Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu dari Perspektif Mahasiswa dan Pemerintah

“Unjuk raksa jalanan dan media sosial adalah ekspresi kecemasan kegelisahan dan kekhawatiran sekaligus harapan perbaikan terhadap nasib negeri. Kecemasan perlu didengar bukan dihardik kegelisahan perlu diresapi bukan dihakimi. Ubahlah kekhawatiran menjadi fajar harapan dan bukan dihadapi dengan sikap arogan apalagi kekerasan. Sejatinya kekuasaan itu datang dari suara rakyat yang mungkin sedang berada di jalanan,”

Ribuan mahasiswa dari perguruan tinggi-perguruan tinggi di berbagai daerah dan melaksanakan aksi unjuk rasa untuk mengritik 100 hari jalannya pemerintahan Prabowo-Gibran dengan mengangkat tajuk Indonesia Gelap. Aksi dilakukan secara paralel selama 4 hari terhitung sejak 17 Februari 2025 di daerah masing-masing, kemudian 20 Februari 2025 semua akan bersatu dan memusatkan aksinya di Jakarta. Tak hanya di jalanan, tema Indonesia Gelap juga selalu menjadi tema yang ramai diperbincangkan di media sosial setidaknya sejak sepekan terakhir.

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (19/2/2025) yang bertema “Prabowo di antara Koalisi Permanen dan Indonesia Gelap”, Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Heriyanto menjelaskan apa pertimbangan yang digunakan teman-teman mahasiswa sehingga memilih tajuk Indonesia Gelap untuk digaungkan dalam aksi jalanan yang saat ini berlangsung.

“Pengimplementasi kebijakan ini yang gelap, artinya di atas terang tapi masyarakat bawah masih gelap. Contoh kebijakan pemotongan anggaran. Pemotongan anggaran oleh pemerintah itu memang disampaikan di media, itu relevan dengan pemangkasan-pemangkasan. Namun di bawah, (efek) dominonya itu begitu besar, masyarakat awam tidak paham ini akan berefek,” kata Heri yang merupakan mahasiswa dari Universitas Mataram Lombok, Nusa Tenggara Barat itu.

Aspek lain yang juga dipandang gelap adalah soal sektor hukum, penanganan korupsi, kebijakan ekonomi, sistem pendidikan, dan transparansi pajak. Dan kegelapan itu baru akan menemui cahaya terang ketika tuntutan-tuntutan aksi mahasiswa dipenuhi oleh pemerintah.

Meski mengaku memilih Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, Heri menyebut hal itu tak lantas menjadikannya apatis atau bahkan membenarkan situasi negara yang ada saat ini. Ia melihat arah kebijakan pemerintah dalam 100 hari pertama justru menjauh dari kepentingan rakyat. Maka turun aksi dan menyampaikan kritik adalah sebuah kewajiban, itu juga sebagai bentuk cintanya pada bangsa dan negara. Karena jika bukan kelompok muda dan kelompok mahasiswa yang bersuara, siapa lagi?

Selain Indonesia Gelap, media sosial juga bergemuruh dengan tagar Kabur Aja Dulu, seruan anak-anak muda yang merasa tak ada masa depan di negaranya, sehingga berpikir untuk pergi ke negara lain demi mendapat penghidupan yang lebih baik.

“Itu adalah implementasi keresahan dari anak muda. Tajuk Indonesia gelap diinisiasi oleh gerakan-gerakan mahasiswa, kemudian anak-anak muda mengimplementasikan bahwa Indonesia kita gelap, maka kita kabur saja,” ujar Heri.

Respons kontras terhadap aksi dan kritik dari kelompok mahasiswa juga kelompok muda itu dikemukakan Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno. Baginya, salah jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini dengan cara pandang “gelap”. Semestinya kita tetap menganggap di depan sana ada cahaya, dan sementara waktu kita harus menyalakan lilin, bahu-membahu agar bisa segera keluar dari lorong kegelapan ini.

“Tidak ada negara yang tidak punya permasalahan, selalu ada. Tetapi saya melihatnya segala sesuatu itu dengan sebuah harapan yang besar. Saya ingin membangun harapan dan saya kira harapan itu tetap ada meskipun hari ini kita banyak tantangan. Kewajiban kita untuk bahu-membahu saling membantu,” ungkap Edi.

Terlebih, Eddy menanggap pemerintahan Prabowo-Gibran baru berjalan kurang lebih 4 bulan, segenap pihak semestinya mendukung dan menaruh optimisme terhadap rezim baru ini, sembari tetap mengawasi.

Heri tak sependapat dengan apa yang disampaikan Edi. Baginya, mahasiswa adalah kelompok muda yang penuh optimisme, mereka adalah lilin-lilin kecil yang selalu menyala di kala negara ini ada dalam kegelapan.

“Kalau kita tidak peduli ngapain kita bersuara. Karena kita peduli lah kita bersuara demi perbaikan dan kemajuan bangsa kita,” tuturnya.

Satu Meja The Forum KompasTV (19/2/2025).

Tanggapan yang lebih netral coba disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid. Tagar dan tajuk yang diserukan oleh mahasiswa dilihatnya sebagai sebuah peringatan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa ada sesuatu yang perlu menjadi perhatian bersama.

Soal efisiensi anggaran yang dijadikan salah satu contoh bukti gelapnya Indonesia oleh Heri di awal, menurut Jazil itu hanyalah soal komunikasi yang tidak clear. Ada pesan-pesan dari pusat yang tidak tersampaikan dengan baik ke masyarakat.

“Pak Prabowo sebenarnya berpihak kepada rakyat, bukan pada birokrasi. Di situ ada Rp306 triliun anggaran yang tidak perlu (dipangkas), rapat-rapat, perjalanan dinas, seremoni-seremoni. Cuma memang patut kita sayangkan ada sebagian komunikasi publik yang tidak sampai ke bawah, itulah yang akhirnya memunculkan tabir seakan-akan Indonesia ini gelap,” jelas Gus Jazil.

Ketidakjelasan komunikasi ini menyebabkan ada informasi atau fakta yang tidak tersampaikan pada kelompok mahasiswa dan kalangan muda. Komunikasi publik yang lebih baik menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan, baik oleh Kantor Staf Presiden (KSP), juru bicara presiden, juga partai-partai politik yang menjadi penyalur aspirasi masyarakat lewat Parlemen.

Alasan komunikasi yang diajukan Jazilul Fawaid dengan tegas segera dimentahkan oleh Pengamat Politik Yunarto Wijaya. Bagi Toto, panggilan Yunarto, soal gonjang-ganjing efisiensi anggaran memang ada sesuatu yang tidak beres di tubuh pemerintah itu sendiri.

Misalnya soal pemangkasan anggaran di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang berimbas pada program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Pemangkasan anggaran itu secara tidak langsung sudah diakui oleh Kemenristekdikti dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, namun akhirnya direvisi.

“Artinya di situ bukan sekedar (masalah) komunikasi, (memang) ada pemangkasan anggaran yang sempat bermasalah. Sekarang harus dibuat secara transparan,” ujar Toto.

Kemudian, soal efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan pemerintah, khususnya Presiden Prabowo, masyarakat tidak menyaksikan secara langsung ada tauladan yang diberikan.

“Apakah betul masih ada menteri yang naik jet pribadi, apakah betul rombongan presiden sangat besar lalu ketika ke luar negeri meminta jenis mobil tertentu. Ini kan masalah teladan, ayo kita rasakan bersama-sama apabila memang ada sebuah upaya efisiensi,” ajak Toto.

Adapun soal aksi mahasiswa yang turun ke jalan 4 hari terakhir, Toto melihatnya sebagai sesuatu yang tidak tiba-tiba terjadi. Sebelum menggelar demonstrasi, publik sudah menggemakan kritik-kritiknya melalui sosial media menggunakan jempol-jempol mereka. Tagar Kabur Aja Dulu adalah salah satunya.

Sayangnya, pemerintah justru meresponsnya dengan negatif. Ada menteri yang menyebutnya sebagai bentuk tidak memiliki nasionalisme, bahkan ada pula wakil menteri yang menantang lakukan saja, kalau perlu tidak usah kembali.  Sebelumnya, soal kritik anak SD terhadap rasa makanan di program Makan Bergizi Gratis (MBG), seorang pemengaruh yang terafiliasi dengan pemerintahan Prabowo, justru meresponnya dengan ungkapan-ungkapan negatif dan cenderung kasar. Pun Presiden Prabowo yang berkali-kali mengatakan istilah kasar dalam bahasa Jawa saat mendengar banyak pihak menyebut kabinetnya gemuk. Respons-respons itu memantik mahasiswa untuk akhirnya turun ke jalanan.

“Ketika itu terjadi, menurut saya dalam demokrasi adalah sebuah hal yang lumrah, pilihan satu-satunya turun ke jalan. Dan turun ke jalan itu dalam demokrasi tidak perlu ditakutkan sebagai upaya mengganggu pemerintah, itu rasa cinta dari mahasiswa kepada pemerintah. Apalagi terbukti dengan ternyata teman mahasiswa ini (Heriyanto) adalah pendukung Pak prabowo. Jadi jangan dibelokkan ini adalah gerakan politik, ini gerakan moral yang harus kita dukung bersama,” jelas dia.

Senada dengan Toto, tokoh dari Gerakan Nurani Bangsa yang juga mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin tidak menyalahkan persepsi Indonesia Gelap yang diserukan mahasiswa. Itu adalah perspektif dari kelompok muda yang harus diapresiasi, meski mungkin perspektif itu berbeda dengan kelompok penyelenggara negara. Harus dipahami, Indonesia merupakan negara besar yang terdiri dari banyak kelompok, masing-masing kelompok sangat mungkin memiliki pandangan yang berbeda akan suatu isu.

“Dialog menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak, harus ditempuh, dan pemerintah dalam hal ini penyelenggara negara harus lebih proaktif membangun dialog ini supaya perspektif, cara pandang yang beragam ini bisa didudukkan, dilihat mana bagian-bagian yang mungkin perlu diklarifikasi, perlu dikonfirmasi, atau disamakan persepsinya. Sehingga kemudian di antara kita yang beragam ini memiliki ikatan kebangsaan yang sama,” kata Lukman.

Jangan anggap kritikan sebagai hal yang mengusik nyamannya kekuasaan. Jika itu paradigma yang digunakan, tak heran respons yang muncul atas kritikan adalah ungkapan-ungkapan tak layak sebagaimana kita dengarkan akhir-akhir ini.

Dari kiri ke kanan: Heriyanto, Eddy Soeparno, Budiman Tanuredjo, Sulistyowati Irianto, Lukman Hakim Saifuddin, Yunarto Wijaya, dan Jazilul Fawaid.

Sementara itu, Guru Besar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Sulistyowati Irianto melihat gerakan Indonesia Gelap ini sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Indonesia Gelap muncul atas berbagai keresahan publik yang sudah ada sebelumnya, mulai dari Putusan Mahkamah Konstitusi No 90, Indonesia Darurat Agustus 2024, dan tagar Kabur Aja Dulu beberapa waktu belakangan.

“Jangan dianggap sebagai sesuatu yang sangat sederhana, karena ini sebagai pertanda Indonesia tidak baik-baik saja. Jadi peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh para mahasiswa ini sebenarnya adalah jendela untuk melihat bahwa ada jurang yang besar antara the ruling elite yang sibuk dengan dirinya sendiri dengan rakyat yang suaranya diwakilkan para mahasiswa turun ke jalan,” ujar Prof Sulis.

Sementara partai politik yang bertugas menjembatani dua kelompok kepentingan itu, justru sibuk sendiri dengan agendanya tanpa mengakomodasi kepentingan publik.

Tak mau dianggap tak bekerja, Eddy mengatakan PAN sebagai salah satu partai politik yang ada di DPR juga pemerintahan mengaku selalu terbuka dengan segala masukan dan aspirasi dari masyarakat, khususnya kelompok mahasiswa.

“Mahasiswa itu suara yang jernih, voice of reason. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, mahasiswa selalu berperan dalam melakukan perubahan-perubahan mulai dari kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, Reformasi, itu dilakukan oleh mahasiswa, digerakkan oleh mahasiswa. jadi kita melihat mahasiswa itu memiliki tujuan dan itikad yang murni, tidak ada muatan dan kepentingan apapun kecuali untuk berbuat suatu hal yang lebih baik. Jadi kita selalu terbuka,” jelas Edi.

