Pilkada Boleh Dikembalikan Ke DPRD, Tapi…

“Oke kita kembali ke DPRD, artinya partai politik yang mengusung. Tapi ayo partai politiknya juga kita benahi. Kalau perlu kita siapkan undang-undang partai politik yang demokratis,”

-Anggota DPD Sumatera Barat Irman Gusman

Ada salah satu wacana yang sempat dilontarkan oleh Presiden Prabowo demi menghemat anggaran negara, yakni dengan mengubah pemilihan kepala daerah yang semula langsung oleh rakyat menjadi melalui perwakilan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pilkada langsung memang tak bisa dipungkiri menelan biaya yang fantastis. Padahal kondisi keuangan negara saat ini sedang membutuhkan banyak anggaran, mulai untuk melaksanakan program andalan Prabowo-Gibran yakni Makan Bergizi Gratis (MBG) dan membayar utang juga bunga utang senilai ratusan triliun rupiah yang jatuh tempo di tahun ini dan beberapa tahun ke depan.

Namun, di sisi lain pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan memangkas hak demokrasi rakyat untuk memilih langsung siapa orang yang akan memimpinnya di tingkat daerah.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sumatera Barat Irman Gusman justru mengaku setuju dengan usulan Presiden Prabowo itu. Hal itu ia kemukakan saat menjadi bintang tamu dalam podcast Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

“Bagus banget ini, dari sisi efisiensi ratusan triliun (anggaran bisa dipangkas). Kalau itu dikumpulin kita kasih fakir miskin atau bentuk tunjangan untuk small business,” kata Irman.

Perubahan dari langsung menjadi perwakilan sebetulnya bagi Irman juga bukan hanya perkara efisiensi anggaran, namun juga sebagai bentuk evaluasi karena kabar demokrasi di Indonesia hari ini sudah tidak baik-baik saja. 25 tahun pasca reformasi, uang sudah menndominasi politik kita. Ya, pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat, demokratis. Tapi apa yang bermain di balik pilihan-pilihan rakyat itu? Salah satunya adalah uang.

Bukan rahasia lagi bagaimana para calon pemimpin daerah membagikan uang atau barang sebagai pelicin kepada masyarakat. Mirisnya, iming-iming uang dan barang itu diterima oleh masyarakat yang diberi. Bahkan tak sedikit dari mereka yang menerima itu, memutuskan untuk akhirnya memberikan suaranya kepada kandidat yang bersangkutan saat ada di bilik suara.

“Semuanya disesuaikan dengan uang. Jadi sudah sampai ke tahap yang sangat… Malah Februari 2024 ini yang saya dengar dari para peserta pemilu DPR, DPRD, DPD, ini pemilihan yang sangat brutal. Jadi orang enggak lagi lihat kualitas, tapi lihat isi tas,” ujar Irman.

“Sekarang itu keuangan yang maha kuasa. Itu yang menentukan. Apakah ini yang kita mau tuju? Oleh karena itu, 25 tahun sudah (reformasi), dalam pandangan saya ini harus kita evaluasi,” imbuhnya.

Wawancara BDM dengan Irman Gusman untuk podcast Back to BDM.

Ia mempertanyakan, apakah demokrasi macam ini yang kita cari? Meskipun terlihat demokratis, tapi dilakukan menggunakan cara-cara yang tidak adiluhung.

Ia mengatakan Indonesia harus kembali pada jati diri bangsa yang sudah sejak awal disepakati, yakni Pancasila dimana salah satu silanya mengatur kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Mengacu pada sila keempat Pancasila itulah, Irman menganggap tidak ada yang salah dengan pemimpin daerah dipilih oleh DPRD. Dan dari kacamata pandangnya, masyarakat tak akan berkeberatan jika memang itu yang diputuskan oleh pemerintah.

Politisi kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat itu mengaku setuju dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, dengan catatan.

“Saya setuju, dengan catatan. Setujunya apabila partai politik sebagai instrumen demokrasi itu harus juga didemokratisasi. Selama ini kan enggak,” ujar Irman.

Baginya, partai politik saat ini berdiri bukan sebagai alat demokrasi, lebih pada satu komunitas politik yang dikuasai oleh pendirinya. Semacam oligarki pada dunia bisnis, namun ini pada tubuh partai politik. Jika kondisi partai politik masih seperti itu, maka Pilkada perwakilan tentu bukan opsi yang bijak untuk dipilih.

Jadi, perlu pembenahan Undang-Undang Partai Politik terlebih dahulu.

“Oke kita kembali ke DPRD, artinya partai politik yang mengusung. Tapi ayo partai politiknya juga kita benahi. Kalau perlu kita siapkan undang-undang partai politik yang demokratis,” kata Irman.

Bagaimana dengan Hak Demokrasi Rakyat?

Pengembalian pemilihan kepala daerah pada DPRD akan merenggut hak demokratis rakyat untuk memilih sendiri kandidat yang mereka kehendaki. Lantas bagaimana jika hak itu dialihkan pada DPRD, tidak kah itu sama halnya dengan mencabut hak yang selama ini menjadi kemewahan rakyat setiap tiba pesta demokrasi?

Irman menganggap hilang atau tidak kemewahan itu hanya soal filosofi saja.

“Itu kan soal filosofi saja, toh untuk dia duduk di dewan kan rakyat juga nanti yang memilih. (Makanya) waktu kita pemilihan DPR/DPRD nanti pilihlah orang terbaik,” ujarnya.

BDM memberikan buku-buku karyanya kepada Irman Gusman.

Meski anggota DPRD merupakan pilihan langsung dari rakyat, apakah pilihan mereka dalam menentukan kepala daerah pasti merepresentasikan kehendak rakyat?

Menjawab pertanyaan ini, Irman hanya menawarkan solusi agar pemerintah membentuk satu tim independen dan kredibel untuk memastikan DPRD benar-benar bisa mewakili aspirasi para tuannya, yaitu masyarakat di daerah tersebut.

Karena untuk merumuskan hal itu, sekarang masih ada cukup banyak waktu. Pilkada selanjutnya baru akan digelar 2029.

“Saya ingin mengatakan merevitalisasi ya, jadi DPRD itu bukan bentuk yang negatif juga, cuma DPRD yang bagaimana. Karena itu adal wakil parpol, parpol yang bagaimana, tentu harus ada kesepakatan. Kalau itu (permasalahannya), parpolnya harus demokratis,” jelas Irman.

Sebagaimana praktik politik di Amerika Serikat, posisi calon presiden tidak harus diberikan pada sang ketua umum, melainkan boleh siapa saja selama dirasa memenuhi persyaratan dan kebutuhan yang ada.

Ketua umum partai politik hanya berperan sebagai penyelenggara untuk melakukan konvensi, menentukan siapa yang nanti akan diajukan sebagai kandidat calon presiden, calon kepala daerah, dan sebagainya.

Jika pengembalian Pilkada pada DPRD alasannya demi efisiensi, apakah tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain dari mencabut hak demokasi rakyat? Misalnya dengan memangkas biaya-biaya kelembagaan di institusi atau lembaga pelaksana pemilu, misalnya.

Selama ini kita sering melihat bagaimana para pejabat negara menghamburkan anggaran untuk hal-hal yang tidak urgen. Misalnya menggunakan pesawat pribadi dalam perjalanan dinas, memilih lokasi di hotel berbintang 5 untuk menggelar pertemuan, dan sebagainya. Itu yang perlu menjadi bahan pertimbangan semua pihak.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *