Profesor Ninok Leksono: Saya Bukan Profesor Kaleng-Kaleng

Budiman Tanuredjo

Hari Selasa, 25 Februari 2025, saya menghadiri undangan dari senior saya di Kompas, Ninok Leksono di Kampus Universitas Media Nusantara. Acaranya adalah pengangkatan Ninok Leksono sebagai Visiting Profesor di Faculty of Social Science and Liberal Arts, Malaysia. Mengapa “seremoni” di Kampus UMN, karena Ninok pernah menjadi Rektor UMN selama 14 tahun. Selain Ninok ada dua profesor dikukuhkan sebagai Guru Besar di UMN Prof Dr Friska Natalia S.Kom, MT dan Prof Dr Florentina Kurniasari T S.Sos.

Saya mengenal Ninok sangat lama saat berkarya di Kompas. Sebagai wartawan, Ninok sangat paripurna dengan cakupan liputan yang luas. Dari liputan sains dan teknologi, khususnya mengenai teknologi mesin perang sampai liputan soal politik, militer, kesenian, dan kebudayaan, politik luar negeri. Ia menjadi kamus berjalan soal jurnalistik, jurnalisme, dan Kompas sendiri. Sejumlah buku telah diterbitkannya.

Di bidang akademis, Ninok lulusan Institut Teknologi Bandung Jurusan Astronomi (1975), meraih master di Departmen of War Studies di King’s College London dan doktor di Universitas Indonesia. Di bidang jurnalistik, Ninok menjabat Ketua Dewan Kompetensi Wartawan Kompas, Ketua Dewan Kehormatan Wartawan Kompas, dan menjadi Editor Senior yang baru dilepas pada 1 Februari 2025. Ia pun pernah menjadi anggota Dewan Pers.

Tak banyak jurnalis yang sukses meraih jenjang profesional dan jenjang akademis tertinggi. Jurnalis yang juga guru besar. Guru besar di luar negeri pula. Bukan di Indonesia. Itulah pengakuan atas keilmuan Ninok Leksono dari UCSI Malaysia. Perwakilan dari UCSI hadir dalam seremoni pengangkatan Ninok sebagai profesor.

Ninok Leksono dalam acara seremoni atss pengangkatan dirinya sebagai profesor di salah satu universitas Malaysia, acara digelar di UMN, Selasa (25/2/2025).

Saat memberikan sambutan, Ninok memilih tak menggunakan toga. “Saya diminta untuk menggunakan toga. Tapi saya menolak. Saya ngerti wayah. Selama 27 tahun saya duduk di jajaran senat akademis UMN. Kalau saya memakai toga, apa arti pensiun saya. Saya ngerti wayah.”

Terma “ngerti wayah”, menggelitik saya. “Ngerti wayah” dalam bahasa Jawa bisa ditafsirkan tahu waktu dan juga tahu diri. Ketika usia pensiun tiba – meski Ninok beberapa tahun diperpanjang sebagai Rektor UMN dan kini formal pensiun – dia melepaskan “kemewahan” yang ada.

Ninok melanjutkan sambutannya, “Di UCSI saya dihormati. Saya duduk di jajaran guru besar. Itu suatu kehormatan bagi saya. Saya bukan profesor kaleng-kaleng di UCSI,” kata Ninok.
Ia pun menjelaskan ada tiga hal hubungan Jakarta dan Malaysia di bidang jurnalisme. Pertama, pers di era Orde Baru. Kedua, di bidang kebebasan pers, pers Indonesia jauh lebih bebas dari Malaysia. Namun, indeks kebebasan pers Malaysia lebih baik dari Indonesia. Namun, bedanya lagi di Malaysia tak pernah didengar “represi” terhadap wartawan. Di Indonesia itu terjadi. Ketiga, baik di Malaysia dan Indonesia, belum ada media yang berhasil untuk melakukan transformasi media ke dunia digital.”

Menutup sambutannya, Ninok mengatakan, ilmu dan pengalaman yang dimilikinya cukup banyak. Ia juga pernah mengajar di UI dan Unhan. “Jadi saya ini bukan profesor kaleng-kaleng di UCSI,” ujarnya.

Saya berbicara dengan jurnalis senior Nasir Tamara, doktor dari Paris, penulis buku Revolusi Iran, yang duduk di sebelah saya. Nasir punya perasaan yang sama. Ada nada kegetiran dari sambutan Ninok. Mengapa harus guru besar di Malaysia, saya dan Nasir bertanya-tanya.

Kepala Lembaga Layanan Dikti Wilayah III Jakarta, Prof Dr Toni Toharudin SSI, MSc dalam sambutannya mengatakan, Ninok bukan hanya seorang pengajar tapi inspirator. Ninok menjadi lentera. “Keilmuan tak mengenal batas,” ucap Tohari.

BDM bersama Ninok Leksono.

Dalam dunia yang berubah, jurnalis tak cukup hanya sekadar pelapor fakta. Ia harus juga bertransformasi menjadi intelektual publik, membersamai rakyat dalam menjalankan peran kepublikannya. Jurnalis selayaknya berpegang pada nilai yang diyakininya.

Saya hanya merenung sejenak meresapi sambutan Ninok. Tanpa terasa acara hampir ditutup. Pembaca acara mengabarkan: senat guru besar akan segera meninggalkan acara. Hadirin diminta berdiri. Terdengar lagu yang selalu diperdengarkan saat wisuda: Gaudeamus igitus. Sebuah lagu yang agung yang kerap diputar dalam acara-acara wisuda atau promosi doktor…

Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus.
Post jucundam juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus —
Nos habebit humus.

Vivat academia!
Vivant professores!
Vivat membrum quod libet!
Vivant membra quae libet!
Vivat senatores!


Comments

One response to “Profesor Ninok Leksono: Saya Bukan Profesor Kaleng-Kaleng”

  1. Ninok Leksono Avatar
    Ninok Leksono

    Wah luar biasa Mas Budiman…bisa segera menulis peristiwa yang dialsmi (kalau saya sudah saya seusai acara), dan kedua menangkap yang dimaksud pembicara. Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya sampaikan, tapi waktu terbatas. Hormat dan penghargaan sy utk Mas Budiman. Sehat dan terus jadi inspirasi Mas. Luar biasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *