“Elite politik merasa tidak bebas untuk memobilisasi patronase ekonominya, tidak bebas untuk melakukan deal politik yang tentu saja melibatkan dana yang tidak kecil. Dan di satu sisi, Pak Jokowi juga merasa bahwa inisiatif anti korupsi itu menghambat pembangunan infrastruktur karena kiprah dari KPK tersebut….”
—Pengamat Korupsi Vishnu Juwono
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu lembaga yang dicintai masyarakat, karena kinerja baiknya menangkapi para koruptor yang jelas-jelas merugikan negara dan masyarakat itu sendiri. Citra baik berhasil didapatkan KPK, kepercayaan publik juga ada di tangan mereka.
Berbanding terbalik dengan masyarakat yang begitu mencintai KPK, elite dan pejabat politik, khususnya mereka yang korup atau baru berniat melakukan tindakan koruptif, justru amat sangat membencinya. KPK dianggap menjadi batu ganjalan bagi mereka yang ingin memperkaya diri dengan menggarong aset-aset negara.
Setidaknya itulah alasan yang dikemukakan Pengamat Korupsi dari Universitas Indonesia Vishnu Juwono mengapa KPK dibenci hingga dikebiri melalui revisi UU KPK di tahun 2019.
Dalam podcast Back to BDM di YouTube Budiman Tanuredjo, Vishnu menyebut puncak kejayaan KPK ada di periode pertama Presiden Joko WIdodo, medio 2014-2019. Saat itu, KPK begitu banyak melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), bahkan berhasil menersangkakan jajaran elite pemerintahan hingga sekelas menteri.
Akibatnya, para elite politik merasa gerah dan tidak bisa bergerak bebas dalam melakukan hal-hal yang sifatnya koruptif, termasuk Presiden Jokowi itu sendiri.
“Elite politik merasa tidak bebas untuk memobilisasi patronase ekonominya, tidak bebas untuk melakukan deal politik yang tentu saja melibatkan dana yang tidak kecil. Dan di satu sisi, Pak Jokowi juga merasa bahwa inisiatif anti korupsi itu menghambat pembangunan infrastruktur karena kiprah dari KPK tersebut. Jadi dua pandangan yang bersatu pada titik tertentu, sehingga akhirnya disepakati (oleh elite) KPK harus dilemahkan segera,” jelas Vishnu.
Ia meyakini pelemahan KPK merupakan ulah dan kesepakatan para elite politik. Terbukti dari cepatnya proses revisi UU KPK yang berjalan di parlemen. Hanya 1 bulan. Padahal, RUU lain membutuhkan waktu hingga tahunan untuk akhirnya dibahas dan disahkan.
“Perlawanan” elite dari KPK sebenarnya bukan baru kali itu saja terjadi. Kita masih ingat perseteruan antara KPK dan Polri (Cicak vs Buaya) di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bedanya, saat itu SBY memihak KPK. Tidak seperti Jokowi yang justru bersama-sama elite politik ingin melemahkan kekuatan KPK. Vishnu menyebut Jokowi tak hanya memiliki kepentingan untuk mencapai stabilitas politik, namun juga ingin tetap memiliki pengaruh politik sekalipun dua periode pemerintahannya sudah berakhir.

Di periode keduanya, Jokowi memiliki proyek-proyek nasional yang anggarannya fantastis, misalnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Belum lagi niatannya memperpanjang kekuasaan dengan cara menyodorkan sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai cawapres pendamping Prabowo.
Jadi, Vishnu melihat adanya garis kepentingan yang jelas antara pencapresan Gibran, ambisi politik Jokowi, dan pelemahan KPK. Jika KPK tidak dilemahkan, maka akan sulit bagi Jokowi dan kroni-kroninya melancarkan apa yang direncanakan.
“Mungkin pada tahun 2019 awal itu lebih kepada bagaimana supaya agenda pembangunan beliau tidak terganggu, terutama pembangunan IKN dan lain-lain yang dia tahu pasti banyak inefisiensinya dan kalau KPK-nya berfungsi efektif pasti akan banyak OTT,” jelas Vishnu.
“Jadi dia tidak mau itu terjadi dan kalau banyak OTT berarti mengganggu bargaining beliau dengan elit partai politik. Kalau berganti-ganti terus kan akan lebih repot. Kalau KPK yang melakukan OTT bargaining-nya di KPK. Jadi dia ingin bargaining politiknya diduga di beliau sendiri,” imbuhnya.

Opsi melemahkan KPK juga diamati Vishnu sebagai pilihan logis para elite politik yang tidak ingin partai politiknya melemah sebagaimana dialami Partai Demokrat pasca masa kekuasaan SBY berakhir.
Di masa itu, ada sejumlah elite Partai Demokrat yang terlibat kasus korupsi dan SBY tidak melindungi mereka. SBY sebagai Ketua Umum justru mempersilakan KPK menindak siapapun yang terbukti melakukan korupsi. Sikap SBY benar, namun bagi politisi sikap itu sama sekali tidak menguntungkan. Jadi, untuk saat ini mereka tak ingin mengulangi apa yang dilakukakn SBY. Melemahkan KPK dan melindungi kader dirasa lebih baik daripada harus mengorbankan elektoral partai.
“Diambil pelajaran yang penuh dengan kepentingan mereka, yaitu jangan seperti Pak SBY, jangan sampa seperti Partai Demokrat pengaruhnya turun, jadi lebih baik KPK harus dilemahkan,” ujar Vishnu.
Pelemahan KPK melalui revisi UU KPK 2019 ini dari kaca mata Vishnu dilakukan sebagai bentuk kemuakan para elite yang merasa gagal melemahkan KPK dengan cara-cara yang lain. Misalnya dengan mengolok OTT sebagai metode yang kampungan, lebih baik lakukan tindakan preventif, hingga serangan fisik yang dilakukan terhadap mantan pejabat KPK ketika itu (penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan).
“KPK-nya masih dianggap mungkin sama elit politik membandel melakukan OTT secara agresif, sehingga akhirnya diperlukan pendekatan baru, pendekatan barunya yaitu dengan Pelemahan KPK melalui Undang-Undang KPK yang 2019 ini,” kata dia.
Revisi UU KPK itu benar-benar efektif memereteli berbagai sistem di internal KPK sehingga terjadi pembusukan organisasi, KPK yang semula penuh dengan integritas dan kredibilitas, kini penuh dengan skandal. Mulai dari komisioner bermasalah, ketua terlibat pemerasan dan menjadi terasangka, hingga para pegawai di dalamnya melakukan pungli.
“Itu menunjukkan adanya pembusukan yang dilakukan pasca revisi Undang-Undang KPK,” ujarnya.
Meski sudah dijelaskan pelemahan KPK melalui revisi UU KPK merupakan upaya elite politik untuk memuluskan jalan mereka melakukan patronase-patronase ekonomi, Vishnu menjelaskan secara lebih detail elite mana yang lebih banyak berperan.
Elite yang datang dari kalangan generasi Baby Boomers dan X adalah orang-orang itu.
“Mereka-mereka ini yang di kekuasaan pada tahun 2019 periode 2014-2024 inilah yang menurut saya bertanggung jawab terhadap pelemahan KPK sehingga KPK menjadi KPK yang seperti saat ini, sangat tidak Kredibel bahkan ketuanya diberhentikan karena dugaan pemerasan. Merekalah yang bertanggung jawab, terutama yang menggagaskan dan melaksanakan revisi undang-undang tersebut,” ungkap Vishnu.
Leave a Reply