Ketika Kekuasaan Menguasai Negara Hukum Indonesia…

“Indonesia adalah negara hukum, tapi bukan negara kekuasaan semata. Jadi itu sudah dikatakan semata. Kekuasaan ada tapi tidak semata harusnya. Beda, bahwa kekuasaan itu ada batasan dan pengaturannya lewat hukum…”

– Yenti Garnasih, Pakar Hukum TPPU

Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia memiliki seperangkat aturan hukum yang mengikat bagi seluruh orang yang ada di wilayahnya, seluruhnya, tanpa terkecuali. Dengan demikian, setiap ada orang, siapapun itu, yang melakukan kesalahan, melanggar hukum, maka konsekuensi hukum akan ia terima.

Namun, bukan hal yang luar biasa jika di hari ini jika ada segelintir orang yang terkesan kebal hukum, ada pihak yang dengan uang dan kekuasaan bisa melenggang tenang saat jelas-jelas telah melakukan satu bahkan banyak pelanggaran. Hukum seolah tak kuat menembus kuatnya tembok kekuasaan.

Jika demikian, masihkah negara hukum berdaulat di Indonesia? Ataukah negeri ini sudah berubah menjadi negara kekuasaan?

Budiman Tanuredjo bersama Pakar Hukum di bidang Tindak Pidana Pencuciann Uang (TPPU) Dr. Yenti Garnasih, SH., MH membahasnya dalam perbincangan di podcast Back to BDM.

Di awal pembahasan, dengan jelas Yenti mengatakan Indonesia saat ini sudah menjadi negara yang kekuatan tertingginya dimiliki oleh kekuasaan atau politik, bukan hukum.

“Ya kalau saya si mohon maaf saja, supermasi politik jadinya. Semuanya yang jadi penting politiknya. Mereka enggak mengingat bahwa berpolitik itu dinamika hukum sebetulnya, misalnya untuk jadi kepala daerah harus bagaimana, syarat ini. Syarat kan hukum. Jadi hukum itu hanya dianggap penting ketika memang dibutuhkan untuk kepentingan orang-orang politik,” kata Yenti.

Politik kekuasaan telah menabrak semua batas-batas hukum yang semestinya dihormati dan dijunjung tinggi. Jika berhadapan dengan politik, hukum seakan kehilangan kedigdayaannya, hukum lunglai dan mudah ditekuk-tekuk. Secara konstitusi, Indonesia masih merupakan negara hukum. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan negara ini tak lebih dari negara kekuasaan.

Baik masyarakat umum maupun para pejabat tinggi, kini semakin jauh dari adab dan etika. Pemahaman akan salah dan benar semakin kabur. Padahal Yenti berharap, setiap dari kita bisa fasih membedakan mana yang baik dan benar untuk dilakukan, sebaliknya, mana yang salah dan tidak baik untuk dilakukan. Bukan sekadar pada sesuatu yang diatur secara tertulis dalam bentuk hukum, tapi juga segala sesuatu yang tidak tertulis, seperti norma dan nilai.

“Kalau kita mau negara ini menjadi negara yang punya mimpi bagus di masa depan, orang tidak melakukan pelanggaran hukum termasuk pidana itu bukan karena melihat hukumnya ada enggak, tertulis enggak. Hukum yang tidak tertulis, ada norma agama, ada norma kesusilaan, norma kepatutan, itu harusnya maju dulu, jadi enggak usah ke pengadilan kita sudah tahu (salah dan benar),” ujar perempuan berusia 65 tahun itu.

Tapi apa yang terjadi sekarang, jangankan melanggar aturan tak tertulis, terbukti melanggar aturan hukum yang tertulis saja masih bisa terbebas dari konsekuensi yang semestinya.

Berkaca pada sejumlah kejadian, salah satunya putusan kontroversial soal batas usia calon presiden di Mahkamah Agung beberapa waktu lalu, dimana aturan bisa diubah sesuai dengan “pesanan” kekuasaan. Benarkah kehendak hukum di Indonesia ditentukan oleh arah kehendak kekuasaan?

Yenti tidak bisa mengatakan tidak, hukum di Indonesia memang sudah sedemikian rusaknya. Kekuasaan menjadi komando bagaimana hukum harus mengatur.

“Kan aturan gini, Indonesia adalah negara hukum, tapi bukan negara kekuasaan semata. Jadi itu sudah dikatakan semata. Kekuasaan ada, tapi tidak semata. Beda, kekuasaan itu ada batasan dan pengaturannya lewat hukum,” sebut Yenti.

Pakar Hukum TPPU, Yenti Garnasih dalam podcast Back to BDM.

Pengaturan itu utamanya terdapat pada UUD 1945 dan Pancasila. Misalnya sila ke-4 Pancasila menyatakan bahwa kepemimpinan dilakukan atas dasar musyawarah mufakat. Tapi musyawarah mufakat itu nampak mulai dinomorsekiankan dalam memutuskan suatu keputusan. Begitu juga dengan sila pertama yang membicarakan ketuhanan, semestinya semua akan berfikir takut melakukan kesalahan, takut berbuat dosa, karena ada Tuhan di atas segalanya.

“Menurut saya yang menafsirkan sekarang ini yang mau mencoba-coba menafikan, ada kekuasaan, sematanya dihilangkan. Hukum itu enggak ada, yang ada kekuasaan. Saya yakin (Indonesia) akan hancur (jika terus dikuasai kekuasaan),” ungkap mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan ini.

Yenti mengambil contoh bagaimana negara sekuat Uni Soviet bisa pecah. Lalu ada Yugoslavia. Kita harus benar-benar berhati-hati agar kejadian serupa tak menimpa Indonesia. Jika kondisi seperti sekarang tidak kunjung diperbaiki, maka kehancuran adalah hal yang niscaya terjadi di negara ini.

Indonesia adalah negara yang didiami oleh kelompok masyarakat yang begitu heterogen, terdapat banyak suku dan agama yang tinggal di bawah naungan Indonesia. Semua itu sangat sensitif dan harus benar-benar dijaga dengan cara saling menghormati.

“Kalau kita tidak pelihara, tidak suburkan itu, saya pikir kita jangan terlena bahwa itu (kehancuran) mustahil terjadi di Indonesia,” sebut Yenti.

Yenti Garnasih dalam podcast Back to BDM.

Yang juga perlu diwaspadai sebagai potensi pecahnya negara adalah permasalahan KKN, kesenjangan ekstrem antar satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain. Kemudian ada wilayah-wilayah terluar yang berbatasan dengan negara lain memiliki potensi untuk dicaplok, sehingga bisa memunculkan disintegrasi wilayah.

“Itu sangat mudah kalau kita tidak bersatu dan tidak mempunyai semangat yang sama bahwa lebih penting adalah persatuan, kesatuan, dan kesejahteraan yang tentu saja kembali kepada bahwa negara ini negara hukum, bukan politik semata, bukan kekuasaan semata, dan kita bukan kerajaan juga,” tegas Yenti.

Belum selesai, ada juga persoalan eksploitasi sumber daya alam yang hasilnya tidak dinikmati oleh masyarakat kota, melainkan oleh pihak eksternal, seperti oligark, bahkan pihak asing.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka kerusakan alam dan kemelatan hidup yang akan tersisa bagi Indonesia dan masyarakatnya. Sementara hasil kekayaan yang semestinya bisa mensejahterakan masyarakat justru dinikmati oleh pihak lain.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *