“Sebagai sebuah produk politik, hukum itu buta. Ia bisa menjerat siapa saja yang melanggar. Penegakan hukum yang ditentukan kepentingan politik sesaat bisa mengancam fondasi negara bangsa yang ditulis konstitusi. Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Rule of Law, bukan Rule by Law,”
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristianto akhirnya memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menjalani pemeriksaan selama 3,5 jam di Gedung Merah Putih pada Senin (13/1/2025).
Namun, secara mengejutkan ternyata Hasto tidak ditahan pasca pemeriksaan itu. Sebaliknya, ia justru keluar dari KPK dengan wajah tersenyum.
Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (15/1/2025), Ketua DPP PDI Perjuangan yang sekaligus menjadi tim kuasa hukum dari Hasto, Ronny Talapessy menyebut pihaknya sudah menyiapkan surat permohonan penundaan penahanan untuk berjaga-jaga jika Hasto langsung ditahan selepas menjalani pemeriksaan.
“Kami sudah siapkan surat untuk penundaan (penahanan). Pertama, karena kami sedang mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan yang kedua the worst-nya kalau terjadi penahanan kami siapkan surat penangguhan penahanan,” kata Ronny.
Surat penundaan penahanan itu dibuat dengan maksud KPK bersedia menunggu hasil praperadilan yang sedang diajukan oleh pihak Hasto terkait penetapan status tersangka yang dianggap tidak sah.
Praperadilan merupakan hak konstitusional yang diberikan bagi pihak yang tersangkut proses hukum. Dari sana dapat diketahui apakah prosedur hukum yang sudah berjalan sah atau tidak, termasuk penetapan status tersangka yang diberikan pada Hasto Kristianto oleh KPK.
Ketika ditanya apakah tidak ditahannya Hasto merupakan hasil pertimbangan hukum dari KPK atau ada lobi-lobi politik di baliknya, alih-alih menjawabnya dengan gamblang, Ronny melihat konstruksi hukum atas tuduhan keterlibatan Hasto dalam kasus Harun Masiku ini masih begitu lemah, sehingga wajar jika Hasto tidak ditahan.
“Ini kan sdah diuji di tahun 2020 di persidangan terdakwa Tio, kemudian Wahyu, kemudian di terdakwa Saiful. Dalam persidangan yang cukup lama dan terbuka di umum itu kan ada Jaksa Penuntut Umum yang dari jaksa, kemudian dari hakim, kemudian saksi-saksi. Berapa banyak itu dikonfrontir semuanya dan di dalam putusan persidangan yang sudah inkrah tidak ada satu pun bukti yang terkait (Hasto Kristianto),” jelas dia.

Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menduga ada ruang-ruang kompromi yang terjadi di balik keputusan KPK tidak menahan Hasto. KPK dalam menetapkan status tersangka pada seseorang seyogyanya sudah memiliki minimal dua alat bukti dan meyakini kekuatan bukti tersebut. KPK pun memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap pihak yang mereka yakini sebagai tersangka. Namun hal itu ternyata tidak dilakukan lembaga anti rasuah tersebut pada Hasto.
Umam menduga KPK tengah melakukan strategi mengulur waktu atau time buying strategy, khususnya terkait dengan praperadilan yang tengah diajukan tim Hasto.
“Tentu teman-teman dari tim penasihat hukum Pak Hasto mencoba untuk mengulur waktu supaya mendapatkan kepastian dari praperadilan, karena praperadilan itu akan menjadi sebuah ketetapan hukum yang bisa menyelamatkan muka politik baik PDIP, maupun presiden, nah dalam konteks ini KPK,” ujar Umam.
Sementara itu, dari sisi PDI Perjuangan ruang negosiasi terjadi dengan partai itu memosisikan diri sebagai mitra strategis pemerintah. Artinya PDI Perjuangan bukanlah partai koalisi maupun oposisi dari rezim yang saat ini berkuasa.
“Ada sebuah ruang negosiasi kepentingan di sana yang tampaknya mencoba untuk merekalkulasi, karena selama ini kalau PDIP berada di oposisi dia sangat firm, sangat kuat. Kalau ada reposisi mitra strategis, maka ini sebuah indikasi awal akan terjadi oposisi setengah hati. Artinya dalam proses pengawasan check and balances akan dinegosiasikan berdasarkan pada kalkulasi kepentingan,” jelas Umam.
Pakar Hukum Pidana Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting menyorot soal praperadilan yang akan menjadi pertaruhan kredibilitas KPK dalam penetapan tersangka korupsi. Jika praperadilan memenangkan pihak Hasto dan menyatakan penetapan tersangka yang dikenakan padanya tidak sah, maka KPK harus menanggung malu.
Sementara terkait keputusan KPK yang tidak langsung menahan Hasto dengan alasan ingin menambah alat bukti, Jamin Ginting melihatnya sebagai sesuatu yang tidak logis.
“KPK ini di waktu mereka menetapkan seseorang sebagai tersangka itu sudah firm alat buktinya, firm kejadiannya. Dan memang keunikan KPK di undang-undang KPK itu begitu penyidikan dimulai (pihak yang disidik) langsung tersangka, karena di penyelidikan buktinya sudah lengkap semua,” sebut Jamin.
“Enggak perlu lagi alat bukti (tambahan), di KPK itu karena (alat bukti) sudah ada sebelumnya (di proses penyelidikan), jadi pada umumnya sudah langsung bisa ditahan,” lanjut dia.
Jamin pun mempertanyakan alasan KPK tidak langsung melakukan penahanan terhadap Hasto. Ia menduga ada faktor politik di satu sisi, namun di sisi yang lain juga ada keraguan dari pihak penyidik. Keraguan yang ia maksudkan adalah terkait penetapan pasal suap dan perintangan penyidikan yang diberikan penyidik pada Hasto.
Pasal terkait suap merupakan pasal yang mensyaratkan harus ditemukan pihak penyuap dan penerima suap. Pasal ini biasanya dikenakan pada giat Operasi Tangkap Tangan (OTT). Jika di luar itu, maka suap harus dibuktikan dengan adanya bukti transfer elektronik yang menunjukkan adanya aliran uang, kemudian kapan dan dimana terjadinya, harus ada saksi yang benar-benar melihat kegiatan tersebut beserta uang yang dialirkan.
“Ini kan enggak pernah ada ditemukan. Kalau kita melihat Harun Masiku diusahakan menggantikan seseorang yang bukan haknya (dalam Pileg 2019), lalu Mas Hasto kasih uang ke KPU, pertanyaannya Harun Masiku saja belum pernah diperiksa, urusan apa dia sampai dibantu oleh Mas Hasto? Jadi kasusnya Masiku ini harusnya terlebih dahulu diselidiki, lalu dia diperiksa. Diperiksa bukan untuk kasus dia ya, diperiksa untuk kasusnya Pak Hasto itu. Tapi sepanjang dia belum pernah diperiksa, sulit pembuktiannya,” ungkap Jamin.

Menyikapi pernyataan Jamin Ginting soal adanya potensi faktor deal politik di balik penetapan KPK untuk tidak menahan Hasto, Connie Rahakundini Bakrie selaku sahabat Hasto menganggap faktor itu tidak bisa diperhitungkan.
Pertama, Hasto bukan seorang pejabat negara. Kedua, uang yang digunakan untuk menyuap Wahyu Setiawan bukanlah uang negara yang kemudian mendatangkan kerugian bagi negara.
Baginya, kasus Hasto ini murni kasus politik.
“Kasus ini adalah murni menurut saya murni politik, karena jangan lupa di tengah bulan Desember itu terjadi hal-hal besar, pemecatan Jokowi sebagai anggota dan lain-lain,” kata Connie yang terhubung melalui sambungan komunikasi video.
Uang suap yang dipermasalahkan dalam kasus Hasto menurut Connie adalah jumlah yang kecil, kasusnya pun disebit Megawati sebagai kasus yang remeh, namun sekali kasus ini diangkat dampaknya bisa menjalar kemana-mana. Hal ini mengingat latar belakang hubungan buruk PDI P dengan penguasa sebelumnya, yakni Joko Widodo yang eksistensinya masih terasa di era kepemimpinan Presiden Prabowo saat ini.
“Bukan karena Mas Hasto itu apa, tapi karena melihat ini dampaknya bisa ke mana-mana. Masyarakat ini enggak bodoh, mereka akan lihat berapa sih uang yang diributkan tentang Pak Hasto. Tapi banyak sekali yang sudah dilaporkan oleh kawan-kawan kita, Ubedillah misalnya 2 tahun lalu (melapor pada KPK) tentang bagaimana dugaan seorang saudara Joko Widodo melakukan banyak sekali pelanggaran dan korupsi. Itu kan enggak cuma uang, korupsi kebijakan dan lain sebagainya,” jelas Connie.
Jamin menyambung, Indonesia adalah negara hukum yang unik. Di negeri ini bukan hal baru tiba-tiba ada sebuah kasus hukum yang berhenti atau dihentikan. Sebaliknya, ada hal yang semestinya bukan merupakan kasus, justru dikasuskan.
Ya, kasus Hasto adalah kasus receh, kasus kecil, masih banyak kasus lain yang lebih besar yang semestinya lebih menjadi prioritas bagi KPK untuk dikejar dan diselesaikan. Meski kecil, Jamin tak lantas menganggapnya sepele. Pelanggaran tetaplah pelanggaran.
“Oh iya pasti pelanggaran, cuma masalahnya kalau kita ini kan nuansa politiknya lebih kental daripada hukumnya. Walaupun tetap kita hormati, kedudukan hukum harus tetap kita jaga. Jangan hukum jadikan sebagai alat untuk bernegosiasi,” kata Jamin.
Nama Hasto kembali disebut-sebut terkait kasus suap yang dilakukan Harun Masiku terhadap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan pada 2019. Dan saat ini status Hasto sudah menjadi tersangka karena disebut turut menyiapkan uang suap dan menghalangi penyidikan atau obstruction of justice terhadap Harun Masiku yang hingga kini masih buron.
Kasus Hasto menimbulkan spekulasi tersendiri di tengah publik, karena banyak yang menganggap kepentingan politik dalam kasus ini jauh lebih kental daripada kepentingan hukumnya. Terlebih, kasus lama ini kembali naik ke permukaan tak lama selang PDI Perjuangan melakukan pemecatan terhadap puluhan kadernya, termasuk Presiden ke-7 Joko Widodo, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, dan Gubernur Sumatera Utara terpilih Bobby Nasution.
Leave a Reply