) rugi,” ujar pria berusia 72 tahun itu.
Baik buruk hasil dari Danantara itu akan sangat ditentukan dari prosesnya. Untuk itu, Indonesia harus belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah pernah membentuk super holding semacam itu. Misalnya Singapura dengan Temasek dan Malaysia dengan 1MDB.
Meski memiliki obsesi dan tujuan yang baik, namun jika yang terjadi justru sebaliknya, kerugian negara, maka pemimpin ini juga menurut Anton harus bersikap bijak dan mau mendengarkan masukan dari pihak lain, sekalipun pihak itu datang dari masyarakat kelompok bawah.
Mengapa, karena ada kalanya masyarakat lebih tahu kondisi riil di lapangan ketimbang para begawan, ahli, profesor, dan sebagainya yang kerap kali dimintai pandangannya untuk pembentukan suatu kebijakan pemerintah.
“Indonesia Gelap” dari Kacamata Kelompok Pengusaha
Beberapa waktu terakhir, berbagai kelompok masyarakat terutama mahasiswa dan generasi muda meneriakkan “Indonesia Gelap” melalui tagar-tagar di media sosial dan juga aksi-aksi demonstrasi di jalanan.
Jargon Indonesia Gelap itu muncul sebagai wujud keprihatinan mereka menyaksikan berbagai kondisi politik, ekonomi, dan pendidikan di Tanah Air yang seakan tak menjanjikan masa depan cerah bagi generasi muda.
Pendidikan mahal, lapangan pekerjaan sempit, politik secara perlahan berhasil menguasai dunia hukum juga akademis, dan lain sebagainya.
Anton yang memiliki latar belakang panjang di dunia usaha pun menyampaikan pandangan pribadinya terkait seruan itu.
Mengritik pemerintah yang keliru menempuh jalan kebijakan tentu hal yang wajar bahkan harus dilakukan oleh masyarakat, siapa pun itu. Namun, kritik itu harus tetap disampaikan dengan santun dan beradab.
Selain itu, kita juga tidak boleh memungkiri bahwa di balik kesalahan yang dibuat pemerintah, pasti ada kebaikan dan manfaat yang dihasilkan dari keputusan dan kebijakan yang mereka buat.
“Contoh gini, gelas ini ada di depan kita airnya separuh, idealnya kan penuh. Apa yang diklaim pemerintah, keberhasilan itu yang separuh itu. Jadi kalau ditanya apa benar (ada keberhasilan), benar ada, yaitu pertumbuhan kita salah satu yang tertinggi. Bahwa (apakah) itu berkualitas, ya kita harus lebih mendalami,” ungkap Komisaris Utama PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk itu.
Keberhasilan yang diklaim misalnya adalah peningkatan Gross Domestic Product (GDP), pembangunan infrastruktur yang massif, dan sebagainya.
Anton mengutip pendapat Prof Arief Anshory Yusuf yang dimuat di Kompas, pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak mengurangi atau mengatasi kemiskinan adalah pertumbuhan yang menyengsarakan. Ia tumbuh, namun siapa yang merasakan, apakah pertumbuhan itu berpengaruh pada kesejahteraan kelompok masyarakat yang ada di lini bawah seperti buruh, guru, dan petani?
Di balik keberhasilan itu, PR yang harus diselesaikan adalah soal ketodakpastian hukum, tingginya angka pengangguran, kelompok miskin, mahalnya biaya kuliah, sempitnya lapangan kerja baru, dan sebagainya.
Mencari pekerjaan memang kian sulit karena Apalagi perkembangan teknologi yang signifikan memangkas kebutuhan tenaga manusia di dunia kerja .
“Mencari kerja ini susah, dan ya kita lihatlah gangguan kiri kanan ini. Akar permasalahannya akhirnya menjadi kenapa mencari lapangan kerja susah, karena tidak ada investasi yang masuk, atau kurang lah, tidak bisa memenuhi,” sebut Anton.

Jika selama ini pemerintah menghadirkan bantuan sosial sebagai bantalan sosial, maka bagi Anton itu harus segera direvisi. Bansos bukan jawaban atas ketimpangan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Semestinya, dana untuk bansos bisa dioptimalkan untuk meningkatkan iklim investasi, sehingga pihak swasta juga asing tak ragu menanamkan modalnya di Indonesia. Hal itu akan berdampak positif terhadap pembukaan lapangan kerja dan otomatis peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain penggunaan dana pada bidang yang tepat, investasi juga harus dipancing menggunakan kepastian hukum
“Saya kira semua tahu lah bagaimana proses jalannya hukum di kita,” kata Anton.
Jadi ada begitu banyak hal yang menghalangi investor untuk bisa yakin menggelontorkan modalnya. Selain ketidakpastian hukum, Indonesia juga harus lebih kompetitif dan memiliki daya saing.
Anton memaparkan untuk sebuah bidang industri, satu negara akan bersaing dengan negara dengan kekuatan industri yang setara. Misalnya untuk industri otomotif, Indonesia bersaing dengan Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Philipina. Dan untuk bisa bersaing, peran birokrasi dalam mengeluarkan kebijakan sangat diperlukan.
Contoh, kebijakan pemerintah Indonesia yang berniat menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke 12 persen meskipun batal, di sisi lain Vietnam menurunkan PPN menjadi 8 persen. Rendahnya PPN Vietnam dibandingkan Indonesia menjadikan ekspor otomotif Indonesia ke Vietnam naik 20 persen.
“Jadi kita tahu tidak bisa menggeneralisasi bahwa semua birokrasi jelek,” sebutnya.
Dalam suatu kesempatan, Ekonom Rizal Ramli pernah menulis bahwa pada mulanya dunia Industri Indonesiaq berada satu kloter dengan Korea Selatan dan Taiwan. Kemudian merosot ke kloter kedua bersama China, Thailand, dan Malaysia. Tak berhenti di situ, gejala bahwa Indonesia akan tertinggal dari teman-teman di kloter kedua sudah mulai nampak. Terjadilah Indonesia di kloter ketiga bersama Vietnam dan Philipina. Jika di kloter ini masih juga gagal bersaing, maka Indonesia akan turun di kloter keempat bersama Laos dan Kamboja.
Anton melihat saat ini tujuan investasi para pemodal besar dunia, misalnya Jepang, adalah ke India. Meski diliputi banyak konflik sosial, India memiliki jumlah penduduk yang sangat besar yakni sekitar 1,4 miliar jiwa dan 20 persen di antaranya memiliki kemampuan daya beli yang tinggi. Jadi ini lebih baik daripada mereka harus berinvestasi di Indonesia dengan segala iklim investasi yang ada di negara ini.
Ia berharap pemerintahan Prabowo saat ini bisa memperbaiki kondisi Indonesia, sehingga negara ini kembali menjadi incaran para pemodal. Caranya, jangan persulit birokrasi. Para pengusaha juga harus meningkatkan kemampuan manajerialnya.
“Sebenarnya kita ini kalau diatur dengan baik, memang agak berat tapi bukan tidak mungkin (kembali diincar para investor). Nah yang kita harapkan terakhir dari Pak Prabowo,” kata Anton.
Pakar Ekonomi Indonesia Prof Jusuf Pang Lay Kim pernah memelajari mengapa negara-negara di Asia Timur bisa menjadi negara yang maju, sebut saja Jepang, China, Taiwan, dan Korea Selatan. Jawabannya adalah paradigma Negara Niaga.
Oleh karena itu, Indonesia juga harus menuju ke arah itu dan harus berbenah dari kondisi saat ini sebagai Bangsa Siaga menjadi Bangsa Niaga.
“Kita ini bangsa siaga kan, sebentar-bentar digerebek polisi, digerebek imigrasi. Tentu tahu itu oknum, kita jangan bicara institusi, tapi kan mengganggu,” ujar Anton.
Leave a Reply