“Salah satu kemewahan rakyat yang masih tersisa pasca reformasi adalah memilih sendiri pemimpinnya mahalnya biaya demokrasi itu tak sepantasnya dilakukan dengan mencabut daulat rakyat menjadi daulat elit itu bakal sangat menyakitkan,”
Pelaksanaan Pilkada di Indonesia selama ini dinilai menelan biaya yang besar, Presiden Prabowo bahkan menyampaikan usulan pemilihan kepala daerah diserahkan saja pada DPRD, demi efisiensi.
“Menurut saya, kita harus perbaiki sistem kita dan kita tidak boleh malu untuk mengakui bahwa kemungkinan sistem ini terlalu mahal. Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India. Sekali milih anggota DPR/DPRD, ya sudah DPRD itulah milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo dalam pidatonya di acara HUT Golkar ke 60.
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia sebagai negara dengan kondisi geografis yang luas dan jumlah penduduk yang besar membuat pesta demokrasi membutuhkan ongkos tak sedikit.
Namun, bagaimana jika hak daulat rakyat untuk memilih pemimpinnya dicerabut demi efisiensi anggaran? Memungkinkan atau tidak kah usulan Presiden tersebut?
Sejumlah tokoh menyampaikan pendapatnya terkait opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukan rakyat, saat hadir menjadi narasumber dalam dialog di program Satu Meja The Forum Kompas TV (18/12/2024) yang mengangkat tema “Pilkada Langsung Dievaluasi, Asa Skenario Apa (Lagi)?”.

Ketua Badan Legislatif DPR RI dari Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia tak langsung mengartikan pidato Prabowo itu dalam arti yang sempit bahwa Pilkada langsung akan diubah menjadi perwakilan melalui anggota DPRD.
Sebaliknya, Doli menggunakan kacamata yang lebih luas dalam memaknai pesan yang disampaikan Presiden. Indonesia sudah 26 tahun memasuki masa Reformasi, 6 kali pemilu sudah digelar secara langsung, menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atas negara. Oleh karena itu, kita diharapkan sudah bisa memaknai demokrasi sebagai sesuatu yang substansial, bukan hanya prosedural.
“Demokrasi itu kan cuman instrumen penting, instrumen inti untuk menyampai kepada tujuan. Apakah demokrasi kita ini semakin mendekatkan kepada tujuan itu? Apakah pemilu yang sudah 6 kali itu membuat rakyat ini makin sejahtera, literasinya lebih bagus, atau makin brutal?” tanya Doli.
Ia tidak mengatakan bahwa Golkar setuju dengan dihapusnya pilkada langsung, namun Doli membaca Prabowo sedang mengajak kita semua menyadari bahwa ada permasalah besar dalam proses demokrasi Indonesia dan kita harus sama-sama mengevaluasi, mencari jalan keluarnya.
Jika pun harus kembali ke pemilihan melalui perwakilan seperti yang sudah pernah dilakukan Indonesia di masa lalu, maka semua itu harus melalui proses pengajian yang panjang. Tidak bisa sekonyong-konyong berubah.
“Ya enggak bisa misalnya kita hari ini mengatakan harus kembali ke sini, harus begini, itu harus dilakukan kajian yang mendalam,” ujar Doli.
Tak jauh berbeda dengan Golkar, Partai Nasdem juga tidak menutup opsi untuk implementasi pilkada melalui perwakilan DPRD. Ketua Komisi II DPR RI dari Partai Nasdem, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyebut pemilu baik dilakukan secara langsung maupun perwakilan, semua ada dasar hukumnya.
“Pasal 18 ayat 4 konstitusi itu adalah acuan dalam menentukan dipilih secara demokratis, artinya langsung, tidak langsung, itu menjadi sesuatu yang bisa menjadi pilihan kita bersama,” sebut Rifqi.
Terlepas dari itu, Komisi II akan melakukan evaluasi yang sangat serius terkait proses pilkada. Bukan hanya sistem yang akan dievaluasi, tapi juga implementasi demokrasi yang selama ini sudah berjalan, soal kultur politik, termasuk mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan oleh negara/daerah maupun kandidat yang berlaga dan partai yang mengusungnya.
“Kalau Nasdem belum menyampaikan posisi resmi partai. Saya kira akan sangat baik kalau kita selesaikan dulu tahapan ini, sekarang tahapan Pilkada masih dalam proses di Mahkamah Konstitusi,” kata Rifqi.
Menurutnya, jika proses Pilkada Serentak 2024 telah rampung, bukan hal yang sulit untuk DPR memulai kajian hingga akhirnya mengambil kesimpulan bagaimana mekanisme terbaik yang semestinya dilakukan. Perlu diketahui, Indonesia pernah menerapkan demokrasi yang beraneka, bukan hanya demokrasi langsung, tapi juga demokrasi tidak langsung dimana para pemimpin dipilih oleh elite politik yang sudah terpilih menjadi wakil rakyat.

Berbeda dengan Golkar dan Nasdem, PDI Perjuangan dengan lantang menolak opsi pilkada tidak dilakukan secara langsung. Menurutnya, kedaulatan rakyat dalam berdemokrasi adalah harga mati yang tak lagi bisa ditawar.
“Saya kira soal kedaulatan rakyat enggak perlu dikaji. Kan kita sepakat bahwa Pemilu itu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Itu enggak bisa ditawar-tawar,” tegas Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus.
Jika Presiden mengeluhkan ongkos Pilkada begitu besar dan membebani anggaran negara, maka bukan mengubah sistem pilkada yang jadi jawaban, namun cari cara bagaimana agar efisiensi bisa seoptimal mungkin dilakukan.
“Kalau persoalannya adalah mahalnya biaya Pemilu, harusnya yang kita bicarakan bagaimana membuat dia melakukan efisiensi. Apa sih unsur-unsur biaya mahal dalam anggaran kepemiluan, misalnya KPPS, misalnya terlalu banyak atau apa, kan itu dulu kita bicara. Jangan terus lompat langsung kita balik aja deh ke sana,” jelas Deddy.
Pemilu itu bukan sekadar angka, keabsahan dan legitimasi pemimpin yang dihasilkan juga penting untuk diupayakan. Legitimasi itu salah satunya bisa didapatkan melalui suara rakyat langsung yang memberikan mandatnya.
Tak hanya perwakilan partai politik, diskusi malam itu juga menghadirkan dua narasumber yang menjadi pelaku pilkada serentak kemarin, Awang Yakob Lukman calon bupati dari Kutai Kartanegara dan juga Muhammad Nur Arifin Bupati Terpilih Trenggalek.
Awang merasakan betul bagaimana pilkada di daerahnya begitu memakan biaya. Faktor utamanya adalah wilayah pemilihan yang luas.
“Dengan luas wilayah Kutai Kartanegara yang demikian luas, sehingga apapun yang kita lakukan juga akan menjadikan biaya itu menjadi lebih mahal, beda dengan kabupaten kota,” kata Awang yang terhubung melalui sambungan video.
Awang pun menyebut apa yang dikatakan Prabowo terkait pemilihan secara tidak langsung menjadi opsi yang terbaik.
“Pada prinsipnya, pemusyaaratan perwakilan seperti disampaikan Pancasila sila yang keempat itu menjadi semacam satu proses dasar pemikiran kita. Pemilihan secara langsung di DPR juga merupakan representasi yang terbaik,” sebutnya.
Lain halnya dengan pengalaman Pilkada yang dirasakan oleh Muhammad Nur Arifin di Trenggalek, Jawa Timur. Ia mengaku tak memerlukan banyak uang atau biaya tinggi untuk memenangkan pilkada. Meskipun ia mengakui setiap pertarungan politik pasti membutuhkan ongkos. Sehingga, suara rakyat baginya patut untuk dipertahankan dalam proses demokrasi.
“Saya berterima kasih ada pemilu langsung yang dipilih oleh rakyat, sehingga saya merasanya malah lebih murah, karena engak semua rakyat itu bisa dibeli loh,” ujar Gus Ipin.
Ia bisa mengatakan demikian, karena telah dua kali memenangkan Pilkada Trenggalek, 2019 dan 2024. Menurut data yang ia miliki, masih banyak masyarakat yang keputusannya tidak bisa dipengaruhi oleh uang-uang yang diberikan paslon atau tim kampanye.
“Kalau bagi saya pasti berbiaya iya, tapi kalau kamu punya kompetensi lain, itu (politik uang) jadi enggak ada pengaruhnya,” kata Gus Ipin.
Di posisi Gus Ipin sekarang yang sudah banyak mengenal elite politik, pilkada dipilih oleh DPRD mungkin terdengar menggiurkan. Namun, jika menggunakan sudut pandang sebagai rakyat, ia tidak bisa menerima usulan tersebut. Pilkada tidak langsung menurutnya hanya akan membuat jarak antara rakyat dan pemimpin yang tidak mereka kenal secara dekat.
“Pasal 1 ayat 2 dan juga pembukaan Undang-Undang kita bahwa negara Republik Indonesia berkedaulatan rakyat berdasarkan Ketuhanan dan seterusnya. Sepakat dipilih langsung oleh rakyat, karena sebagai rakyat biasa kita bonding dengan pemimpinnya. Kita pengin kenal siapa yang akan memimpin kita,” aku Gus Ipin.

Pilkada Tidak Langsung Masih Demokratis?
Sejumlah pihak menilai pilkada tidak langsung yang dipilih melalui perwakilan rakyat di DPRD masih dapat dikatakan sebagai sistem yang demokratis, karena para anggota dewan adalah hasil dari pilihan masyarakat secara langsung.
Meski masih terbilang demokratis, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti justru khawatir metode pemilihan yang demikian akan menggeser orientasi kerja para pemimpin di daerah. Bukan pada rakyat, pemimpin daerah hasil pilihan DPRD bisa jadi akan bekerja “menyenangkan” kepentingan partai politik dan para elite di dalamnya.
” Dia tidak punya orientasi melayani publik padahal kan sebenarnya kan public service harusnya, itu yang harus dikhawatirkan,” ungkap Bivitri.
Hal lain, Bivitri mengingatkan proses demokrasi langsung yang kita jalankan saat ini masih jauh dari sempurna. Anggota DPRD hasil dari pemilu pun masih bisa diperdebatkan legitimasinya, misalnya karena banyak permainan uang di dalam prosesnya.
“Jadi jangan membayangkan bahwa sistem politik kita sudah cukup baik, sehingga membuat pilihan oleh wakil itu akan lebih baik ketimbang dipilih oleh rakyat secara langsung,” tegas dosen di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Meski pendidikan politik masyarakat belum bisa dikatakan tinggi, namun dengan mereka terlibat secara langsung dalam proses demokrasi, mereka bisa menyatakan sikap pribadinya masing-masing. Misalnya dengan kalahnya kandidat yang diusung koalisi partai politik penguasa, menangnya kotak kosong, dan sebagainya.
“Jadi artinya paling tidak to some extent warga ternyata bisa bersuara melalui sistem yang dipilih langsung oleh warga. Bayangkan kalau ke DPRD, itu akan tergilas sama sekali,” ujarnya.
Pakar Pemilu Hadar Nafis Gumay melihat wacana pelaksanaan pilkada melalui perwakilan DPRD merupakan upaya praktis partai politik dan para elite untuk mencapai kemenangan.
Jika ada yang berpendapat perlu dilakukan kaji ulang terkait sistem demokrasi yang ada saat ini, menurut Hadar hal itu tidak benar.
“Sebetulnya memang kita ini pegang sistem demokrasi. Saya pikir tidak perlu dikaji lagi kalau bicara sistem, karena ini kan bicara sistem untuk kembali (pilkada) tidak langsung,” ujar Hadar.
Jika pilkada tidak langsung benar akan diwujudkan kembali, Hadar membaca akan terjadi reaksi negatif dari publik dan Presiden Prabowo tidak menghendaki adanya reaksi penolakan tersebut. Respons Presiden ini bisa dilihat dari sikap Gerindra yang membuat proses perubahan undang-undang pilkada yang memicu demonstrasi besar beberapa bulan yang lalu tidak dilanjutkan.
Terkait pidato Prabowo untuk mengembalikan pilkada ke DPRD demi menghemat anggaran, Partai Golkar menyambut baik, karena selaras dengan Komisi II DPR yang menginginkan perbaikan dalam sistem pemilu, bukan hanya pilkada, tapi juga pemilu legislatif dan presiden.
“Jadi bukan hanya sekedar pemilihan balik ke DPR atau tidak, tapi banyak lagi variabel lain yang harus kita sempurnakan dalam memperbaiki atau menyempurnakan sistem politik dan sistem demokasi kita,” ujar Doli.
Sementara itu, Deddy Sitorus memilih untuk menanti apa yang akan terjadi di hari-hari ke depan pasca pernyataan Presiden Prabowo terkait pilkada. Ia mengaku tidak bisa menebak-nebak apa yang sebenarnya dituju oleh Presiden dengan pernyataan publiknya tersebut.
“Kita enggak bisa nebak-nebak juga, oh maksud Pak Prabowo itu hanya testing the water, Pak Prabowo itu hanya mengingatkan kita. Boleh sih berpikir positif begitu, tapi kan kita punya hak untuk mencurigai apapun yang dikatakan oleh kekuasaan dan itu kewajiban kita,” ujar Deddy.
Leave a Reply