Ketika Guru Besar UI Tergelitik dengan Kata “Tintrim”

Budiman Tanuredjo

Buku Mimpi tentang Indonesia 2 diluncurkan di Kompas Institute, Gedung Kompas (lama) di Palmerah Selatan, No 26-28 Jakarta, Kamis 12 Desember 2024. Kini, Harian Kompas menempati Menara Kompas yang lebih megah.

Saya memilih Kompas Institute sebagai tempat peluncuran buku karena alasan emosional. Kompas Institute adalah unit yang saya bangun bersama sejumlah teman untuk bergerak di bidang pendidikan dan pelatihan. Kompetensi Kompas di bidang jurnalisme, komunikasi, perlu disebarkan kepada khalayak. Alasan emosional kedua, di ruangan Kompas Institute itu, tempat saya tidur saat kelelahan di kantor saat saya memimpin editor nasional dan editor opini Harian Kompas beberapa belas tahun lalu.

Di ruang-ruang itulah, dialektika pemikiran, komunitas episteme Kompas terus berkembang untuk memperbincangkan isu republik di ruang publik. Kompas Institute bersebelahan dengan ruang Pemimpin Redaksi Kompas, dimana sejumlah pemimpin Redaksi Kompas, termasuk saya pernah bekerja mengendalikan pemberitaan Kompas dalam sebuah masa.

“Ibarat universitas, Jakob Oetama merupakan pendiri, pengasuh, dan rektor yang meletakkan fondasi dan tradisi moral-intelektual bagi komunitas Kompas,” tulis Komaruddin Hidayat dalam kata pengantar buku Mimpi tentang Indonesia.

Di tempat itulah, saya meluncurkan buku Mimpi tentang Indonesia 2. Buku yang diberi kata pengantar Prof Dr Komaruddin Hidayat, dibahas kembali oleh Mas Komar, Sudirman Said, Ketua Yayasan Harkat Negeri, dan Guru Besar Sosiolologi Universitas Indonesia, Prof Dr Ery Seda dengan moderator presenter KompasvTV, Frisca Clarissa. Sejumlah tokoh hadir antara Mahfud MD, Gubernur terpilih Nusa Tenggara Timur Melki Laka Lena, Sekjen Nasdem Hermawi Taslim, mantan KSAU Chappy Hakim, mantan Menteri Perindustrian Saleh Husin, Duta Besar Adrajati, Jaleswari Pramodhawardhani, Andrinof Chaniago, dan Andar Nubowo (Direktur Eksekutif Maarif Institute).

Bersama para tokoh yang hadir dalam peluncuran buku “Mimpi tentang Indonesia 2”.

Redaktur Senior Kompas Rikard Bagun, Pemimpin Redaksi Kompas TV Yogi Arief Nugraha, dan Pemimpin Redaksi Kompas.com, Amir Sodikin, dan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Haryo Damardono, Peneliti BRIN Najib Ahmad Najib Burhani, Heri Sucipto aktivis Unity in Diversity, dan Sekjen Transparancy Internasional Danang Widoyoko. Dan, masih banyak lagi peneliti, penulis, cendekiawan yang memenuhi ruangan Kompas Institute dengan makan siang murah, gulai tikungan.

Saat pembahasan buku, Ery Seda justru tertarik membicarakan kata “tintrim” yang saya gunakan dalam buku Mimpi tentang Indonesia. “Saya tidak tertarik dengan teori path dependency yang dikenal dengan teori critical juncture, ada demokrasi backsliding dari Nancy Bermeo, tapi pilihan kata tintrim, “ ujar Ery Seda.

Saya memang menggunakan kata “tintrim” untuk menggambarkan suasana kebatinan negeri ini. Dalam buku “Mimpi tentang Indonesia”, “tintrim” saya artikan sebagai gabungan perasaan sedih, kecewa, galau, cemas, namun tetap punya harapan. Dalam suasana “tintrim” terbersit harapan akan masa depan, namun ada bayang-bayang ketidakpastian. Ada optimisme, ada pesimisme. Ada kepastian, ada pula bayangan ketidakpastian.

Kata “tintrim” saya serap dari kegelisahan Pendiri Kompas, Jakob Oetama. Dalam percakapan pribadi maupun dalam ruang redaksi terbatas, Jakob kerap mengekspresikan suasana keprihatinannya terhadap nasib negeri ini yang “begini-begini saja”. Seperti tintrim. Tintrim bukanlah tenteram, tenang dan sejahtera. Jauh dari makna itu. Dalam bahasa yang lebih akademis, suasana kebangsaan “tintrim” harus ditangkap media sebagai “conscience of nation” atau “suara nurani bangsanya.” Media haruslah menjadi penangkap suara nurani bangsanya.

Jakob juga kerap menggunakan kata “mrucut” untuk mengekspresikan kegelisahannya terhadap nasib negeri. “Mrucut” dalam bahasa kampus bisa dsimilarkan dengan disintegrasi bangsa, pembelahan secara sosial ataupun teritorial. Frame “mrucut” itulah yang menjadi kerangka analisis lahirnya buku “Simpang Jalan (2022).” Dan, Simpang Jalan itulah yang kini sedang terjadi. Simpang Jalan di antara negara hukum dan negara kekuasaan, simpang jalan di antara gagasan desentralisasi dan resentralisasi, simpang jalan yang menempatkan nepotisme sebagai kejahatan dan upaya normalisasi praktik nepotisme.

BDM, Sudirman Said, dan Ery Seda dalam peluncuran buku “Mimpi tentang Indonesia 2”.

Menjawab Ery Seda, istilah “tintrim”, mrucut”, “danyang” adalah diksi-diksi yang coba digali dari bumi pertiwi untuk menggambarkan situasi negeri. Sudirman Said dalam acara itu menyebut “dikremes” untuk menyebutkan, persekusi, represi, ataupun intimidasi.

Istilah “danyang” saya gunakan dalam buku “Sambo di Satu Meja, Merawat Danyang Jurnalisme.” “Danyang” saya petik dari Romo GP Sindhunata. “Danyang” punya makna magis, spiritual yang artinya adalah roh atau value, atau nilai. Dalam satu waktu, Sindhunata pernah mengatakan, “Danyange wis oncat.” Roh perjuangan itu telah melesat keluar sehingga jurnalisme seakan kehilangan roh penggerak.

Terlepas dari berbagai diksi yang jadi tema diskusi, Sudirman Said merasakan, perlunya titik kumpul berbagai elemen bangsa terhadap kondisi negeri. Titik kumpul menjadi ruang bersama untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan negeri, merumuskan peta jalan, dan mendesakkan agenda kepada elite negeri. Titik Kumpul membutuhkan payung bersama. Saya kerap menyebutkan connecting dot, orang yang menghubungkan titik-titik elemen masyarakat sipil yang berserakan.

Mahfud MD dalam peluncuran buku “Mimpi tentang Indonesia 2.

Gagasan titik kumpul menjadi relevan, ketika partai politik kian teralienasi dengan rakyatnya, ketika lembaga perwakilan yang kian menjadi “terpimpin” (bersuara, tapi diberi sanksi oleh MKD), ketika kekuasaan yudikatif bisa dibeli, ketika Dewan Perwakilan Daerah, seakan terdisfungsi, dalam situasi kehadiran oposisi individual yang terkoneksi menjadi peluang. Konsolidasi masyarakat sipil itulah menjadi pekerjaan rumah bersama. Semoga Mahfud MD, Komaruddin Hidayat, Ery Seda, Sukidi Mulyadi, Sudirman Said, Andar Nubowo, Andrinof Chaniago, masih bisa dan mau bertahan di arena masyarakat sipil…


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *