Budiman Tanuredjo
Kamis pagi, 19 Desember 2024, esai Sukidi di Harian Kompas kembali viral. Judulnya “Merawat Suara Kebenaran.” Esai itu didistribusikan oleh sejumlah elite di Indonesia. Ada Mahfud MD yang memposting ulang esai itu di akun X Mahfud MD. Begitu juga Ganjar Pranowo dan Butet Kartarajasa di akun Facebook.
Ganjar mencuit, “Pagi-pagi Mas Sukidi sudah membangunkan kita dari tidur. Semoga panjenengan bregas waras.” Mahfud menulis, “Bersikap netral atas ketidakadilan dan tidak berani meluruskan kekeliruan penguasa adalah ketidakadilan dan kezaliman dalam berbangsa dan bernegara. Itulah pemahaman saya atas tulisan Sukidi di Harian Kompas.” “Tulisan yang dalam banget,” cuit Nong Darol Mahmada.
Melalui akun Facebooknya, Butet menulis. “Yang tersirat. Membaca sebuah esai bukan hanya membaca yang tersurat. Justru – yang utama – membaca yang tersirat. Kita harus menggunakan kecerdasan membaca yang tersembunyi di balik susunan kata-kata. Ada pesan penting yang ngumpet. Meskipun tidak menyebut nama tetapi tetap mudah dipahami siapa yang disasar,” tulis Butet sambil menampilkan foto dirinya bersama Sukidi dan Hamid Basyaib.

Saya ngobrol dengan Sukidi. Ia menceritakan banyak reaksi atas tulisannya yang dikirmkan ke WA pribadinya. Saya cukup mengenal Sukidi. Ia adalah sosok yang sangat menjaga kualitas intelektualnya. Ia memilih dan memilah dimana ia harus menulis esai di Tempo dan di Kompas. Ia tak mau melayani permintaan wawancara yang sifatnya “day to day politics.” Ia lebih memilih menjadi penjaga moralitas bangsa dan etika bangsa. Beruntung saya pernah mengundangnya di kanal Yotube saya dan beberapa kali di program Satu Meja The Forum Kompas TV.

Untuk urusan etika dan moralitasnya, sikap Sukidi: hitam atau putih. Tidak ada posisi “in between” atau netral, seperti dikutipnya dari Desmond Tutu, Peraih Nobel Perdamaian 1984, “Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, Anda telah memilih pihak penindas, otoriter, tiran dan fasis.”
Di tengah budaya pamer di media sosial, Sukidi adalah mahluk tidak bermedsos. Jika ia mendapatrkan reaksi di medsos atas tulisan, ia banyak menerima kiriman dari kolega yang mengirimkan tautan medsos ke WhatsApp pribadinya. Obrolan saya dengan Sukidi tak pernah lepas sisi moralitas bangsa, moralitas elite negeri ini. Namun yang menjadi pusat kegalauannya adalah kemiskinan akut yang melanda negeri ini. “Banyak kelas menengah ke bawah yang terjerat pinjol.”
Di balik sikap kesederhanaannya, Sukidi begitu ringan berbagi kepada mereka, orang-orang miskin yang diajaknya bicara.
Saya meminta izin Sukidi untuk memuat esai utuhnya untuk memperkaya website saya backtobdm.com. Dan Sukidi mengizinkannya. Berikut artikel Sukidi yang saya muat utuh tanpa penyuntingan apapun.
Merawat Suara Kebenaran
Sukidi
Pemikir Kebinekaan
Di tengah iklim ketakutan yang diciptakan, harus ada di antara kita yang terpanggil untuk menyalakan sinar kebenaran di tengah kegelapan. Panggilan moral untuk berpihak pada kebenaran. Kepada mereka yang bersikap netral dan bergaya hidup dalam zona nyaman, simaklah petuah Desmon Tutu, peraih Nobel Perdamaian 1984: “Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, Anda telah memilih pihak penindas,—otoriter, tiran, dan fasis.
Kita tak sepantasnya bersikap netral di tengah ketidakadilan. Ketika praktik ketidakadilan meluas dan politik tipu muslihat merusak sendi utama tatanan moral republik, kita harus menjadi warga negara yang terlibat secara aktif (engaged citizens) dalam menyuarakan kebenaran dengan keberanian. Sebab, jika tak satu pun di antara kita berani bersuara benar di tengah gelap, maka kita semua akan hidup di bawah tirani kekuasaan dalam era post-truth.
Agar bangsa ini keluar dari kegelapan tirani kekuasaan, mari kita menyuarakan cahaya kebenaran dalam politik di era post-truth. Suatu era yang membahayakan keberlangsungan republik demokratis yang bersendikan pada keutamaan publik (public virtue). Sebab, “post-truth adalah pra-fasisme,” kata Timothy Snyder dalam On Tyranny (2017) untuk mengingatkan kita tentang bahaya post-truth yang justru merestorasi sikap fasis terhadap kebenaran.
Kaum fasis memang membunuh kebenaran demi berhala kekuasaan. Setelah kebenaran dibunuh dan tatanan moral dihancurkan, mereka mempraktikkan kultur kebohongan sebagai bentuk kewajaran dalam realisme kekuasaan. Kebohongan dalam politik dinormalisasikan sebagai strategi permainan jahat untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Tragisnya, banyak di antara kita terbuai dengan godaan kekuasaan yang memabukkan dan bahkan dengan “berhala uang”—the idolatry of money, kata Paus Fransiskusdalam seruan apostolik Evangelii Gaudium (2013).
Mereka yang berkuasa dan berlimpah uang dipuja-puji, sementara mereka yang lemah dan miskin dihardik. Inilah penyebab kerusakan sentimen moral bangsa kita. Sebab, kata teolog Pencerahan Skotlandia Adam Smith dalam Theory of Moral Sentiments (1759), “kebiasaan untuk mengagumi, dan hampir memuja, orang-orang kaya dan berkuasa, dan pada saat yang bersamaan, meremehkan atau, paling tidak, mengabaikan orang-orang yang miskin dan berkondisi lemah, merupakan penyebab terbesar dan paling universal dari kerusakan sentimen moral kita.”
Krisis sentimen moral menjangkiti hampir sebagian besar kita yang melibatkan diri tanpa rasa malu pada pragmatisme dan oportunisme politik dengan sikap hidup yang menjilat orang-orang berkuasa, dan pada saat yang bersamaan, mengabaikan kondisi orang lemah miskin. Yang lebih memprihatinkan, orang lemah miskin dihardik dengan politik uang dan dieksploitasi untuk kepentingan politik elektoral semata.
Di tengah kegelapan moral, Rama Yusup Bilyarta Mangunwijaya dan Kardinal Suharyo menjadi suri teladan dalam mengambil pilihan moral yang luhur: hidup bersama dan berjuang untuk “orang dina lemah miskin,” yang nasib dan masa depan hidupnya terabaikan dalam penyelenggaraan republik dengan janji keadilan dan kesejahteraan untuk semua.
Di tengah kegelapan politik, Megawati Soekarnoputri tokoh perempuan terkuat yang setiapada Pancasila dan Konstitusi sebagai pedoman kebenaran—menjadi “cahaya pelita” yang menumbuhkan kesadaran ikatan emosional yang kuat (emotional bonding) dengan kaum wong cilik. Ia meneladani tradisi kepemimpinan guru politiknya—Bung Karno—yang mencintai dan sekaligus dicintai rakyat kecil.
Di tengah kebisuan intelektual, Karlina Supelli berdiri tegak dengan mengajak kita untuk memiliki keberanian “mengungkap fakta yang tidak menyenangkan tetapi benar dan menyampaikan gagasan yang tidak populer, tetapi perlu.” Yakni, “demokrasi melemah, korupsi semakin keterlaluan, ketimpangan sosial-ekonomi ada di tingkat yang mengkhawatirkan, angka kematian ibu saat melahirkan pun masih termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara—kebanyakan karena faktor kemiskinan. Setiap dua jam, satu ibu meninggal di salah satu pelosok Indonesia” (2023).
Di tengah defisit kualitas jurnalisme yang kritis, Budiman Tanuredjo hadir sebagai salah satu pewaris sejati tradisi jurnalisme dua pendiri Kompas Gramedia: P.K. Ojong dan Jakob Oetama dengan menjadikan jurnalisme sebagai “danyang” perjuangan nilai untuk menyuarakan multiple critique kepada yang berkuasa dan membantu yang fakir miskin.
Mereka adalah warga negara yang terpanggil untuk menyalakan cahaya kebenaran dan keadilan di tengah kegelapan. Mari kita bersuara jujur dan benar agar republik ini dipandu dengan keutamaan publik, bukan dengan dusta. Dalam cerita pendek “Sumur Lebak Ayah” yang dihimpun dalam antologi “Lelaki dari Neraka” (2024), Eep Saefulloh Fatah mengutip doa Mahatma Gandhi. Sebuah doa yang layak kita amini hari-hari ini. “Ya Tuhan, bimbinglah aku dari dusta menuju kebenaran, dari kegelapan menuju cahaya, dari kematian menuju keabadian.” Semoga cahaya kebenaran menerangi kegelapan bangsa. ***
Leave a Reply