Budiman Tanuredjo
Hari Selasa, 17 Desember 2024, sebuah pesan WhatsApp masuk. Pesannya demikian: “Pak, hari ini saya naik ojek di Sudirman pukul 17.00-an. Pas bubaran kantor. Saya melihat anak-anak muda sepantaran anak-anak kita menyemut di trotoar. Dengan penuh energi mereka menggendong ransel/menenteng tas kerja berjalan ke halte Transjakarta/Stasiun MRT. Saya pandangi wajah mereka, ada yang nampaknya rindu rumah. Pucat kelelahan. Hepi karena jalan berombongan, sudah punya schedule kerjaan lain jadi cepat-cepat jalannya tak peduli dg keadaan sekelilingnya….”
“…Lalu saya ingat diskusi dialog kita Kamis lalu. Perlunya titik kumpul untuk membahas negeri ini. Sampai rumah saya langsung membaca buku baru Bapak. Tiba-tiba tak terasa mata saya menghangat dan basah. Rasanya kasihan banget sama orang-orang muda tersebut. Mereka itu capek kerja seharian, punya harapan besar akan masa depan karier, keluarga, bayar pajak, namun tak mendapat pelayan maksimal karena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mulai kronis….”
Pesan itu dikirimkan oleh sahabat saya. Ia seorang novelis. Mungkin ada beberapa orang yang menangkap suasana kebatinan seperti itu. Di tengah berbagai pameran kemewahan elite, saya membaca sejumlah berita online. “Ruang kerja Gubernur BI digeledah KPK.” Ada lagi berita ada pabrik uang palsu di Universitas Alauddin. Ada lagi berita, anak majikan toko roti melakukan kekerasan pada karyawannya.
“What’s wrong”, pikir saya. Padahal, Presiden Jokowi telah mengampanyekan Revolusi Mental selama sepuluh tahun. Apa kurang lama penanaman Revolusi Mental sehingga kurang tertanam di masyarakat. Atau, Revolusi Mental sebenarnya hanyalah gimik kampanye yang tak ada tindak lanjutnya dan lebih terfokus pada pembangunan fisik, bukan pembangunan manusia Indonesia.

Saya teringat apa yang disampaikan Guru Besar Sosiologi Ery Seda saat membahas buku saya, Mimpi Indonesia 2, dan mempertajam diksi “tintrim” yang saya pakai. Tintrim adalah kata dalam bahasa Jawa yang penuh dengan nuansa. Nuansa kecemasan, kekhawatiran, ketidakpastian, namun tetap ada harapan.
Ketua Yayasan Harkat Negeri Sudirman Said mengangkat perlunya titik kumpul. Titik kumpul bagi minoritas kreatif tercerahkan untuk duduk bersama, mengindentifikasi masalah bangsa merumuskan peta jalan, dan mempertajam agenda perubahan untuk menyelamatkan demokrasi subtansial.
Saya teringat buku Oposisi Berserak yang ditulis Anders Uhlin. Buku ini menggambarkan interaksi gerakan pro demokrasi 1960-1990-an yang berserakan. Boleh jadi, pesan buku itu relevan saat-saat ini. Ketika partai politik, kecuali PDI Perjuangan, telah kehilangan sikap kritisnya. Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) pernah tak berdaya menjadi proksi dari kekuasaan. Ketika Mahkamah Agung (MA) melewatkan momentum untuk membongkar mafia peradilan melalui pintu bekas pegawainya Zarof Ricar.
Saat ini, kelompok kelas menengah tercerahkan pun, dalam posisi berserakan. Tak ada kekuatan yang mempertemukan. Tak ada payung besar yang menyatukan. Padahal, dalam kelompok-kelompok kecil mulai menggeliat. Utan Kayu mulai aktif melakukan penyadaran publik melalui diskusi-diskusi publik, Maarif Institute – lembaga yang dibangun mewarisi semangat Buya Syaffi Maarif – juga mulai berkegiatan di kantornya. Lembaga kajian Praksis didirikan sejumlah romo-romo Serikat Jesus. Namun, lembaga lain yang selama Orde Baru pernah menjadi lokomotif demokrasi seperti YLBHI seperti kehilangan orientasi gerakan. Di gerakan anti korupsi masih mengandalkan ICW yang juga mulai sepi. Tak ada regenerasi.

Lembaga quasi negara seperti Komnas HAM seperti kehilangan progresivitasnya memperjuangkan hak asasi manusia. Suaranya hampir tak terdengar. Kemewahan birokrasi dan tawaran protokoler memang membuat mereka terlena. Sejumlah aktivis dan korban 1998 sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan dan menjadi menteri atau kepala badan. Agresivitas KPK teredam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menempatkannya dalam lingkup kekuasaan eksekutif.
Titik Kumpul menjadi mendesak di tengah ancaman ekonomi berat di tahun 2025 akibat ketidakpastian global, jatuh temponya utang luar negeri, nilai tukar rupiah yang melewati Rp16.000. Pasar saham yang terus memerah. Bahan pokok akan naik. Demokrasi Daulat rakyat teracam dikembalikan ke “Daulat elite”. Elemen berserak perlu duduk bersama, syukur-syukur bisa membuat Civil Society Summit untuk menyusun peta jalan bersama untuk Indonesia 100 tahun.
Tapi siapa yang akan mengambil prakarsa ketika Republik seperti tersandera ketidakberdayaan. Ada kecemasan berbicara, ada sikap masa bodoh. Dalam situsi tintrim seperti sekarang ini, terasa bangsa ini hilang sosok seperti Arifin Panigoro, seorang pengusaha tapi juga aktivis. Kini yang ada adalah pengusaha pada satu sisi dan aktivis pada sisi yang lain. Aktivisme akan mudah goyah dalam situasi seperti sekarang. Sudah banyak aktivis berpindah jalur untuk membangun masa depan mereka sendiri-sendiri. Tinggallah sosok seperti Petrus Haryanto, Ibu Sumarsih, Sukidi berjuang di jalur yang akan kian sepi.
Situasinya memang dilematis…
Leave a Reply