Mencari Dalang di Balik Pagar Laut Tangerang

Pemagaran laut tanpa diketahui aparat adalah keanehan negeri ini. Terbitnya HGB dan SHM atas laut adalah ke-absurd-an negeri ini. Pembongkaran pagar laut adalah keniscayaan, namun pembongkaran tetap butuh pertanggungjawaban karena konstitusi mengatakan bumi, air, dan kekayaan di dalamnya dikuasai oleh negara.

Publik Indonesia beberapa waktu terakhir dikejutkan dengan keberadaan pagar bambu sepanjang lebih dari 30 kilometer yang membentang di laut utara Tangerang, Banten yang hingga saat ini belum diketahui pasti siapa pemiliknya. Belakangan bahkan diketahui, area laut yang dipagari itu ternyata sudah dikapling dan memiliki izin resmi dari otoritas berwenang berupa Hak Guna Bangunan (HGB) dan Serrifikat Hak Milik (SHM). Fakta ini bisa diakses secara terbuka oleh publik di laman Bhumi ATR/BPN.

Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Bagaimana logikanya, wilayah perairan dalam hal ini laut bisa dibuatkan kapling dan haknya diberikan kepada pihak tertentu? Siapa yang bermain di belakangnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sejumlah narasumber hadir dalam program Satu Meja The Forum KompasTV yang mengangkat tema “Ribut-Ribut Pagar Laut”, Rabu (22/1/2025).

Mewakili pemerintah, Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ossy Dermawan mengonfirmasi area laut yang dipagari bambu itu sudah terbit sertifikat berbentuk HGB yang jumlahnya mencapai 263 bidang tanah.

Ossy menjabarkan, dari jumlah 234 di antaranya adalah atas nama PT Intan Agung Makmur, 20 atas nama PT Cahaya Inti Sentosa, dan 9 atas nama perorangan. Di luar itu, ada 17 bidang area laut lainnya diberikan SHM.

“Inilah yang kemudian harus di-cross check bagaimana, karena penelusuran dokumennya pada saat pengalihan hak menjadi hak milik ini berdasarkan girik pada tahun 1982,” kata Ossy.

Ia menjelaskan, berdasarkan penjelasan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid bidang-bidang tersebut ada yang masuk dalam garis pantai, ada pula yang di luar garis pantai. Penerbitan atau pengalihan hak atas area-area di luar garis pantai itulah yang dianggap cacat prosedur, cacar materiil, dan cacat administrasi.

Oleh karena itu, akan dilakukan pembatalan pemberian hak untuk area-area yang pemberian haknya dianggap cacat itu.

“Yang di luar garis pantai ini tentunya akan dilakukan proses pembatalan. Tapi karena produk dari ATR/BPN merupakan produk hukum, (tindak lanjut) yang dilakukan jangan ada gugatan-gugatan terhadap apa yang kita lakukan. Jadi harus clean and clear bahwa pembatalan itu memang bisa kita lakukan,” sebut Ossy.

HGB dan SHM itu diakui diterbitkan pada medio tahun 2023. Ketika ditanya siapa yang menerbitkan, Ossy menjawab kewenangan untuk itu ada pada Kantor Pertanahan di tingkat kabupaten/kota, dalam hal ini Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang, bukan pusat. Jadi Kementerian ATR/BPN tidak tahu-menahu soal penerbitan atau pengalihan hak atas bidang tanah laut di utara Tangeran tersebut.

Meski fakta menunjukkan ada SHM dan HGB yang sudah diterbitkan untuk area perairan itu, Ossy dengan tegas mengatakan hal itu sebagai sesuatu yang tidak lazim. Tidak ada cerita area laut bisa disertifikatkan kecuali untuk hal-hal tertentu.

“Beberapa case yang mungkin apabila dulu daratan lalu mengalami abrasi menjadi berkurang tanah itu atau tanah itu hilang (area laut bisa memiliki sertifikat). Ini lazim terjadi, ini adalah faktor dari alam. Tapi kalau itu (kasus Tangerang), setelah kita cek dari tahun 1982 bentuknya adalah laut, secara nyata itu cacat prosedur, cacat materiil, dan juga cacat secara hukum,” ungkap Ossy.

Kementerian belum tahu pasti siapa yang patut dipersalahkan atas penerbitan sertifikat laut ini, yang pasti pihaknya akan melakukan investigasi lebih lanjut terhadap Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang. Menteri Nusron pun mengatakan akan mendalami keterangan dar 4 pihak lain: juru ukur, Kepala Seksi Pertanahan Pengukuran, Kepala Seksi Penetapan, dan Kepala Kantor Pertanahan.

