Senja Hari Reformasi di Indonesia…

“Inilah Indonesia yang sekarang, bukan berarti kita melupakan dulu kita pernah punya satu proyek politik yang bernama Reformasi, tetapi kita juga harus berhenti meromantisasi bahwa sesuatu itu harus berjalan berkesinambungan, kita harus berada dalam koridor Reformasi, mungkin namanya sudah bukan itu,”

—Ketua Komnas Ham Atnike Nova Sigiro

Seperempat abad sudah, terhitung sejak 1998, Indonesia masuk pada era Reformasi. Sebuah era yang begitu diidam-idamkan rakyat pada saat Orde Baru, era di mana demokrasi diharap benar-benar bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selama itu, berbagai lembaga telah dibentuk sebagai jawaban atas tuntutan reformasi, sederet kebijakan juga lahir menggenapi sistem bernegara Indonesia yang memang masih perlu penyempurnaan di sana-sini.

Sayangnya, semangat Reformasi saat ini tak lagi menyala-nyala layaknya di masa awal 2000-an. Bahkan 6 tuntutan reformasi yang dulu diserukan dan dipenuhi, kini satu per satu mulai diingkari. Misalnya dihapusnya dwifungsi ABRI kini muncul dengan format multifungsi TNI, otonomi daerah yang dulu diupayakan kini kembali resentralisasi dengan adanya UU Cipta Kerja, dan sebagainya.
Lantas, apakah benar demokrasi hasil perjuangan reformasi telah mati di negeri ini?

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Atnike Nova Sigiro memiliki pandangan tersendiri. Nike yang juga turut memperjuangkan reformasi di tahun 1998, menganggap saat ini Indonesia harus mulai mengubah sikap. Tak cukup hanya mengenang Reformasi sebagai sebuah perjuangan, namun juga menyadari bahwa saat ini kondisinya sangat jauh berbeda dari kondisi ideal yang dicita-citakan dulu.

“Saat ini ada begitu banyak perbedaan, gap, dari apa yang diharapkan di masa Reformasi dengan apa yang saat ini kita temui, dalam bidang ekonomi, hak asasi, penegakan hukum,” kata Nike saat berbincang di Back to BDM di YouTube Budiman Tanuredjo.

Nike melihat dalam 10 tahun terakhir, normalisasi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan semangat Reformasi telah berlangsung. Misalnya pengabaian hak asasi, melemahnya semangat anti korupsi, dan sebagainya. Tapi semua itu bisa juga terhadi akibat berubahnya tantangan zaman.

Jika dulu, musuh bersama yang harus ditumpas adalah kekuasaan absolut dan sentralistik, kemudian partai politik sangat terbatas. Kini tantangan kita sebagai bangsa Indonesia sudah berubah. Sebut saja adanya sistem multipartai, pemilihan umum langsung, hingga liberalisasi ekonomi.

“Perubahan itu menyebabkan perpolitikan Indonesia dan juga cara pandang bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan enggak bisa dilihat sama seperti pada tahun ’98,” sebutnya.

“Inilah Indonesia yang sekarang, bukan berarti kita melupakan dulu kita pernah punya satu proyek politik yang bernama Reformasi, tetapi kita juga harus berhenti meromantisasi bahwa sesuatu itu harus berjalan berkesinambungan, kita harus berada dalam koridor Reformasi, mungkin namanya sudah bukan itu,” ujarnya

Apapun namanya, Nike mengumpamakan Indonesia adalah proyek panjang tak berkesudahan, tiap masa memiliki bagian berbeda yang harus dikerjakan dan diselesaikan hingga menghasilkan sesuatu yang baik.

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro.

Untuk saat ini, tantangan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia adalah sulitnya mendapatkan penghidupan layak di Tanah Air, khususnya dihadapi oleh generasi muda. Para pemuda merasa kesulitan mencari pekerjaan yang layak, lapangan kerja sempit, upah rendah, pendidikan mahal, kencangnya nepotisme dalam dunia kerja, dan sebagainya. Semua tak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang seolah tak pernah memihak pada kelompok mereka. Perasaan-perasaan itu kemudian diwujudkan dalam aksi yang sepekan ke belakang dilakukan mahasiswa dan pemuda, yakni demonstrasi bertajuk Indonesia Gelap juga tagar di media sosial berbunyi Kabur Aja Dulu.

Pertama, soal Indonesia Gelap, Nike melihatnya sebagai gejala positif bagi demokrasi. Pemerintahan yang baru berjalan rupanya mendapat kritik dari publik, itu berarti ada pengawasan dan perhatian yang diarahkan kepada para pengelola negara. Dan hal-hal semacam ini adalah ekspresi murni warga negara yang harus dilindungi, tak boleh dibungkam apalagi dilawan.

“Pembatasan terhadap ekspresi kritis semacam ini justru akan membahayakan pemerintah ke depan, karena pemerintah tidak mendapatkan warning dari warga negaranya sendiri mengenai tantangan-tantangan kehidupan yang dihadapi oleh masyarakat. Apakah itu ancaman pekerjaan, akses terhadap pendidikan, maupun masa depan secara umum,” jelas wanita kelahiran Medan, Sumatera Utara itu.

Ia mencoba membandingkan bagaimana kondisi pemerintahan Joko Widodo ketika itu yang minim kritik, jika ada kritik itu disampaikan dengan cara yang lebih halus. Hal itu menyebabkan demokrasi dalam bahasa Nike tidak sungguh-sungguh tumbuh, tidak dapat tubuh dengan baik.

Yang jedua adalah dial tagar Kabur Aja Dulu di berbagai media sosial, terutama X. Tagar itu digunakan para pemuda untuk mengekspresikan keinginan mereka mendapatkan penghidupan yang lebih layak dengan pergi sementara ke negara lain, karena lagi-lagi Indonesia dianggap tak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi masa depan mereka.

Sejumlah perwakilan dari pihak pemerintah juga terpantau sudah merespons tagar yang satu itu. Ada yang meresponnya dengan positif, ada juga yang bernada negatif. Tanpa mengesampingkan respons positif atau negatif yang ada, Nike lebih mementingkan adanya tindak lanjut yang lebih konkrit dari pemerintah yang bisa menjawab keresahan para generasi mudanya.

Persoalan semacam ini bukan hal baru yang baru terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain, hal serupa sudah terjadi sejak lama dan kerap disebut dengan istilah “Brain Drain“.

“Itu adalah situasi di mana generasi muda ataupun generasi orang-orang terdidik di satu negara memilih untuk pindah ke luar negeri dan berkarier bahkan berkehidupan di luar negeri, karena kesempatan di dalam negerinya sendiri tidak ada, sementara dia memiliki kompetensi yang luar biasa atau kompetensi yang banyak untuk bisa berprestasi, bekerja, dan menghasilkan hal-hal yang positif,” jelas Nike.

Misalnya pemuda India yang ramai-ramai bekerja ke Silicon Valley, San Francisco, Amerika Serikat untuk mendapatkan pekerjaan layak sesuai kemampuannya. Silicon Valley dikenal sebagai kota kecil di San Francisco yang menjadi rumah dari perusahaan-perusahaan besar di bidang media sosial dan teknologi komunikasi.

Sementara di Indonesia Brain Drain baru terjadi saat ini setelah ramai-ramai disuarakan oleh kelompok muda ya g datang dari kelas menengah.

“Kalau kelas kelas, maaf ekonomi bawah, dia enggak perlu bicara kabur aja yuk, dia harus cari makan, dia menjadi pekerja migran atau dia menjadi apapun, dia harus berpikir mengenai cari kerja. Untuk kelas menengah dia bisa membuat diskursus begitu (kabur aja dulu),” kata Nike.

Atnike Nova Sigiro dalam Back to BDM.

Keresahan-keresahan yang menggelayuti generasi muda kita sebenarnya tidak jauh-jauh dari rasa sulit menenuhi kebutuhan dasar seorang manusia dewasa. Mulai dari mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan yang mapan, upah yang layak, jaminan sosial yang jelas, dan sebagainya.

Semua itu sesungguhnya juga masuk dalam ranah Komnas HAM, karena ada hak asasi sebagai seorang manusia yang tidak mampu dipenuhi oleh negara.

Nike pun tak memungkiri fakta tersebut. Ia bahkan menyebutkan ada satu penelitian yang menyebut generasi muda saat ini akan kesulitan memiliki rumah sendiri, karena sistem kerja yang mengedepankan fleksibilitas meningkat tajam. Hal itu menyebabkan seseorang kesulitan mendapatkan jaminan kerja dan penghidupan yang berkelanjutan.

“Karier seseorang, pekerjaan seseorang itu belum tentu sustainable dari sejak dia mulai menjadi misalnya katakan sarjana, hingga usia pensiun. Orang harus dihadapkan pada ancaman-ancaman kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencarian, dan tidak adanya jaminan sosial,” jelas Nike.

Terlebih dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah saat ini yang menyebabkan terjadinya pemotongan anggaran untuk jaminan kesehatan. Padahal sebelumnya Negara telah hadir dan mencoba membangun sistem jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan melalui Undang-Undang Jaminam Sosial Nasional.

“Ini adalah bentuk-bentuk ancaman terhadap hak ekonomi-sosial yang bisa jadi terartikulasi menjadi kegelisahan, bahwa jangan-jangan kita memang enggak bisa mengandalkan hidup kita dengan hidup dan berkarya di dalam negeri sendiri,” ujarnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *