Budiman Tanuredjo
Minggu, 26 Januri 2025, saya datang ke Panti Asuhan Viva Dulcedo, di kawasan Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat. Sekitar satu jam dari rumah saya di hari libur. Viva Dulcedo adalah panti asuhan khusus untuk putri. Terdapat 29 putri asuh tinggal di panti. Mereka datang dari berbagai pelosok di Tanah Air. Ada warga Papua dari Nabire dan Merauke. Ada juga yang datang dari Nias, Jakarta, dan juga Bekasi. Ada yang masih belajar di SD, SMP, SMA. Mereka dibiayai program Ayo Sekolah, Ayo Kuliah (ASAK), program dari Keuskupan Agung Jakarta.
Saya diterima dan ngobrol dengan Suster Filomena dan Suster Theopilia. Keduanya menceritakan bagaimana suka-duka mengelola anak-anak panti asuhan. Ada anak panti berusia tiga tahun yang dititipkan orangtuannya. “Setelah itu orangtua tak pernah lagi datang menjenguk”, ucapnya.
Tapi itulah tugas pelayanan. Melayani sesama manusia dan merawat kehidupan.

Kehidupan sehari-hari panti mengandalkan dukungan gereja, paroki, dan donatur dari pihak ketiga. Setelah pensiun dari Harian Kompas, saya kerap berkunjung ke panti asuhan untuk melihat bagaimana realitas kehidupan nyata di tengah masyarakat. Dalam kunjungan itu, saya mengajak anak saya untuk melihat langsung bagaimana realitas kehidupan. Realitas yang mungkin tak terbayangkan.
Minggu itu saya datang ke Viva Dulcedo untuk berbagi bahan pokok. Bahan pokok kehidupan sehari-hari itu saya beli dari dukungan Rekhas Tailor melalui Mas Malik Alimchamdani yang bersedia berkolaborasi dengan Kanal YouTube Backtobdm untuk masa tiga bulan. Sudah menjadi komitmen jurnalistik saya untuk membagikan kembali sebagian penerimaan dari sponsor untuk sesama. Di Panti Viva Dulcedo saya membelanjakan Rp2,9 juta. Sedang dalam kunjungan menjelang Natal 2024 ke Panti Asuhan Gunung Sindur saya membelanjakan uang Rp4,9 juta untuk membeli bahan-bahan pokok untuk kebutuhan panti asuhan.

Jurnalisme untuk sesama dirancang dengan menggabungkan pendekatan jurnalisme dua pendiri Kompas, PK Ojong dan Jakob Oetama. Ojong bersikap lugas tentang fungsi jurnalisme. Ia mendekati Mochtar Lubis yang dikenal sebagai jurnalisme jihad (crusading journalism). Dalam Kompasiana bisa dilihat bagaimana Ojong memandang pers. “Tugas pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa tapi justru untuk mengkritik yang berkuasa.” (PK Ojong, Kompasiana, Esai Jurnalis (1981). Ojong memilih berhenti menulis Kompasiana ketika dia merasa tidak lagi bebas menulis.
Jurnalisme mazhab Jakob Oetama sedikit berbeda. Jakob beberapa kali mengatakan, kritik dengan penuh pengertian. Ngono yo ngono ning ojo ngono. Media harus menjadi suara nurani bangsanya (the conscience of nation) dengan pendekatan meyakinkan, bukan menggebrak-gebrak meja. Jakob kerap mengutarakan, tegas dalam prinsip lentur dalam cara.
Dalam beberapa kesempatan, Jakob berulangkali mengatakan jurnalisme itu, “Mengingatkan yang mapan, menghibur yang papa.” Prinsip itu bisa dirujuk pada tulisan, Finley Peter Dune (1867-1936), penulis kolom Chicago Evening Post. “Comfort the afflicted, afflict the comfortable.”
Sebagai alumni Kompas, saya mengembangkan dan menggabungkan jurnalisme O2 (Ojong-Oetama) dalam kanal Youtube saya: Budiman Tanuredjo, personal website saya @backtobdm.com, dan spotify saya @backtobdm. Meski ini media personal tapi saya tetap memegang kebijakan editorial untuk memberikan pandangan, termasuk kritik dan saran kepada semua pihak termasuk pemerintah, menjadi jembatan antara masyarakat dan elite, menjalankan early warning system, mencoba merangkum mimpi tentang Indonesia, serta membantu mereka yang berkebutuhan secara nyata. Itulah jurnalisme untuk sesama. Jurnalisme harus memberi manfaat kepada sesamanya.
Memberi manfaat melalui kontribusi gagasan untuk Indonesia yang lebih baik. Dan secara paralel mencoba memberi manfaat secara langsung kepada sesama dari pengalokasikan penghasilan yang diperoleh dari sponsor maupun ad-sense. Penghasilan itu tentunya belum seberapa jika dibandingkan dengan industri media besar. Namun itu adalah langkah awal agar jurnalisme bisa memberi manfaat kepada sesama, agar jurnalisme bisa menjalankan peran menjaga kewarasan publik, dan jurnalisme bisa menjadi jembatan antara yang berkelebihan dan berkebutuhan.
Saya teringat apa yang dikatakan Paus Fransiskus, “Kemiskinan disebabkan oleh keegoisan, kesombongan, keserakahan, dan ketidakadilan. Ini adalah kejahatan setua kemanusiaan, tetapi juga dosa-dosa di mana banyak warga tak berdosa terperangkap, membawa konsekuensi pada tingkat sosial yang dramatis.” Dalam Evangeli Gaudium (2013), Paus Fransiskus menyatakan, “Pemberhalaan uang, uang yang menjadi pusat segala sesuatu, adalah salah satu gejala yang paling jelas dari masyarakat kita saat ini. Ini merusak solidaritas antar umat manusia dan menciptakan ketimpangan.”
Kerakusan dan ketamakan mengakibatkan kesenjangan sosial yang begitu lebar. Ketamakan juga diingatkan: Mahatma Gandhi (1869-1948), Bapak Bangsa India. “The world has enough for everyone’s needs, but not enough for everyone’s greed.” (“Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk memenuhi keserakahan semua orang.”.
Pada situasi inilah jurnalisme menghadapi tantangan. Bagaimana jurnalisme menjawab kebutuhan bangsanya, bagaimana jurnalisme memainkan peran mempersempit kesenjangan sosial dan membantu yang membutuhkan bantuan tapi juga tak boleh kehilangan “danyang” untuk mengkritik kekuasaan.
Saya kutip lagi esai Ojong di Kompasiana di tahun 1970-an. “Pers selama beberapa tahun ini adalah pers yang ompong. Akibatnya, kerugian yang diderita rakyat tak terhingga. Asda menteri bejat yang berpesta pora dengan uang rakyat, hasil dari daki keringat rakyat. Pers harus menjadi pentungan (social control) untuk terus mengingatkan…” (Kompasiana, 1981).
Leave a Reply