Sempat ada sekelompok nelayan di daerah tersebut yang mengklaim pagar bambu sepanjang puluhan kilometer itu merupakan hal yang mereka buat secara swadaya untuk mengurangi risiko terjadinya abrasi.

Terkait itu, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Daniel Johan nampak sulit untuk bisa mempercayainya. Pertama, kemampuan ekonomi masyarakat nelayan bisa dikatakan relatif rendah. Daniel menyebut, jangankan untuk memagar laut, untuk membeli solar agar bisa kembali melaut saja nelayan terkadang masih kesulitan.

Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk membeli bambu yang ditanamkan ke laut seperti itu. Tidak bisa diterima akal sehat apabila proyek itu diinisiasi oleh kelompok nelayan. Itu baru masalah harga bambu, belum lagi pemasangannya yang pasti sulit.

“Kami ini kalau kampanye kan masang bendera pakai bambu juga, sama kan. Masang darat aja lumayan sulit tuh, apalagi di laut, jauh lebih sulit, berpuluh kali lebih sulit. Apalagi (panjang bambu yang digunakan) bisa sampai 4 meter. Bambu yang 4 meter itu mahal, ini sampai 30 kilo. Jadi saya rasa, wah…” ujar Daniel.

Sekalipun masyarakat nelayan mengerjakannya secara kolektf, gotong-royong, iuran, dan sebagainya, Daniel merasa hal itu tetap mustahil. Jangankan nelayan memagar dengan tujuan menahan abrasi, kelompok pengusaha dengan tujuan bisnis pun akan berhitung terlebih dahulu bagaimana potensi keuntungan yang bisa didapat, sebelum akhirnya mau memagari laut dengan bambu yang tentu membutuhkan biaya hingga belasan miliaran rupiah seperti itu.

Hal serupa juga dikatakan oleh Asisten Operasi KSAL Laksamana Muda TNI Yayan Sofiyan. Logika mengatakan kondisi ekonomi nelayan yang tergolong rendah tidak mungkin mampu membuat pagar laut sepanjang itu.

“Jangankan untuk memberikan pagar sedemikian panjang, untuk makan saja mungkin terbatas,” kata Yayan.

Dari kiri ke kanan: Zenzi Suhadi, Yayan Sofiyan, BDM, Adi Prayitno, dan Ossy Dermawan.

Selain belum diketahui siapa pemiliknya, peruntukan dipasangnya pagar laut ini juga masih tidak diketahui persis. Namun, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi menduga kuat bahkan memastikan tujuan pembuatan pagar laut itu berkaitan dengan proyek reklamasi.

Bagi Walhi, bicara reklamasi berarti bicara soal potensi penambangan pasir secara besar-besaran di wilayah lain demi mengurug laut di utara Tangerang menjadi daratan baru. Ini adalah hal serius yang juga perlu didiskusikan, selain topok soal pagar laut itu sendiri.

Untuk itu, ia menyarankan agar Presiden Prabowo segera membentuk satuan tugas (satgas) yang melibatkan seluruh kementerian juga institusi penegak hukum.

“Kalau itu tidak dibuat, kita tidak akan sampai kepada siapa yang punya perencanaan ini. Kalau kita tidak sampai kepada siapa yang merencanakan ini, ini artinya negara dikerjai sama pengusaha,” ujar Zenzi.

Satgas yang ia maksud nantinya bisa terdiri dari Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), juga Kejaksaan Agung, Polri, dan TNI AL.

Multi lembaga dan kementerian seperti itu adalah keharusan demi bisa menegakkan hukum. Zenzi menganggap, jika satgas hanya diisi oleh satu kementerian saja, misalnya KKP saja, maka satgas itu tidak akan bisa menegakkan hukum pada dirinya sendiri. Perlu pihak lain untuk saling melakukan check and balancies.

Jika pengusutan dan penindakan tegas terhadap proyek-proyek misterius semacam ini tidak dilakukan sejak sekarang, Zenzi khawatir akan berdampak buruk terhadap konfigurasi wilayah Indonesia di masa-masa yang akan datang.

“Kalau ini tidak dilakukan penegakan hukum kepada akarnya, saya berkeyakinan di masa depan peta Indonesia itu akan berubah, bisa luas (di satu titik), bisa berkurang di titik lain. Artinya ada wilayah, ada ruang yang seharusnya tidak boleh direncanakan, diganggu gugat oleh pengusaha, (tapi) dilakukan,” sebutnya.

Ia menjelaskan ada 3 ruang atau aspek yang tidak boleh diganggu oleh pengusaha: warga negara, pemerintah, dan wilayah. Ketiganya merupakan marwah suatu negara. Jika salah satunya bisa diganggu, maka tercoreng lah marwah negara tersebut.

Zenzi meyakini, ada kongkalikong antara pengusaha dan pemegang kewenangan sebelumnya hingga akhirnya pagar laut ini bisa ada dan area di sekitarnya memiliki sertifikat. Tidak mungkin pengusaha menggelontorkan uang besar jika izinnya belum didapat.

Sepakat dengan asumsi itu, Pengamat Politik Adi Prayitno juga mencium adanya main mata antara pengusaha dan oknum-oknum penguasa sebelumnya. Sekaya apapun pengusaha, mereka tidak mungkin melakukan eksplorasi apapun di wilayah suatu negara tanpa ada “restu” dari pemerintah.

Dalam buku Vedi R Hadiz dan Richar Robinson ada istilah “kapitalisme negara”. Artinya, negara dalam hal ini pejabat-pejabat di dalamnya mengeluarkan sertifikat atau memberikan hak tertentu pada pihak pengusaha demi kepentingan insentif ekonomi.

“Makanya Vedi Hadiz itu mengeluarkan ada satu teori yang disebut dengan koalisi politik birokrasi predatori, artinya politisi dan oknum-oknum kekuatan negara ini semacam predator yang merugikan dan merongrong negara, yang saya kira harus ditindak ke depan,” papar Adi.

Satu Meja The Forum KompasTV, Rabu (22/1/2025) dengan tema “Ribut-Ribut Pagar Laut”.

Menanggapi dugaan adanya main mata antara pengusaha dan pemerintah sebelumnya, Ossy Dermawan menyatakan pihak Kementerian ATR/BPN akan memeriksa lebih lanjut, karena setiap pemberian hak atas tanah pasti ada dokumen atau berkas yang diberikan.

“Tentu perlu kita duga bahwa ini semua ada kekeliruan di sini. Itulah mengapa Pak Menteri Nusron menyampaikan pagi ini bahwa arahnya adalah akan dilakukan pembatalan,” kata Ossy.

Selain itu, Kementerian juga sudah melakukan upaya-upaya yang bisa dilakukan, salah satunya mengumumkan secara terbuka siapa saja nama-nama pemegang sertifikat tanah di area laut yang kini menjadi permasalahan itu.

DPR pun berharap pemerintah dan aparat harus segera menindaklanjuti informasi yang sudah disampaikan Kementerian ATR/BPN terkait nama-nama pemilik hak itu. Daniel berharap para pemilik harus dipanggul, ditanya siapa yang memasang, apa keterlibatannya, dan sebagainya.

“Apa hubungannya antara pagar laut dengan HGB dan SHM yang sudah terbit. Semua proses itu harus segera dilakukan, diungkap kepada masyarakat, dan juga ada tindakan hukum yang tegas. Karena kalau enggak, ini akan terus berulang dan Indonesia seakan-akan menjadi negara yang tidak punya wibawa di hadapan pengusaha-pengusaha besar, karena semuanya bisa diatur,” jawab Daniel.

Membentuk satgas sebagaimana diusulkan Zenzi sebelumnya bisa menjadi salah satu langkah yang baik untuk dilakukan. Yang pasti apapun itu, masalahh ini harus benar-benar diusut tuntas.

“Karena ini persoalan pelanggaran, bagi kami pelanggaran serius, karena ada produk-produk hukum, pelanggaran undang-undang yang cukup berlapis,” pungkasnya.

BDM bersama seluruh narasumber yang hadir di studio. Dari kiri ke kanan: Zenzi Suhadi, BDM, Yayan Sofiyan, Adi Prayitno, dan Ossy Dermawan.

Hal lain, Adi Prayitno juga menyorot adanya perbedaan respon institusi pemerintah dalam menyikapi berita adanya pagar laut di utara Tangerang, Banten ini. Sebelum Presiden Prabowo menginstruksikan membongkar pagar-pagar laut itu, kementerian dan pihak-pihak terkait terkesan gagap. Itu mengesankan bahwa pengusaha, korporasi, dan pemilik modal ada di atas negara.

“Saya membayangkan ada korporasi kuat sehingga dia bisa mendikte bagaimana kepentingan ekonomi politiknya di wilayah-wilayah tertentu, termasuk di Kabupaten Tangerang,” sebut dia.

Namun, setelah instruksi Presiden turun, semua lini bertindak tegas. Pagar laut disegel, dibongkar, tapi pemilik dari pagar laut itu tak buka suara, misalnya untuk memprotes mengapa properti mereka dihancurkan padahal sudah bersertifikat resmi, dan sebagainya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *