Membawa “Mimpi Indonesia” di Nasdem Tower

Budiman Tanuredjo

Auditorium Panglima Itam, Nasdem Tower, Kamis, 16 Januari 2025, itu penuh. Sejumlah tokoh senior Nasdem tampak hadir seperti AGK Manila, Wakil Ketua MPR Lelly Moerdijat, Sekjen Nasdem Hermawi Taslim, Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya. Mereka menghadiri diskusi buku saya, Mimpi tentang Indonesia 2. Peserta yang mengikuti bedah buku lewat zoom juga penuh. Beberapa orang mengaku sudah kehabisan kuota.

Untuk kedua kalinya saya menghadiri diskusi buku di ruangan tersebut. Nasdem menjadi partai yang tampaknya konsisten menggelar bedah buku, membedah pemikiran orang yang dituangkan dalam buku. Partai Nasdem konsisten membangun komunitas epistem untuk menggali pemikiran yang dituangkan dalam buku. Sebelumnya saya hadir membahas buku Theology of Hope yang ditulis Komaruddin Hidayat.

Di tengah miskin literasi di negeri ini, bedah buku yang digelar Nasdem, menjadi menarik. Saya pernah menyarankan kepada Nasdem agar bedah buku yang banyak dibahas di Indonesia bisa dibahas di Gedung DPR. Sebut saja buku How Democracy Die karya David Ziblatt dan Steven Letvisky atau The Tirany of Minority atau buku The Changing World Order karya Ray Dalio. Atau buku Regresi Demokrasi yang ditulis Thomas Power dan Eva Warburton. Saya ingin mendengar respon kalangan DPR soal tren regresi demokrasi untuk membantah thesis Ziblatt dan Warburton. Agar ada keseimbangan perspektif soal situasi demokrasi di Indonesia.

Untuk Kamis 16 Januari 2025, atas undangan Hermawi Taslim saya menghadiri bedah buku saya bersama Willy Aditya dan sosiolog Universitas Negeri Surabaya Muhammad Mudzakir dengan moderator anggota DPRD Banten dari Nasdem Agus Maulana. Mimpi tentang Indonesia 2 adalah kelanjutan dari Mimpi Indonesia 1. Keduanya merupakan kumpulan wawancara saya di kanal YouTube yang kemudian saya alihkan menjadi buku. Tentunya dengan sejumlah penyesuaian.

Sampul buku Mimpi tentang Indonesia 1.

Mengapa Mimpi tentang Indonesia 1 dan 2 adalah karena memang ingin merekonstruksi mimpi-mimpi putra Indonesia ketika bangsa ini berusia seratus tahun. Dalam Mimpi Indonesia 1 terdapat nama Budiman Sudjatmiko, Bima Arya Soegiarto, Fahri Hamzah, Grace Natalie, dan Otto Hasibuan. Mereka itu masuk dalam jajaran Kabinet Merah Putih. Ada juga Todung Mulya Lubis, Mochtar Pabottingi, Sulistyowati Irianto, Luhut MP Pangaribuan, dan Sukidi Mulyadi. Ada 21 nama di buku Mimpi Indonesia 1. Adapun dalam Mimpi Indonesia 2 terdapat sembilan nama yakni Mahfud MD, Jaleswari Pramodawardhani, Andrinof Chaniago, Andar Nubowo, Ilham Habibie, Jimly Asshidiqie, Amin Sunaryadi, Hermawi Taslim dan Melki Laka Lena.

Sampul buku Mimpi tentang Indonesia 2.

Buku Mimpi tentang Indonesia dibuat untuk menggali mimpi-mimpi anak bangsa soal negeri ini. Amerika mempunyai American Dream. Konsep American Dream dipopulerkan oleh James Truslow Adams, seorang sejarawan dan penulis asal Amerika Serikat. Istilah ini muncul dalam bukunya yang berjudul The Epic of America (1931). Adams menggambarkan American Dream sebagai visi tentang sebuah masyarakat di mana setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, lebih kaya, dan lebih bermakna melalui kerja keras dan usaha.

Meskipun istilah American Dream diperkenalkan oleh Adams, gagasannya sudah ada jauh sebelumnya, tertanam dalam nilai-nilai dasar Amerika Serikat seperti yang tertuang dalam Declaration of Independence (1776). Dalam dokumen itu, Thomas Jefferson menulis bahwa “semua manusia diciptakan setara” dan berhak atas “kehidupan, kebebasan, dan pencarian kebahagiaan” (life, liberty, and the pursuit of happiness), yang kemudian menjadi landasan moral dan politik dari gagasan American Dream.

BDM dalam acara bedah buku di Nasdem Tower, Kamis (16/1/2025).

Ada empat pertanyaan pokok dan seragam yang selalu diajukan: (1) apa akar masalah bangsa ini; (2) mana negara ideal menurut Anda; (3) siapa tokoh formal/informal yang mendekati cita ideal Anda; (4) apa mimpi Anda tentang 100 tahun Indonesia. Dari obrolan dengan lebih dari 100 orang, bisa digambarkan sepuluh masalah pokok bangsa ini. Feodalisme yang berakar kuat, kemunafikan yang terlembaga, elite suka berantem, ideologi (kapitalisme) yang mengakibatkan kehancuran ekologi, dan praktik demokrasi dol-tinuku, kurangnya ruang perjumpaan di dunia real maupun virtual sehingga hidup dalam kepompong-kepompong informasi yang mempertajam polarisasi, korupsi yang merajalela, hilangnya meritokrasi, hadirnya perkoncoan, krisis keteladanan, pendidikan tanpa karakter dan value, masyarakat sipil yang terbenam dan berserak.

Sedang mimpi tentang Indonesia yang berhasil dirumuskan dengan bantuan seorang ideolog Sukidi Mulyadi yang juga saya ajak ngobrol di kanal YouTube saya, mimpi itu adalah mimpi Indonesia yang berdemokrasi (dream of democracy); mimpi Indonesia yang majemuk (dream of diversity); mimpi Indonesia yang berketuhanan (dream of divinity); mimpi Indonesia yang bergotong-royong (dream of togetherness); mimpi Indonesia yang berkebebasan (dream of freedom); mimpi Indonesia yang berkemanusiaan (dream of humanity); mimpi Indonesia yang kebersatuan (dream of unity); mimpi Indonesia yang berkeadilan (dream of justice); mimpi Indonesia yang setara (Dream of equality), dan mimpi Indonesia yang berkesejahteraan (dream of welfare).

Suasana ruangan bedah buku di Auditorium Panglima Itam, Nasdem Tower, Kamis (16/1/2025).

Lalu apa jalan keluarnya? Meski Willy Aditya menyarankan agar solusi tak perlu tergesa-gesa disampaikan, saya memikirkan keberadaan UU Kepresidenan jangan-jangan bisa menjadi solusi jangan pendek. Dalam UU Kepresidenan bisa diatur posisi presiden sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintah, Ketua Umum partai politik, dan kepala keluarga. Tanpa aturan yang jelas dan tegas, potensi konflik kepentingan di antara atribusi itu berpeluang terjadi. Dalam UU Kepresidenan juga bisa diatur posisi, relasi, dan peran mantan-mantan Presiden.

Namun masalahnya, siapa yang mau mengambil inisiatif untuk membuat RUU Kepresidenan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *