Berstatus Terpidana Mati di Indonesia, Mary Jane Bisa Bebas Saat Kembali ke Filipina?

“…Mary Jane ini di Filipina dia dilihat sebagai orang yang menjadi korban dalam tindak pidana perdagangan orang. Mungkin kalau itu bisa dibuktikan oleh pengadilan Filipina dia bisa dibebaskan…,”

– Andreas Hugo Pareira, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI F-PDIP

Keputusan Pemerintah Indonesia yang akan memindahkan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Feloso dari Yogyakarta ke negara asalnya, Filipina, menuai begitu banyak pro dan kontra.

Mary Jane yang sudah menjalani proses hukum di Indonesia sejak 2010 itu rencananya akan dipulangkan ke Filipina sebelum Natal tahun ini, efektif tersisa kurang lebih sepekan dari sekarang.

Jika sudah kembali ke Filipina, Mary Jane bisa dipastikan akan terbebas dari hukuman mati sebagaimana seharusnya ia terima jika masih terus ada di Indonesia. Hal itu lantaran Filipina tidak menerapkan hukuman mati dalam yurisdiksi mereka.

Tak hanya lolos dari jerat hukuman mati, Mary Jane juga disebut-sebut bisa bebas dari hukum penjara sekembalinya di Filipina.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (11/12/2024).

“Bisa jadi juga dibebaskan, Pak Yusril bilang kita menghormati hukum yang ada di Filipina. Karena saya dengar juga katanya Mary Jane ini di Filipina dia dilihat sebagai orang yang menjadi korban dalam tindak pidana perdagangan orang. Mungkin kalau itu bisa dibuktikan oleh pengadilan Filipina dia bisa dibebaskan, dari aspek kemanusiaan saya kira sangat bisa dipahami,” ujar Andreas.

Mantan Menteri Hukum dan HAM 2004-2007, Hamid Awaluddin menjelaskan hukuman mati memang tidak diakui di Filipina, jadi vonis terhadap Mary Jane dapat dipastikan tidak dapat dilakukan (non executable) setelah ia masuk ke Filipina.

Namun pada prinsipnya, jika terjadi pemulangan narapidana atau transfer of prisoners ada aturan dasar yang diberlakukan, yakni negara penerima todak boleh mengubah hukuman seseorang dalam artian menambah atau memperberat hukuman.

“Antara mengubah dengan non executable itu dua hal berbeda. Mary Jane statusnya di sini hukuman mati, kemudian di sana tidak dieksekusi tidak berarti bahwa hukumannya diubah, hanya tidak dijalankan, non executable. Kenapa, karena mereka tidak menganut sistem hukuman mati,” jelas Hamid.

Terlepas dari hukuman apa yang akan Mary Jane dapat ketika kembali ke Filipina, Hamid Awaluddin lebih menyorot pada alasan kemanusiaan mengapa narapidana narkotika itu harus dipulangkan ke negaranya. Mary Jane sakit-sakitan, keluarga tidak bisa sering menjenguk karena faktor ekonomi, dan tekanan psikis yang hebat sebagai tahanan di negara orang.

“Saya sebagai orang yang pernah menangani lapas, luar biasa penderitanya itu orang asing di dalam lapas. Luar biasa. Kenapa, persoalan budaya, persoalan bahasa, persoalan makanan, Itu semua membuat tingkat penderitaannya lebih tinggi daripada narapidana kita. Jadi perspektif saya selalu kemanusiaan,” ungkap Hamid.

Sayangnya, keputusan yang dilakukan di awal masa pemerintahan Presiden Prabowo ini diambil tanpa adanya dasar hukum yang tegas, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak buruk bagi negara di mata dunia internasional.

Kekhawatiran ini salah satunya dikemukakan oleh Andreas Hugo Pareira. Andreas berulang kali menyebut pentingnya dibuatkan dulu landasan hukum sebelum benar-benar memindahkan narapidana asing kembali ke negaranya.

“Saya kira kita bikin dulu dasar hukumnya, sehingga memudahkan pelaksanaannya. Sehingga tidak menjadi preseden seolah-olah kita melanggar kedaulatan hukum kita sendiri,” sebut kader PDIP itu.

Ia tidak menyalahkan pemulangan Mary Jane karena aspek kemanusiaan ataupun kepentingan diplomasi. Semuanya baik demi negara, pasti ia dukung. Namun, ketiadaan undang-undang yang melandasi pemulangan Mary Jane lah yang menjadi catatan kritisnya.

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Suzie Sudarman juga melihat ada yang tidak biasa dalam keputusan pemerintah memulangkan Mary Jane ini, terutama di sisi Presiden sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan.

“Mungkin memang Presiden (Prabowo) ini adalah Presiden yang mau berinovasi, tidak ingin mengikuti aturan-aturan hukum. Ternyata dia kan kalau di China dia bilang begitu, di Amerika dia ubah lagi kata-katanya. Jadi sangat unpredictable dan tidak bisa dipegang. Jadi Kemungkinan dia kreatif dalam artian apakah itu akhirnya membawa bahaya atau tidak Itu tinggal kita yang merasakan,”

Sebagaimana disampaikan Andreas, Hamid menyarankan agar DPR buru-buru membuat undang-undang yang mengatur pelaksanaan 7. Dengan demikian, ke depan tidak akan ada lagi perdebatan seperti pemulangan Mary Jane saat ini. Hal itu dikarenakan, ada banyak tahanan asing yang saat ini menjalani masa hukuman di Indonesia. Bukan tidak mungkin, ke depan mereka atau negaranya akan mengajukan pemulangan seperti yang didapatkan Mary Jane.

“Toh katanya undang-undangnya bisa dengan cepat dilakukan, ya buatkan cepat supaya kita tidak menjadi polemik yang berkepanjangan. Harus jelas tertibnya, jelas pengaturannya, dan sebagainya, dan seterusnya,” kata Hamid.

Menurut Hamid, pemerintah sebagai pihak yang selalu menginisiasi pemulangan narapidana harus menjadi inisiator pula dalam mewujudkan undang-undang baru ini. Bicara dan minta pada DPR agar mereka merumuskan undang-undang yang dimaksud.

Karena dalam UU Pemasyarakatan sudah tegas disebutkan perlu ada undang-undang untuk mendasari pemindahaan narapidana.

“Itu salahnya, kenapa enggak dibuat dari dulu undang-undangnya,” tegas Hamid.

Nersama para narasumber di ruang tunggu Satu Meja The Forum (11/12/2024).

Ke depan, jika ada negara lain yang meminda kembali warganya yang menjadi narapidana di Indonesia, pemerintah seharusnya tidak begitu saja mengabulkan. Indonesia harus punya kedaulatan yang kuat atas hukum yang berlaku di negaranya. Suzie melihat banyak WNI yang tidak bisa diselamatkan dari hukuman mati di negeri orang, seperti di Arab Saudi dan Singapura.

“Yang harus diperjuangkan di tingkat hubungan internasional adalah kesamarataan posisi. Supaya kalau kita diminta oleh negara lain, kita juga bisa minta dari negara lain ke kita. Tapi nyatanya kan kita selalu kalah di situ, orang-orang kita digantung di Singapura atau di hukum mati di Saudi Arabia,” papar Suzie.

Ia berharap pemerintah memiliki kemampuan menekan yang lebih tinggi, wibawa yang lebih baik di dunia internasional, sehingga negara lain akan segan dan tentu lebih menghargai kedaulatan hukum negara kita.

Menurut Suzie, selama ini Indonesia kurang dipandang oleh dunia internasional dimungkinkan karena alasan tertentu. Salah satunya sosok presiden yang tidak dihargai atau tidak dianggap oleh para pemimpin dunia. Bukan karena upaya dan kemampuan diplomasi yang lemah.

“Presidennya tidak dihargai mungkin ya, apakah kita di dianggap atau tidak. Kayaknya kita selalu harus sopan santun, padahal orang lain tidak santun kepada kita,” ujar Suzie.

I think we should start dengan regulasi. Kalau hukum-hukumnya diatur, pegawai negerinya akan ikut, presidennya juga akan ikut. Harus keras, harus meregulasi. Kita merasakan hidup di Indonesia ini seperti pemerintahnya tidak begitu peduli terhadap warga negara, tidak peduli apa yang akan terjadi di masa depan. Mereka hanya peduli, saya dapat jabatan lalu saya bisa menyalahgunakan kekuasaan,” ia melanjutkan.

Agenda pemulangan Mary Jane ke Filipina juga diikuti oleh rencana pemulangan 5 narapidana kasus narkotika lain asal Australia, Bali Nine, yang kini masih menanti kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan Australia.

Jika semua itu dilakukak tanpa dasar, Andreas benar-benar khawatir akan terjadi ketidakjelasan pelaksanaan transfer of prisoners ke depannya.

“Kasus yang terjadi pada Mary Jane ini akan dituntut oleh yang lain atau diminta yang lain. Dan tiap-tiap kasus itu akan jadi berbeda-beda bisa jadi, yang ini kita berikan, yang ini kita tidak berikan. Dan itu karena tidak punya dasar. Kalau misalnya kita tidak berikan, mengapa tidak diberikan, misalnya. Kenapa yang ini bisa yang ini tidak bisa? Kan orang lain dan dunia internasional akan melihat itu,” jelas Andreas.

Buntutnya, ketidakjelasan itu bisa berujung pada terbentuknya persepsi bahwa pemerintah lembek dalam menghadapi mafia-mafia narkotika.

“Tetaplah menjadi ancaman bangsa. Perang terhadap narkotika adalah perang yang belum berhasil kita menangkan. Pemulangan terpidana narkotika ke negara asal tetaplah harus berdasarkan pada hukum. Jangan sampai dipersepsi publik melunaknya peran pemerintah terhadap mafia narkotika,” pungkas Andreas.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *