“Ada perubahan nilai kalau dari internal kepolisian itu yang semakin pragmatis. Jadi mereka lebih senang mendekat-dekat ke politisi karena dengan mendekat kepada politisi ini seolah ada jaminan karir,”
– Bambang Rukminto, Pengamat Kepolisian dari ISESS
Profesionalitas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kian hari kian dipertanyakan. Dalam beberapa tahun ke belakang Polri kerap dikaitkan terlibat dalam politik praktis, dengan kewenangannya bergerak “memenangkan” calon tertentu.
Misalnya dengan mengintimidasi juga memengaruhi lawan politik termasuk pendukung politik. Kepolisian memiliki wewenang yang begitu luas, mulai dari pusat hingga tingkat kecamatan. Keberadaannya di tengah masyarakat dianggap sebagai sosok yang memiliki kekuatan sehingga cukup ditakuti. Termasuk keberadaannya di dalam situasi pemilu atau pilkada.
Bahkan, akhir-akhir ini ramai istilah “parcok” alias Partai Coklat yang digunakan untuk melabeli Polri. Saking kentaranya keterlibatan oknum-oknhm lembaga negara itu dalam gelaran pesta politik di Tanah Air. Misalnya, dengan memanggil dan mengumpulkan kepala-kepala desa yang diduga dalam rangka mengarahkan suara masyarakat untuk kandidat tertentu saat berada di bilik suara.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto melihat Polri mengalami kemunduran jika merujuk perjalanannya sejak reformasi 1998.
“Ketika polisi dipisahkan dengan TNI semua masyarakat berharap bahwa kepolisian ini benar-benar menjadi aparatur negara yang tegak lurus sebagai penegak hukum yang humanis, terpisah dari militer dengan kulturnya yang keras, harapannya seperti itu. Tetapi perkembangan dinamika sosial politik ke arah sini setelah 25 tahun ini mengalami kemunduran,” kata Bambang dalam podcast Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Keterkaitan antara polisi dan politik menurut Bambang sudah ditemukan sejak era awal reformasi. Ketika itu Polri sudah dipisahkan dari TNI dan menyadari bahwa wewenangnya cukup tinggi dalam menegakkan hukum di Indonesia. Hanya saja, keterkaitan antara polisi dan politik kala itu bersifat personal dan lebih sporadis.
Sementara hari ini, hubungan antara polisi dan politik sudah terlihat jauh lebih masif. Bambang mengaku sedih melihat realita ini.
“Lima tahun terakhir ini, dan terakhir 2024 ini, sepertinya saya melihatnya semakin massif (keterlibatan polisi dalam politik) yang mengindikasikan bahwa ini bukan perselingkuhan person to person, personal kepolisian dengan politisi tunggal, tapi lebih jauh lagi, (perselingkuhan/lemahnya integritas) institusi,” ujar dia.
Memang hal yang mustahil mengharap kepolisian benar-benar steril dari perkara politik, karena pemilihan pimpinannya pun dilakukan oleh orang-orang politik di DPR. Meski begitu, harapan bisa diletakkan pada integritas seorang pimpinan Polri.
Di awal masa kemerdekaan, Indonesia memiliki Kapolri seperti Sukanto, kemudian ada pula sosok Kapolri lain yang terkenal dengan integritasnya, Hoegeng Iman Santoso.
“Di awal kepolisian ini berdiri era Sukanto itu mengalami berbagai perubahan politik, kabinet sering berubah, Perdana Menteri juga berubah, ternyata masih bisa tegak lurus pada NKRI dan sampai Bung Karno pun mengakui bahwa kepolisian ini adalah lembaga yang tidak pernah terombang-ambing pada politik,” sebut Bambang.

Baginya, adanya isu parcok saat ini menjadi alarm penting yang mengingatkan Polri bahwa mereka sudah terlibat terlampau jauh dalam politik. Segeralah berhenti dan berbenah.
Saat ini, politisi banyak yang mencoba untuk menggoda para polisi demi dibantu mendapatkan kekuasaan yang diinginkan. Sebaliknya, polisi pun gemar dekat-dekat dengan politisi demi lancar jalan karier ke depan.
“Naluri politisi itu menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, selalu menggoda-goda kan, hanya saja ketika polisinya ini tegak lurus tentunya harapannya tidak tergoda,” sebut Bambang.
“Ada perubahan nilai kalau dari internal kepolisian itu yang semakin pragmatis. Jadi mereka lebih senang mendekat-dekat ke politisi karena dengan mendekat kepada politisi ini seolah ada jaminan karir,” lanjutnya.
Sulit menemukan polisi jujur dengan integritas tinggi hari-hari ini. Nilai-nilai pragmatisme lebih dikedepankan. Mendominasinya pragmatisme di pribadi anggota kepolisian bisa ditunjukkan dengan munculnya gaya hidup hedonis para anggota beserta keluarganya. Hal lain, pungli menjadi hal yang lumrah dalam praktek pelayanan publik yang dilakukan oleh Polri. Bahkan, masyarakat sulit mendapatkan keadilan apabila tidak ada uang yang diserahkan pada polisi.
Tidak mudah membuktikan keterlibatan polisi dalam permainan politik dalam negeri. Ibarat hantu, mereka ada tapi sulit dibuktikan secara gamblang. Banyak yang memberi kesaksian bahwa ada upaya politisasi yang dilakukan oleh oknum polisi dalam Piplres maupun pilkada. Namun Bambang mengaku sulit menunjukkan buktinya.
“Berat sekali kalau masyarakat disuruh untuk membuktikan. Indikasi-indikasi itu ada. Kepolisian selama ini saya melihatnya memang selalu menyampaikan sesuatu itu normatif prosedural, tapi secara substansi (keterlibatan) ini ada. Ada tapi tidak kelihatan ada. Tapi sebenarnya dirasakan oleh masyarakat,” ujar Bambang.
Sterilisasi Polri dari Unsur Politik
Bagaimana mensterilkan Polri yang saat ini sudah sedemikian tercemar dengan kepentingan politik itu? Masih mungkinkah Polri kembali bersih?
Bambang menjawab kemungkinan itu akan selalu ada, syaratnya harus ada sistem yang mampu menjamin tegaknya integritas Polri sehingga para pimpinan puncak juga anggota di bawahnya tidak mudah ditarik ke dalam pusaran politik oleh para politisi.
Ia tidak ambil pusing soal di mana Polri harus ditempatkan sebagaimana diperdebatkan saat ini, apakah harus di bawah Presiden seperti sekarang, diubah di bawah Kementerian Dalam Negeri, atau di bawah nomenklatur kementerian lain. Semua sama-sama berpotensi ditarik ke ranah politik, selama anggota polisi itu tidak memiliki integritas yang kokoh.
“Ya, semua sama-sama. Di bawah kementerian juga ada kemungkinan ditarik politik, di bawah Presiden bisa ditarik. Kan semuanya tergantung pada integritas masing-masing. Kalau Presiden memiliki visi negarawan misalnya ya polisi luruslah. Tapi kalau Presiden ini lebih cenderung berpikir mempertahankan kekuasaan ya berat. Kapolri juga demikian, kalau kapolrinya memiliki visi negarawan ya dia akan tegak lurus,” jelas Bambang.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan memperkecil pintu-pintu yang membuka potensi terjadinya “perselingkuhan” polri dan politik. Misalnya dengan tidak menempatkan personel kepolisiam di luae struktur yang semestinya.
Jangan tempatkan personel di luar bidang kepolisian, misalnya di lingkup jabatan sipil, pemerintahan, dan sebagainya dengan menggunakan alasan karena ada keterkaitan dengan tugas polisi khususnya soal keamanan.
“Kalau saya melihat secara politik ini alat politik untuk menarik kepolisian, banyak personil kepolisian yang ditempatkan di kementerian dan lembaga tanpa pensiun lebih dulu atau mengundurkan diri.
“Kalau beririsan dengan tugas kepolisian dan kemudian mendapatkan surat perintah dari kapolri, ya semua bidang itu pasti akan beririsan dengan keamanan. Pendidikan beririsan, agama juga beririsan, olahraga berisan, apakah semua nanti akan diisi oleh personil kepolisian dengan alasan kemanan?” tanya Bambang.
Jika hal itu terus dibiarkan terjadi, maka yang ada saat ini sudah melebihi dwi fungsi ABRI yang notabene ditentang saat reformasi.
“Kepolisian sudah lebih dari dwifungsi ABRI, multifungsi Polri,” celetuknya.
Guru besar bidang Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Prof. Muradi semlat mengusulkan agar Parcok yang diasosiasikan dengan Polri itu dijadikan partai politik saja. Mereka memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Namun, Bambang tidak bisa membayangkan jika Parcok benar dijadikan sebagai parpol.
“Saya masih belum bisa membayangkan ketika kepolisian yang memiliki kewenangan yang sangat besar kemudian dibekali senjata-senjata itu bisa menggunakan cara berpolitiknya secara dewasa. Kalau kita melihat ke arah sini kan masih jauh dari kata dewasa itu, apalagi kalau kemudian kepolisian diberi tempat untuk berpolitik sendiri,” ungkap Bambang.
“Saya tidak setuju, karena kewenangannya sudah terlalu besar. Sudah memiliki kewenangan yang diberikan negara sangat besar kemudian berpolitik lagi, waduh berat,” lanjutnya.
Leave a Reply