Pagar Laut Sudah Dibongkar, Saatnya Usut dan Tindak Aktor yang Terlibat

“Kita sebagai rakyat boleh berharap kalau bisa pagar itu bukan TNI AL yang mencabut, merekalah yang bikin yang cabut, cabut sendiri, biaya sendiri, nyelem sendiri repot sendiri. Ini mereka yang bikin huru-hara kemudian negara yang dibikin repot, kacau juga ini barang,”

-Pengamat Politik Adi Prayitno

Dalam beberapa hari terakhir, lebih dari 700 orang prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) bersama elemen masyarakat dan instansi-instansi terkait terus melakukan pembongkaran pagar laut ìsepanjang 30 kilo meter yang terpasang di perairan Tangerang, Banten.

Pembongkaran itu dilakukan atas instruksi dari Presiden Prabowo, setelah sebelumnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut pagar itu jangan buru-buru dibongkar karena bisa menjadi barang bukti untuk mengusut kasus kepemilikan hak atas tanah laut itu.

Meski pagar laut telah dibongkar, hingga saat ini belum diketahui siapa sesungguhnya pohak-pihak yang terlibat di belakangnya. Siapa yang membangun, untuk apa, atas izin siapa, semua belum terjawab.

Pembongkaran pagar laut dinilai belum menuntaskan permasalahan ini. Diperlukan tindak lanjut untuk bisa menemukan aktor-aktor yang terlibat di baliknya dan memberi keadilan bagi seluruh pihak.

Sejumlah narasumber hadir dalam Satu Meja The Forum KompasTV (22/1/2025) dan mendiskusikan soal pagar laut di Tangerang ini.

Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ossy Dermawan menyebut pihaknya berkomitmen akan menyelesaikan isu ini sesuai dengan tugas dan fungsi Kementeriannya, yakni menyelesaikan terkait soal polemik Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Pasca pembongkaran dilakukan, Kementerian ATR/BPN akan membatalkan hak guna dan hak milik yang saat ini diberikan atas area laut itu. Menteri ATR/BPN telah menugaskan bagian internal di Kementerian untuk melakukan pendalaman dengan meminta keterangan pada 4 pihak di Badan Pertanahan Kabupaten Tangerang, selaku pihak yang memberikan sertifikat atas tanah di area laut itu.

Keempat pihak itu adalah juru ukur yang pada kasus ini dilakukan oleh KJSB atau surveyor yang berlisensi, Kepala Seksie Pertanahan Pengukuran, Kepala Seksie Penetapan, dan Kepala Kantor Pertanahan.

“Untuk mendapatkan kepastian agar pembatalan ini bisa segera dilakukan oleh Kementerian ATR BPN. Sudah jelas faktanya saat ini bahwa itu ada di laut. Tinggal secara administrasi kita yakinkan, agar kemudian hari tidak menjadi polemik kembali,” kata Ossy.

Satu Meja The Forum KompasTV, Rabu (22/1/2025) dengan tema “Ribut-Ribut Pagar Laut”.

Sementara itu, Komisi IV DPR-RI akan memanggil sejumlah pihak, termasuk Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono. Hal itu disampaikan oleh Daniel Johan selaku anggota Komisi yang membidangi persoalan peranian, kehutanan, dan kelautan itu. Selain melakukan pemanggilan, mereka juga akan melakukan Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU).

“Kita akan melakukan RDPU, termasuk (mendengar suara) masyarakat nelayan yang terdampak, (kelompok nelayan) yang menyatakan mendirikan secara swadaya, termasuk perusahaan-perusahaan yang sempat muncul (sebagai pemilik hak),” kata legislator asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

RDPU tersebut rencananya akan dilakukan pekan depan.

Viralnya kasus pagar laut Tangerang ini sudah menjadi pusat perhatian publik secara luas. Jika respons pemerintah hanya sebatas pada pembongkaran pagar dan tidak ada tindak lanjut lebih jauh, maka hal itu akan sangat disayangkan.

Setidaknya hal itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi.

“Momentum ini menurut saya rugi kalau hanya sampai kepada pembongkaran pagar dan langkah korektif terhadap sertifikat itu, karena sebenarnya ini fenomena gunung es,” sebut Zenzi.

Artinya, Walhi melihat masih ada banyak masyarakat di wilayah lain yang menderita akibat kebijakan serampangan dari pemerintah, tidak hanya masyarakat Tangerang.

Untuk itu, Zenzi menyarankan agar dibentuk satuan tugas (satgas) khusus sumber daya alam agar setiap pelanggaran hukum terkait dengan lingkungan bisa ditindak tegas.

Selain itu, satgas khusus ini juga berfungsi menjadi langkah korektif terhadap kesalahan penggunaan wewenang.

Langkah selanjutnya yang juga harus dilakukan adalah mencari orang yang menjadi otak di balik permasalahan ini.

Zenzi menaruh curiga bahwa ini bukan hanya ulah investor atau perusahaan semata, namun juga ada keterlibatan pemerintah.

“Karena dalam waktu yang hampir bersamaan dengan keluarnya sertifikat-sertifikat tersebut, Presiden juga menandatangani tahun 2023 itu Peraturan Pemerintah tentang penempatan pasir sedimentasi, pasir yang akan dipakai untuk ngurug. ini menurut saya terlalu lugu Presiden tahun 2023 itu menandatangani satu peraturan pemerintah dalam waktu yang sama ada juga yang mau menambah daratan di Jakarta,” ungkap Zenzi.

“Ini terorkestrasi, sistematis, harus melibatkan seluruh penegak hukum. Itu apa benefitnya? Apa bentuk suap, apa bentuk keuntungan penyalahgunaan wewenang itu pada tahun 2023? Itu harus dibongkar,” imbuhnya.

Melihat lini masa pemberian hak guna dan hak milik yang terjadi di sepanjang tahun 2023, maka dapat disimpulkan masalah ini bermula di masa pemerintahan Joko Widodo.

BDM bersama seluruh narasumber yang hadir di studio. Dari kiri ke kanan: Zenzi Suhadi, BDM, Yayan Sofiyan, Adi Prayitno, dan Ossy Dermawan.

Pengamat Politik Adi Prayitno berharap agar ke depan pengawasan terhadap pemberian sertifikat hak guna lahan harus diperketat. Jangan sampai kasus ini menjadi pemantik bagi pihak yang berwenang menerbitkan sertifikat hak guna dan hak bangun yang absurd sebagaimana terjadi pada area laut di utara Tangerang itu.

“Kita bayangkan, semua ada sekitar 263 itu sertifikat yang enggak main-main jumlahnya, besar. Itu artinya apa, kalau ini tidak dijadikan sebagai trigger akan begitu banyak sertifikat-sertifikat lain yang bermunculan terkait dengan pemagaran-pemagaran gaib yang bukan hanya di Kabupaten Tangerang, mungkin juga di kampung saya di Sumenep, jangan-jangan ada di situ karena tidak diungkap. Maka ini menurut saya sebagai pintu gerbang,” jelas Adi.

Adi pun menantang DPR apakah berani memanggil pihak-pihak seperti nelayan yang mengaku sebagai pelaku pembuat pagar laut, juga perusahaan atau perorangan yang nama-namanya sudah dibuka oleh Kementerian ATR/BPN.

DPR diminta mengajak mereka melakukan audiensi, tanyakan bagaimana ceritanya hingga mereka bisa memiliki hak guna dan hak milik atas lahan yang sesungguhnya merupakan wilayah laut.

“DPR ini kan selalu bicara atas nama rakyat, jadi enggak perlu bikin pansus, enggak perlu bikin panja. Langsung saja panggil satu persatu, tanya bagaimana hal-ihwal terkait dengan pemagaran yang ada di Kabupaten Tangerang ini,” ujarnya.

Ia berharap agar progres baik berupa pembongkaran pagar laut yang sudah mendapat banyak apresiasi hari ini todak berhenti di tahap ini saja sehingga tidak ada penyelesaian yang bersifat final. Terlebih, Presiden sudah turun tangan memberi perhatian terhadap permasalahan ini.

Pihak-pihak yang terlibat di balik keberadaan pagar laut ini harus bisa ditemukan dan dimintai pertanggungjawaban. Saat ini tidak ada pihak yang mengaku memiliki lahan laut, tidak ada yang protes atas pencabutan, tidak ada pula yang memperkarakan pembongkaran pagar laut ini secara hukum.

Kalau bisa, Adi bahkan mengatakan mereka muncul dan mencabut sendiri bambu-bambu yang sudah mereka tancapkan.

“Kita sebagai rakyat boleh berharap kalau bisa pagar itu bukan TNI AL yang mencabut, merekalah yang bikin yang cabut, cabut sendiri, biaya sendiri, nyelem sendiri repot sendiri. Ini mereka yang bikin huru-hara kemudian negara yang dibikin repot, kacau juga ini barang,” pungkas Adi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *