Pengantar:
Esai saya di Harian Kompas 4 Januari 2025 berjudul “Pemerintah Bayangan dan Masa Depan Demokrasi” mendapat tanggapan langsung dari Prof Dr Syarif Hidayat. Syarif, peneliti BRIN, dosen pascasarjana Universitas Nasional dan anggota AIPI, memperdalam argumentasi di Harian Kompas, 19 Januari 2025 dalam judul Demokrasi Cukong.”
Teori “shadow state” ini menarik di tengah kontroversi pagar laut di misterius di Tangerang. Dan, kehadiran TNI AL atas perintah Presiden Prabowo Subianto membongkar pagar laut menunjukan hadirnya negara. Saya turunkan esai Prof Syarif yang sudah dimuat di Harian Kompas, 19 Januari 2025.
Mencermati realitas stagnasi demokrasi di Tanah Air, banyak kalangan telah mempertanyakan kembali apakah arah reformasi politik di Indonesia masih berada di ”alur nan patut” menuju demokrasi substantif? Manakala disimak diskursus kontemporer tentang kinerja reformasi politik di Indonesia, hampir sebagian besar analis berpendapat bahwa tren perkembangan demokrasi di Tanah Air cenderung mengalami stagnasi (Winter, JA, 2013; Warburton and Aspinall, 2019; Mujani S and Liddle, RW, 2021).
Penulis sendiri (Hidayat, 2021: 6) cenderung mengartikulasi tren perkembangan demokrasi di Indonesia sebagai ”arus balik demokrasi” (democratic U-turn).
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menjelaskan realitas stagnasi demokrasi tersebut berdasarkan perspektif relasi bisnis (kapitalis) dan politik di Indonesia? Secara singkat dapat dikemukakan, sedikitnya ada dua faktor utama penyebabnya.
Pertama, karena tumbuh dan berkembangnya praktik shadow state (negara bayangan) pada periode pasca-Orde Baru. Kedua, karena adanya pergeseran pola relasi negara dan kapitalis di Indonesia, dari ”subordinasi bisnis terhadap negara”, menuju pola sebaliknya, ”subordinasi negara terhadap bisnis”.

Praktik ”shadow state”
Salah satu bentuk dari bias reformasi pasca-Orde Baru adalah munculnya praktik shadow state, yaitu pemerintah bayangan atau para pemangku otoritas informal, di luar struktur pemerintahan, tetapi dapat mengendalikan para penyelenggara pemerintahan formal (Hidayat, 2007).
Hal ini terjadi karena agenda reformasi sejauh ini cenderung lebih menekankan pada reformasi kelembagaan negara (state institutional reform) minus penguatan kapasitas negara (state capacity). Dalam melakukan state institutional reforms juga terkesan sangat kuat lebih ditekankan ke upaya membangun state image (Migdal, 2003).
Akibatnya, tak heran jika kemudian aktualisasi negara dalam kehidupan sehari-hari (state in practice) menjadi samar-samar, bahkan dalam banyak hal, keberadaan negara justru ”absen”. Kondisi inilah kemudian telah mendorong tumbuh dan berkembangnya shadow state (Hidayat, 2010).
Pergeseran relasi negara dan negara
Pada periode Orde Baru, Robison (1988) mengategorikan relasi antara negara dan kapitalis di Indonesia ke dalam pola ”subordinasi sektor bisnis terhadap negara”.
Maksudnya, pemerintahan Orde Baru cenderung memosisikan sektor bisnis tergantung terhadap negara. Pada periode pasca-Orde Baru (reformasi) para kapitalis mendapat ruang lebih besar di politik, baik sebagai donatur maupun pemilik partai politik.
Persekongkolan antara para elite partai dan kapitalis inilah kemudian telah berperan sebagai faktor determinan bagi terjadinya transformasi struktur dan aktor (Durkheim, 1933; dan Weber, 1947) pada konteks relasi bisnis dan politik pasca-Orde Baru.
Transformasi yang dimaksud adalah terjadi pergeseran model relasi negara dan kapitalis di Indonesia, dari subordinasi bisnis terhadap negara sebagaimana terjadi pada periode Orde Baru, mengarah ke model sebaliknya, yaitu subordinasi negara terhadap bisnis, pada periode pasca-Orde Baru.
Ilustrasi tentang praktik shadow state dan kuasa oligarki, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, secara eksplisit mengindikasikan bahwa pada periode pasca-Orde Baru, para kapitalis mendapat ruang lebih besar dalam politik.
Implikasinya, dapat dimengerti jika kemudian para kapitalis dapat mengendalikan para elite partai yang menduduki jabatan strategis pada lembaga negara untuk mendapatkan kepentingannya.
Pada sisi lain, di antara ekses dari bias reformasi sistem kepartaian (multipartai) dan pemilihan umum (pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah langsung) adalah lahirnya praktik politik transaksional, yang telah mengakibatkan pemilu biaya tinggi.
Kondisi ini, sulit dimungkiri, telah membuka peluang lebih besar bagi oligarki kapitalis untuk mengambil peran yang lebih besar dalam mengontrol reformasi pasca-Orde Baru, dan membangun kolaborasi yang solid dengan oligarki partai politik.

Kecenderungan inilah yang selanjutnya penulis sebut sebagai praktik ”demokrasi cukong”. Proposisi di atas secara implisit mengisyaratkan bahwa transisi demokrasi pasca-Soeharto memang telah berhasil melepaskan Indonesia dari otoritarianisme Orde Baru, tetapi kemudian masuk ke dalam pelukan oligarki partai politik dan kapitalis, yang selanjutnya berperan sebagai shadow state (Hidayat, 2007).
Dalam hal ini, keberadaan dari shadow state tidak lain merupakan pertemuan/perjumpaan dari dua arus kekuatan oligarki partai politik dan kapitalis tersebut. Kondisi ini jika tidak segera dikelola dengan baik, akan berimplikasi buruk bagi masa depan demokrasi di Tanah Air.
Kewarasan akal budi
Akhirnya, memang tidak mudah untuk membangkit batang terendam. Meski demikian, penulis tetap meyakini bahwa kewarasan akal budi masih eksis di Bumi Pertiwi.
Kiranya, pernyataan Bung Hatta tentang Demokrasi Kita (1960) sangat relevan untuk digelorakan kembali pada konteks kekinian. Hatta antara lain, mengatakan, demokrasi tak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia, yang lancar jalannya. Namun, dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.
(Syarif Hidayat Peneliti BRIN, Dosen Pascasarjana Politik Unas, Anggota AIPI)
Leave a Reply