Kritik Dikebiri, Apa Masih Ada Demokrasi di Negeri Ini?

“Salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan. Segitiga kebebasan: berekspresi, berpendapat, berserikat adalah jantung demokrasi. Negara perlu memastikan kebebasan berekspresi tidak direpresi, tidak diintimidasi dengan dalih dimintai klarifikasi. Intimidasi dan represi hanya menciptakan republik ketakutan, republic of fear. Bisa saja yang terjadi di balik ekspresi adalah kritik keras untuk mengingatkan perilaku kekuasaan yang mungkin tengah menikmati kenyamanan,”

Atas nama demokrasi, Negara memperbolehkan siapapun untuk berpendapat, menyampaikan kritik, dan mengeskpresikannya melalui berbagai bentuk, baik unjuk rasa, kesenian, satire, dan sebagainya.

Sayangnya, ada banyak contoh kritik dari rakyat yang bukannya didengar malah justru dikebiri oleh pemerintah dan aparat negara. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh kasusnya. Dalam 3 bulan terakhir saja sudah ada 3 contoh besar bagaimana kritik benar-benar tak di beri ruang di negeri demokrasi ini.

Pertama, dilarangnya 7 lukisan karya Yos Suprapto ditampilkan dalam pameran di Galeri Nasional Jakarta, karena berisi kritik yang di dalamnya tergambar sosok yang identik dengan Joko Widodo alias Jokowi. Contoh kedua adalah digemboknya ruang pertunjukan yang akan digunakan kelompok Teater Payung Hitam Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang sedianya akan membawakan kisah berjudul “Wawancara dengan Mulyono”. Dan yang ketiga dialami oleh kelompok musik beraliran punk Sukatani, entah apa yang terjadi, mereka dipanggil polisi dan menyampaikan permohonan maaf karena lagu berjudul “Bayar Bayar Bayar” dinilai penuh dengan kritik sindiran terhadap kepolisian.

Apakah ruang kebebasan berekspresi di negeri demokrasi ini sudah sedemikian rupa dibatasi?

Pelukis asal Yogyakarta Yos Suprapto mengatakan kebebasan berekspresi di Indonesia memang kerap dibatasi oleh kekuasaan pemerintahan. Namun, dengan adanya teknologi, ekspresi-ekspresi itu tetap bisa tersalurkan.

“Politik kekuasaan itu akan mudah terganggu oleh kebebasan ekspresi. Jadi saya melihat dari kacamata sosiologi, kebebasan ekspresi itu dibatasi, jelas semakin sempit dengan adanya pergumulan politik yang terjadi di negeri ini. Tetapi tidak bisa dibatasi oleh teknologi,” kata Yos yang bergabung melalui panggilan video dalam Satu Meja The Forum KompasTV (26/2/2025).

Budayawan Eros Djarot menyadari, tak ada kebebasan yang benar-benar bebas. Akan selalu ada batasan-batasan yang mau tidak mau harus diterapkan dalam berkesenian.

“Karena kebiasan tak terbatas, saya gunting saja Quran itu, saya tempel sebagai salah satu bentuk seni, ya bubar itu. Tapi kalau hanya nyanyi seperti teman-teman Sukatani, terus Mas Yos pameran seperti itu (kemudian dilarang), maaf memang itu tanda-tanda daripada the dying of democracy,” ujar Eros.

Padahal kritik adalah bentuk kecintaan rakyat terhadap negaranya. Terlebih jika kritik itu disampaikan dalam bentuk kesenian, selain kritik pasti ada nilai di dalamnya yang bisa dipelajari.

Jika karya kesenian terus diberedel karena alasan mengandung kritik, Eros Djarot tak tahu lagi akan seperti apa peradaban bangsa ke depan.

“Indonesia ini jadi sebuah bangsa yang berdiri tanpa nilai dan ini sangat bahaya. Ini ada kasus Pertamina (korupsi) triliunan, tapi kalau menurut saya lebih ngeri lagi itu korupsi yang namanya peradaban. Kalau peradaban sudah hancur, sudahlah semua itu enggak bisa dibayar, triliunan pun enggak akan bisa,” sebut Eros.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati beranggapan jika ada pihak yang mengatakan demokrasi kita sudah kebablasan, maka itu adalah bahasa kekuasaan yang enggan dikritik. Politik kekuasaan menyebabkan demokrasi dan kebebasan bersuara di Indonesia mati perlahan.

“Harusnya politik kerakyatan orang berpolitik itu untuk kehidupan rakyat yang lebih baik, kehidupan bersama, bukan kepentingannya masing-masing. Kalau kepentingannya masing-masing, dia enggak pakai konstitusi. Ada kepentingan yang melanggar kepentingan dia, ya dia bumi hanguskan, dia batasi,” jelas dia.

Asfinawati dan Eros Djarot dalam Satu Meja The Forum.

Menanggapi pandangan yang menyebut demokrasi di Indonesia hampir mati, Penasihat Ahli Kapolri Hermawan Sulistyo atau Kikiek, justru menyebut di negara-negara lain ada kebebasan yang dibatasi oleh batasan ruang atau batasan spasial.

“Misalnya di Inggris, di London itu ada Hyde Park, tempat di mana orang datang boleh maki-maki, siapa saja boleh ngomong apa saja, dibebasin,” ujar Kikiek.

Ada juga yang kebebasan dibatasi oleh budaya, misalnya di Jepang yang tak lazim untuk orang bertikai atau beradu pendapat di muka umum.

“Polisi yang paling tidak punya pekerjaan itu di Jepang, karena hanya lost and found saja, karena enggak ada orang berkelahi. Kalau ada orang berkelahi pasti orang asing,” lanjutnya.

Saran Bagi Pemerintah

Kebiasaan membatasi masyarakat untuk berkesenian, untuk aktif mengritik, hanya akan membawa bancana bagi peradaban sebuah bangsa.

Untuk itu, Yos Suprapto memberi saran pada pemerintah saat ini, khususnya pada Presiden Prabowo untuk mulai belajar memahami bahwa ekspresi masyarakat merupakan inspirasi untuk menata kehidupan masyarakat itu sendiri.

“Kalau seandainya kita larang membuat ekspresi, masyarakat itu menjadi monotype, hanya satu arah, satu jenis, maka kita enggak akan menemukan yang namanya kreativitas di mana manusia itu bisa nanti masuk ke dalam dunia yang beradab. Kita akan kembali kepada era di mana manusia kehilangan peradaban,” sebut Yos.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Eros Djarot. Ia meminta agar para pemangku kepentingan tidak terlalu cengeng menanggapi kritik-kritik yang diarahkan kepada mereka. Begitu juga masyarakat atau seniman yang kritiknya tak digubris. Jangan menjadi bangsa yang cengeng, sebaliknya kita harus terus bergerak dan melakukan perlawanan dengan cara yang santun.

“Kalau kita mau membangun budaya yang baru, ya enggak usah cengeng. Ayo kita cari sama-sama dan kita perjuangkan bersama-sama. Kita yakini ada nilai-nilai yang namanya local wisdom, budaya-budaya, dan ajaran-ajaran sudah diajarkan para pendiri Republik itu luar biasa bagusnya,” ujar Eros.

“Kita para seniman dan para budayawan jangan terlalu merengek lah ditekan sama presiden pun, emang kenapa? Kita lawan asal dengan kesantunan dan tentunya tidak dengan kebencian,” lanjutnya.

BDM bersama Hermawan Sulistyo, Moh. Choirul Anam,
Eros Djarot, dan Asfinawati.

Prabowo juga tak perlu terlalu reaktif, tak ada faedahnya meneriakkan sesuatu yang justru sangat bertolak belakang dengan jeritan rakyat yang tengah bergaung di sepenjuru negeri. “Hidup Jokowi” yang keluar dari mulut Presiden di tengah seruan “Adili Jokowi” yang diteriakkan masyarakat bisa menjadi sesuatu yang tidak baik bagi Prabowo itu sendiri.

“Sebagai kawan, saya hanya bilang kepada Pak Presiden, Pak Presiden lihatlah rakyatmu, jauhi kawanmu yang enggak benar, itu saja,” kata Eros.

Kebebasan berekspresi adalah akar dari masyarakat untuk bisa mendapatkan hak-haknya. Itu dikatakan oleh Asfinawati. Misalnya ketika ketidakadilan terjadi pada kita, kemudian kita tidak bisa bersuara dan mengeluarkan pendapat kita, bagaimana hak itu akan dipenuhi oleh pihak yang bertanggung jawab.

Dengan adanya kritik yang masuk, pemerintah dan Presiden itu semestinya bersyukur karena mendapat bocoran langsung dari pihak A1, yakni rakyat, tentang apa sebenarnya masalah atau ketidakberesan yang terjadi di lapangan.

“Presiden itu harusnya bersyukur kalau ada yang mengkritik, karena tidak mungkin Presiden atau Pak Kapolri bisa tahu apa yang terjadi jauh di pelosok daerah,” ungkap Asfinawati.

Berbeda dengan Asfinawati, Kikiek justru melihat apa yang terjadi hari ini akibat ada pola pikir yang mengatakan “aku lebih dari kamu”. Pola pikir tersebut berlaku pada semua kalangan, bauk rakyat termasuk kelompok seniman, maupun pemerintah yang berkuasa.

“Si seniman merasa ya kita bebas, apa saja sudah bebas. Sementara penguasa dari yang bawah sampai paling atas bilang, yang berkuasa tuh saya. Jadi ke depan kalau saya lihat harus ada kesadaran bersama bahwa hidup ini kita tidak sendirian. Bagaimana caranya, mainlah yang jauh, pergilah ke tempat-tempat yang jauh supaya tahu bangsa-bangsa lain itu seperti apa,” jawab Kikiek.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Moh. Choirul Anam menekankan kepolisian mulai dari tingkat paling rendah hingga puncak harus menyadari, bahwa kegagalan mereka dalam bekerja profesional merupakan kegagalan demokrasi, merupakan kerugian bagi bangsa Indonesia.

Secara tidak langsung, polisi yang bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya turut membantu menegakkan nilai-nilai demokrasi di negara ini.

Cak Anam menyarankan dilakukan penguatan dj tubuh kepolisian dalam konteks kebebasan berekspresi.

“Pertama adalah memperkuat kontrolnya (Kompolnas) terhadap kepolisian. Yang kedua memperkuat pemahaman kepolisian soal kebebasan berekspresi, kalau enggak ya rumit karena ruang sekarang enggak bisa dicegah untuk berekspresi. Semua orang bisa ngomong, dan ini problem dunia tidak hanya problem Indonesia,” ungkap Cak Anam.

Jika pembenahan tidak dilakukan dari internal kepolisian, maka memastikan kebebasan berpendapat bisa dilakukan secara bebas oleh masyarakat akan sulit mendapat jaminan.

“Ayo kita kontrol bersama sama. Kita tidak boleh melupakan itu (kasus Sukatani), dan kita harus mengingatkan terus,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *