“Mereka penginnya kaya, kalau jadi Hoegeng, miskinlah. Enggak mungkin, karena rata-rata mereka pengin kaya, tidak pengin miskin seperti Pak Hoegeng yang benar-benar membangun, lepas dari korupsi,”
– Bambang Rukminto, Pengamat Kepolisian dari ISESS
Sederet permasalahan menjerat anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) beberapa tahun belakangan hingga beberapa waktu terakhir. Mulai dari kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, Tragedi Kanjuruhan, polisi tembak polisi, polisi tembak sipil, polisi bermain judi online, dan sebagainya.
Tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri pun terpantau rendah jika dibandingkan dengan institusi TNI. Mengacu hasil survei Litbang Kompas Juni 2024, tingkat kepercayaan publik terhadap Polri adalah 73,1 persen, 16,7 persen lebih rendah di bawah tingkat kepercayaan publik terhadap TNI.
Tentu banyak faktor yang memengaruhi kepercayaan publik terhadap sebuah lembaga negara. Salah satunya adalah kualitas dan integritas orang-orang yang menjadi bagian dari lembaga tersebut.
Polisi, tidak semua tentunya, namun hari-hari ini profesi itu secara umum identik sebagai profesi yang rentan dengan tindak suap dan aparat negara yang bekerja untuk masyarakat hanya jika masyarakat membayar sejumlah yang diminta.
Padahal, Indonesia pernah memiliki sosok anggota yang namanya terus harum hingga hari ini, Hoegeng Iman Santoso. Dia adalah Kapolri di era 1968-1971 yang terkenal akan integritasnya yang tinggi dan paten.
Sayangnya, sosok seperti Hoegeng sangat sulit ditemukan di tubuh Polri saat ini, bahkan Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan tidak mungkin ada lagi.
Polisi di zaman ini bekerja secara pragmatis, tidak lagi kuat dari segi ideologi sebagai aparat yang tugas utamanya mengayomi dan melayani masyarakat untuk bidang keamanan.
“Mereka penginnya kaya, kalau jadi Hoegeng, miskinlah. Enggak mungkin, karena rata-rata mereka pengin kaya, tidak pengin miskin seperti Pak Hoegeng yang benar-benar membangun, lepas dari korupsi,” ujar Bambang dalam podcast Back to BDM.

Menurutnya, menjadi polisi yang bekerja dengan lurus tak akan pernah membuat seorang anggota Polri menjadi kaya raya, hanya cukup, maksimal sedikit memiliki kelebihan. Selain gaji pokok, polisi bisa menerima penghasilan dari sumber lain, misalnya tunjangan dan pemberian masyarakat atas kinerja dan pelayanan baik yang telah diberikan.
Selain itu, penghasilan bisa juga berasal dari bagi hasil Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) SIM atau STNK.
“Ini kan ada bagi-bagi hasil (PNBP) yang juga dikelola oleh kepolisian. Dan di jabatan-jabatan tertentu juga mendapatkan bagian. Jadi kalau dikatakan sangat kaya, ya abdi negara ada standarnya. Kalau cukup, lebih, sepertinya bisa seperti itu,” jelas Bambang.
Termasuk soal aspek kejujuran sebagaimana ditemukan melekat dalam sosok polisi Hoegeng. Saat ini, sifat itu juga sulit ditemukan dalam sosok aparat masa kini. Karena itu, Polri mencoba untuk menumbuhkan semangat pada anggotanya untuk bisa bersifat jujur dengan mengadakan Hoegeng Award.
Namun, Bambang justru tidak setuju dengan program penghargaan yang mengusung nama Hoegeng tersebut. Menurutnya, itu hanya akan menurunkan marwah atau nilai baik yang dimiliki oleh Hoegeng itu sendiri.
Terlebih saat ini banyak contoh penerima penghargaan berbasis moral yang ternyata setelah itu justru melakukan pelanggaran atau hal-hal tidak terpuji lainnya.
“Sebagai sebuah upaya untuk memberikan motivasi, okelah. Tapi bukan saya tidak sepakat, menolak, tidak. Saya memberikan masukan saja kalau Hoegeng ini dilembagakan seperti itu artinya kan harus ada standarisasi, ada parameter yang jelas terkait Heogeng ini,” ujar dia.
Selain itu, sosok Hoegeng adalah seorang mantan Kapolri, sehingga jika penghargaan ini diberikan untuk anggota Polri tingkat perwira atau di bawahnya terkesan akan menurunkan nilai dari yang seharusnya dibawa.
Sebaliknya, Kapolri lah yang harus menauladani sifat-sifat Hoegeng dan mencontohkannya pada anggota atau bawahannya.
“Saya melihat ini menurunkan (nilai Hoegeng), seharusnya yang menjadi tauladan Hoegeng itu adalah kapori, bukan diberikan kepada seseorang yang lain. Karena tanpa ada ketauladanan dari pucuk pimpinan Polri, ya berat, (Hoegeng Award) Ini hanya sekedar seremonial saja, hanya sekedar ritual saja, tetapi perilaku secara umum yang dirasakan masyarakat tetap sama saja,” jelas dia.

Saat ini, Bambang melihat tidak ada keteladanan, ketegasan, yang diberikan atasan ke bawahan di jajaran kepolisian. Padalah, organisasi yang baik itu harus diawali dari sistem yang kuat dan tauladan kepemimpinan. Jika dua hal itu tidak ditemukan, berat rasanya sebuah organisasi bisa berjalan sesuai harapan masyarakat.
Untuk mendapatkan teladan kepemimpinan yang baik, Bambang menyarankan agar proses penetapan Kapolri benar-benar menjunjung tinggi asas meritokrasi.
“Pemilihan Kapolri jangan lagi hanya karena kedekatan, rekam jejaknya harus benar-benar ditelusuri dengan bagus. Mereka yang memiliki integritas, memiliki kompetensi. Kalau kompetensi intelektualitas pastilah mereka pintar, jagolah, kompetenlah. Tapi terkait dengan integritas, itu yang paling penting,” jelas Bambang.
Membangun Citra
Teman-teman di kepolisian bagi Bambang selama ini kerap berupaya membangun citra baik dengan menutup atau memberi penjelasan yang berbeda terkait perkara-perkara negatif yang terjadi di internal mereka.
Padahal, membangun citra jika hanya dilakukan dengan memberikan keterangan pers tak akan cukup. Diperlukan reputasi baik yang harus ditunjukkan dan dibuktikan kepada masyarakat.
Misalnya pada kasus Ferdy Sambo dan polisi tembak siswa di Semarang. Polri pada awalnya mencoba menjelaskan bahwa ada permasalahan pribadi yang melatarbelakangi terjadinya penembakan-penembakan itu sehingga nama institusi kepolisian tetap bersih. Namun akhirnya penjelasan-penjelasan tersebut diralat. Ada inkonsistensi di sana, akibat Polri berupaya membentuk citra.
“Citra seolah-olah baik, ditutup-tutupi kasus (Semarang). Kapolrestabes menutup-tutupi kan sebenarnya. Penembakan itu kan kasus personal, tapi diambil alih oleh Kapolrestabes, nyatakan bahwa ada tawuran, kemudian korban adalah anggota geng,” sebut Bambang.

Hal-hal semacam ini sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Jika Polri benar-benar profesional, maka sejak awal penyelidikan bisa diketahui dengan jelas siapa sesungguhnya pihak yang salah dan apa yang melatarbelakanginya. Tidak perlu menutup-nutupi demi membangun citra institusi.
“Membangun citra, seolah-olah polisi itu baik-baik saja, kerjanya sudah objektif sudah profesional. Itu saja. Sama seperti kasus Sambo, di awal kan seperti itu juga, ketika masyarakat mendesak baru semuanya terbongkar. Kalau kepolisian masih bertahan sekedar membangun citra, seolah-olah baik-baik saja, ya (permasalahan melibatkan anggota) ini akan terus beruntun,” sebut Bambang.
Perbaiki Polri
Atas semua permasalahan yang ada, Bambang berharap Presiden Prabowo dapat membuat gebrakan dengan melakukan reformasi kepemimpinan di Polri. Misalnya dengan mengganti formasi pimpinan di kepolisian. Selain itu, perlu juga dilakukan perubahan kelembagaan dan revisi Undang-Undang Kepolisian.
“Itu wajib dilakukan, harus segera dilakukan selain juga nanti ada undang-undang terkait dengan lembaga kepolisian nasional. Itu yang harus sudah dilakukan, kalau ke depan ingin membangun kepolisian yang lebih baik,” kata Bambang.
“Kalau kepolisian masih dipertahankan sebagai alat kekuasaan, ya berat. Tapi harapan saya Pak Prabowo memiliki jiwa seperti itu (mau memperbaiki Polri),” imbuhnya.
Ia berharap kepolisian bisa mewujud menjadi satu lembaga yang diisi oleh individu-individu humanis, berintegritas, dan tegak lurus terhadap aturan.
Polri bisa menjadi lembaga kepolisian yang ideal selama ada kemauan dari semua pihak, termasuk pemerintah dan DPR untuk mereformasi lembaga ini.
Leave a Reply