Keterbukaan itu juga berlaku apabila teman-teman mahasiswa ingin berdialog membahas tema Indonesia Gelap yang saat ini sedang mereka perjuangkan di parlemen jalanan. PAN siap mengakomodir.

Dalam sebuah kesempatan Presiden Prabowo menyatakan terbuka akan setiap kritik, selama kritik disampaikan secara benar, bukan atas dasar dendam, ingin menjatuhkan, dan sebagainya. Menanggapi hal itu, Heriyanto menganggap kritikan yang disampaikan teman-teman mahasiswa adalah dengan maksud positif.

“Mahasiswa ketika mengkritisi itu mencoba seperti jarum yang menjahit kain yang robek, artinya kebijakan-kebijakan pemerintah kita hari ini kita lihat robek maka mahasiswa hadir sebagai jarum penjahitnya,” sebut Heri.

Orang sakit harus diobati agar sembuh, dan proses pengobatan tidak ada yang nyaman. Begitu pula kebijakan yang robek, robekan itu harus dijahit agar kembali utuh. Tusukan jarum pasti terasa sakit, tapi itu dilakukan bukan untuk menyakiti.

Tuntutan Mahasiswa

Ada sejumlah hal yang menjadi tuntutan para mahasiswa dalam aksi demo bertajuk Indonesia Gelap Februari 2025 ini. Di antaranya adalah mencabut Perpres No 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran, mengevaluasi Kabinet Merah Putih, mengevaluasi total kebijakan MBG, menyelesaikan tunggakan pembayaran tunjangan kinerja (tukin) para dosen, menghapuskan multifungsi TNI, membatalkan pemberian hak konsesi tambang pada universitas, dan lain sebagainya.

Atas sekian banyak tuntutan yang diajukan, penggantian Mendikbudsaintek Prof Satryo Soemantri, menjadi salah satu hal yang menggembirakan, namun belum menjawab seluruh tuntutan.

Kementerian yang dipimpin Satryo ketika itu sudah sempat menyatakan efisiensi anggaran akan berefek pada kenaikan biaya kuliah Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan pemangkasan beasiswa. Meski akhirnya DPR bersama Kementerian Keuangan menjamin hal itu tidak akan terjadi setelah penolakan demi penolakan disampaikan kelompok masyarakat dan mahasiswa.

“Yang kita minta sebenarnya dari masyarakat dan mahasiswa, Kementerian ini harus bertanggung jawab dengan narasinya yang kemarin. Sudah diganti, selesai. Yang belum terjawab banyak poin-poin tuntutan misalnya evaluasi total program makan bergizi gratis,” kata Heri.

MBG harus segera dievaluasi karena pada praktiknya tidak berjalan mulus. Banyak sistem, metode, distribusi, sasaran penerima, kualitas makanan, dan sebagainya dari program ini yang membutuhkan koreksi agar berjalan lebih baik.

Foto bersama BDM dan seluruh narasumber.

Selanjutnya adalah soal multifungsi TNI, mahasiswa meminta agar DPR segera merevisi UU TNI/POLRI, menghilangkan celah yang memungkinkan mereka bisa menjalani peran ganda bahkan lebih, sehingga bisa fokus pada tugas dan fungsi masing-masing. Polri menjaga ketertiban masyarakat, TNI menjaga kedaulatan negara.

“Kita melihat ke depan akan ada gejolak krisis-krisis ekonomi, maka itu akan melemahkan bangsa kita. TNI Harus hadir untuk memperkuat ketahanan kita di sana, jangan dia mengisi posko-posko dan meninggalkan fungsinya sebenarnya,” ujarnya.

Yunarto Wijaya melihat tuntutan mahasiswa terkait multifungsi TNI ini linear dengan salah satu dari 6 tuntutan reformasi, yakni hapus dwifungsi ABRI. Sementara di era Prabowo-Gibran saat ini ada begitu banyak anggota TNI bahkan Jenderal aktif yang menempati posisi-posisi jabatan publik di pemerintahan dan berbuntut kontroversi.

“Jangan sampai kritik seperti ini, lagi-lagi poin utamanya ditutup ruang geraknya dengan mengatakan endasmu tadi,” kata Toto.

Pada zamanperjuangan Reformasi 1998, PAN menjadi salah satu partai yang mendukung dihapuskannya dwifungsi ABRI, dan hari ini partai itu ada di lingkar kekuasaan di saat kritik atas multifungsi TNI muncul, bagaimana sikap PAN?

Eddy Soeparno menyebut sikap partainya tidak berubah, mereka tetap mendorong TNI/Polri bekerja sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Untuk fakta banyaknya personel TNI yang menjabat, Ed menyebut mereka langsung mundur dari militer begitu dilantik oleh Presiden.

“Penempatan pejabat-pejabat tersebut meskipun pada saat mereka ditunjuk itu adalah pejabat aktif, tetapi kemudian menjadi nonaktif ketika dilantik dan itu menurut saya sesuai dengan apa yang sudah menjadi perjuangan kita dari awal,” jelas Edi.

Eddy tetap beranggapan penempatan perwira-perwira aktif dalam jabatan publik tidak sejalan jika menggunakan landasan semangat reformasi 1998. Jadi, prinsip 26 tahun itu masih partainya pegang teguh.

Lukman Hakim Saifudin menyebutnya sebagai sesuatu yang problematik, jika dwifungsi saja sebaiknya dihindari bahkan dihapus, bagaimana dengan multifungsi. Itu lebih buruk untuk diimplementasikan. Sama halnya dengan Edi, Lukman juga berpegang pada prinsip, jika ada TNI aktif yang akan masuk ke jabatan sipil, maka yang bersangkutan harus terlebih dahulu meletakkan keanggotaan militernya.

Dengan adanya tuntutan-tuntutan dari mahasiswa terkait berbagai kebijakan pemerintah, Jazilul Fawaid berharap agar pemerintah lebih tertata dalam menjawab tuntutan publik, tidak berbeda-beda antara satu instansi dengan instansi lainnya sebagaimana selama ini kerap terjadi.

“Saya berharap jajaran pemerintah di eksekutif ketika dia menjawab masalah-masalah publik itu tidak banyak celometan, tidak berbeda A B, pagar laut, PPN, yang lain itu kadang antara satu dengan yang lainnya tidak sama,” jelas dia.

Ia juga berharap, Prabowo yang begitu gigih merealisasikan kesejahteraan untuk rakyat melalui kebijakan-kebijakannya tidak disalahpahami. Salah satunya dalam hal efisiensi anggaran ini. Meskipun Jazul sendiri mengaku DPR belum menerima informasi dari pemerintah anggaran yang dipangkas itu akan dialokasikan untuk keperluan apa. Namun, ia yakin semua itu akan bermuara pada kepentingan rakyat.

“Penghematan anggaran ini mestinya dipandang Pak Prabowo sedang memihak kepada rakyat. Bahwa MBG dievaluasi, oke memang perlu dievaluasi, tapi dari sisi tujuan… Pak Prabowo itu sebelum jadi Presiden sudah menyampaikan, saya tidak ingin rakyat Indonesia ada yang lapar. Itu kan bagian dari visi, cuma untuk me-landing-kan visi itu tidak cukup Pak Prabowo sendiri, semua juga harus ikut terlibat,” ujar Jazil.


Comments

One response to “Indonesia Gelap dan #KaburAjaDulu dari Perspektif Mahasiswa dan Pemerintah”

  1. Informasi yang Anda bagikan benar-benar membantu.

    Artikel ini memberikan perspektif baru bagi saya.
    Saya akan membagikan artikel ini kepada teman-teman saya.

    Saya setuju dengan poin yang Anda sampaikan.
    Penjelasannya sangat mudah dipahami.
    Semoga semakin banyak artikel seperti ini!

    Saya baru saja mulai belajar tentang bisnis online, dan artikel ini sangat membantu saya.

    Terima kasih telah membuatnya begitu mudah dipahami!
    Saya berharap bisa melihat lebih banyak artikel serupa.

    Tulisannya mudah dipahami.
    Sangat menginspirasi!
    Saya harap Anda terus membagikan konten berkualitas seperti ini.

    Artikel ini memberi saya banyak ide baru.
    Saya akan merekomendasikan blog ini kepada teman-teman saya.

    Semoga lebih banyak orang membaca artikel ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *