Pengantar: Tulisan saya di Kompas, 4 Januari 2025, berjudul “Pemerintah Bayangan dan Masa Depan Demokrasi” mendapatkan kelengkapan argumentasi dari Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute di Harian Kompas 21 Januari 2025. Hendardi menulis “Dalam Impitan Vetokrasi dan Demagogi”. Saya salin ulang tulisan Hendardi yang sudah turun di Harian Kompas. 21 Januari 2025.
Mencermati dinamika politik (kekuasaan) dalam lima tahun terakhir, termasuk pada pemerintahan seumur jagung Prabowo Subianto, apakah demokrasi Indonesia memiliki masa depan?
Bagaimana kekuatan politik ”tersisa” seharusnya merawat harapan akan demokrasi dan demokratisasi? Budiman Tanuredjo dalam ”’Pemerintahan Bayangan’ dan Masa Depan Demokrasi” (4/1/2025) mengutip Syarif Hidayat yang menganalisis kemungkinan masa depan demokrasi Indonesia buram karena demokrasi hanya jadi obyek pengelolaan manajemen elite dalam incorporated democracy. Akibatnya, demokrasi kian jauh dari rakyat.
Dalam artikel ringkas di Kompas (30/1/2024) berjudul ”Menghindari Jebakan Vetokrasi”, penulis sebelumnya menekankan bahwa salah satu potensi patogen yang mencolok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dalam lima tahun terakhir adalah vetokrasi.
Menyitir Fukuyama (2018), vetokrasi adalah kemampuan kelompok kepentingan untuk memblokir tindakan kolektif warga. Aspirasi kolektif rakyat bisa diveto oleh hanya sekelompok orang.
Vetokrasi itu kini hadir dalam praktik legislasi di DPR yang ugal-ugalan, merontokkan penegakan hukum sebagai ikhtiar mewujudkan keadilan, meruntuhkan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta memberikan keistimewaan dan pengutamaan (privilege) bagi segelintir warga ultrakaya di atas kebanyakan warga negara lainnya.
Ilegalitas negara
Jelang setahun setelah Pemilu 2024 dan sebulan setelah pelantikan presiden hasil Pemilu 2024, ”pemerintahan bayangan” dan vetokrasi terus bekerja dalam hiruk-pikuk pembentukan kabinet pemerintahan supergemuk, drama-drama pemberantasan korupsi, dan proyek pembangunan negara, terutama Proyek Strategis Nasional (PSN) yang meminggirkan warga yang lemah lagi rentan.
Kelakuan entitas ”supranegara” tersebut menegaskan fenomena politik yang disebut state illegalities (Aspinall dan van Klinken, 2011).
Dalam penyusunan Kabinet Merah Putih (KMP), yang ilegal diakomodasi, minimal dengan utak-atik hukum demi memenuhi hasrat politik. Salah satu yang sangat mencolok, bagaimana regulasi, terutama Undang-Undang (UU) TNI, dilanggar dan disiasati sedemikian rupa demi mengangkat seorang mayor TNI menjadi Sekretaris Kabinet.

Meskipun Presiden Prabowo mengklarifikasi pernyataannya soal voor (kesempatan yang diberikan di awal) untuk koruptor bertobat dan mengembalikan harta yang dikorupsi, tidak ada interpretasi logis lain dari pernyataan Presiden selain Presiden memberikan peluang untuk mengampuni dan memaafkan koruptor.
Intensi demikian bertentangan dengan hukum. UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 4 pada pokoknya menegaskan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana dan pemidanaan pelaku tindak pidana korupsi.
Kasus pemagaran laut ”secara misterius oleh pihak tak dikenal” tetapi diduga kuat berkaitan dengan PSN Pantai Indah Kapuk 2 kian menegaskan fenomena ilegalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Pagar laut itu bertentangan dengan hukum. Langkah penyegelan atas pagar laut itu kini merupakan langkah absurd.
Pernyataan Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho kepada media pada 10 Januari 2025 terkait penyegelan itu merupakan pernyataan sikap pemerintah yang ambigu dan lemah.
Pung menyatakan, ”Kami ingin memberikan kesempatan kepada pihak yang bertanggung jawab untuk membongkar sendiri. Namun, jika tidak, kami akan ratakan pagar ini.” Tak logis kalau aparat pemerintah tidak mengetahui siapa yang memasang pagar sepanjang lebih kurang 30,16 kilometer tersebut.
Skandal pagar laut patut diduga merupakan kelindan negara dan investasi, yang melibatkan aparat pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan dunia usaha (private sector).
Banyak lagi praktik-praktik ilegalitas yang melibatkan negara melalui aparaturnya. Mereka menjadikan hukum sebagai kendaraan kepentingan ekonomi-politik belaka.
Jika di dalam sosiologi hukum dikenal doktrin law as a tool of social engineering, aparatur negara tak bertanggung jawab itu mempraktikkan hukum sebagai alat untuk mengorkestrasi rekayasa ekonomi-politik demi mengakumulasi aneka keuntungan (rent seeking).
Implikasi bagi demokrasi
Implikasi dari banalisasi ilegalitas yang melibatkan negara akan memasifkan praktik legislasi yang menghamba pada kekuasaan politik. Fenomena tersebut disebut oleh para scholar sebagai autocratic legalism (Corrales 2015, Scheppele, 2018). Legalisme otokratik bahkan lebih berbahaya dari tirani.
Tirani lebih mudah dilawan dan dikoreksi karena ketampakannya.
Sementara itu, legalisme otokratik mengalami penubuhan (embodiment) di dalam demokrasi, tetapi dengan perilaku antidemokrasi dengan atribut utama penggunaan UU untuk melayani kekuasaan, kepentingan kekuasaan terselundup ke dalam klausul yang tampaknya telah memberdayakan warga negara, serta penyimpangan atau penyalahgunaan hukum dan kesewenang-wenangan.
Ancaman bagi demokrasi ini menjadi semakin samar karena seluruh anasir kontra demokrasi dalam bentuk pemerintahan bayangan, vetokrasi, ilegalitas negara, dan legalisme otokratis itu dilakukan oleh para politisi yang menyelinap ke dalam demokrasi melalui jalan dan saluran demokrasi, khususnya pemilu.
Para ”serigala politik berbulu domba” itu para demagog musuh terburuk demokrasi.
Alexander Hamilton, salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat, menyebut demagog sebagai ancaman demokrasi. Dalam The Federalist Papers, Hamilton menulis peringatan tentang orang-orang yang dapat menjungkirbalikkan kebebasan dalam Republik.
Mereka memulai karier politiknya dengan memberikan perjamuan yang menjilat rakyat (obsequious court). Revolusi dalam demokrasi secara umum disebabkan oleh tak terkontrol dan hilangnya penguasaan diri (intemperance) para demagog. Para demagog tidak lahir dari sistem politik lain, mereka bertumbuh dalam demokrasi itu sendiri.
Penulis Amerika, James F Cooper, dalam On Demagogues (1838) menyatakan, demagog secara literal adalah ’pemimpin rakyat jelata’. Jabatan tertentu bagi seorang demagog dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingannya dengan cara memanfaatkan ketaatan yang dalam dari sebagian besar rakyat.
Para demagog sejati memiliki empat ciri. Pertama, mereka secara terus-menerus menampilkan diri mereka sebagai bagian dari kebanyakan rakyat (ordinary people), untuk secara basa-basi mengesankan bahwa mereka bukanlah elite. Kedua, politik mereka bergantung pada sebuah koneksi yang kuat dan mendalam (visceral) dengan rakyat yang secara dramatis melambungkan popularitas politik di tengah rakyat pada umumnya.
Ketiga, mereka memanipulasi koneksi ini serta memantik kegusaran dan kemarahan rakyat untuk menghasilkan popularitas demi kepentingan dan ambisi mereka sendiri. Keempat, mereka mengancam atau seketika merusak aturan main, kode perilaku, dan institusi yang ada, bahkan hukum.
Dalam konteks demokrasi Indonesia kini, penulis melihat masih banyak kekuatan demokratik tersisa pada media, masyarakat sipil, dan perguruan tinggi untuk terus memberikan kritik atas penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam konteks itu, sektor swasta juga mesti berkontribusi secara konstruktif untuk melakukan perbaikan pada ruang politik bersama (collective political sphere).
Di sisi lain, kekuatan demokratik tersisa itu juga dapat secara intensif memanggul kewajiban parpol yang sering diabaikan, yaitu pendidikan politik. Di samping itu, kita tentu boleh berharap pada pemerintahan daerah hasil Pilkada 2024. Dalam tata desentralisasi, mereka dapat melakukan substansiasi demokrasi dengan agenda pembangunan yang berorientasi untuk penikmatan (enjoyment) hak konstitusional warga negara.
(Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute)
Leave a Reply