Budiman Tanuredjo
Suatu siang di Jakarta. Tepatnya di pertigaan Slipi, Jakarta Barat. Suhu Jakarta panas. Saya berangkat ke Universitas Paramadina untuk menghadiri undangan Peringatan Hari Antikorupsi. Seperti biasa, saya menggunakan mobil sewaan online. Di tengah kemacetan Jakarta, seorang kurir mengemudikan motor, masuk ke sela-sela jalanan yang padat. Dan, terjadilah serempetan.
Mobil sewaan berplat Nomor D tergores. Tidak terlalu parah. Sopir mobil sewaan turun. Ia bercelana pendek. Ia meminta pertanggungjawaban kurir yang menggunakan motor berplat nomor DD. DD adalah nopol Sulawesi Selatan. Kurir itu sudah tampak sudah tua. Berjaket lusuh.
Terjadi perang kata-kata.
Di balik kaca mobil saya menyaksikan, kurir mengeluarkan uang seratus ribuan. Namun pengemudi mobil online sewaan tak mau menerima. Kurir yang tampak lemah itu, menunjukkan isi dompetnya yang kosong. Ia menambahkan uang biru limapuluh ribuan. Namun, pengemudi mobil juga tak mau menerima.
Beberapa orang berhenti. Menonton adegan itu. Kemudian pergi. Tak ada yang melerai. Adu mulut antara yang merasa benar dan merasa lebih berkuasa dengan sosok yang lemah dan merasa bersalah. Kurir mengiba agar sopir mobil online mau menerima uang Rp150.000. Namun, sopir mobil sewaan online tetap menolak.
Saya akhirnya turun mencoba melerai.
Saya bertanya kepada sopir mobil online, “Anda mau minta ganti rugi berapa.”
Ia tak bisa menjawab angka pasti. “Saya minta goresan ini diperbaiki,” katanya.
Saya balik bertanya padanya. “Iya untuk mengecat ulang butuh biaya berapa.”
Sopir mobil online itu menjawab, “Dahulu saya pernah mencat Rp 250 ribu.”
Saat bertanya kepada kurir, bagaimana dengan permintaan Rp 250.000. Sang kurir menjawab, “Saya udah nggak punya uang lagi Pak. Ini dompet saya udah kosong. Saya hanya punya seratus lima puluh ribu,” ujarnya mengiba.
Saya ambil uang Rp150.000 dari kurir. Saya serahkan kepada sopir sewaan online. Saya tambahkan uang saya Rp100.000 sehingga genap Rp250.000. Sopir sewaan mobil online terdiam. Kurir menyalami dan memeluk saya untuk berterima kasih. Masalah itu selesai.
Saya melanjutkan perjalanan ke kawasan Kuningan. Saya diam dan merenungkan apa yang baru saja saya alami.
***

Kehidupan Jakarta begitu keras. Kurir motor mengelilingi Jakarta untuk mengantar barang bawaan dalam jumlah besar. Dalam sehari mereka hanya mendapat Rp 200.000 sampai dengan Rp 300.000. Begitu juga dengan sopir mobil online. Beberapa kali saya menggunakan mobil online dengan plat nomor polisi AB, yang berasal dari Yogyakarta. Atau juga pernah dari Pandeglang. Pendapatan mereka sekitar Rp200.000-Rp300.000 per hari. Mereka beroperasi ke Jakarta untuk mendapatkan nafkah di Jakarta. Saya pernah mendapati di jok bagian belakang mobil sewaan online ada galon air dan tas berisi pakaian. “Saya tidur dan mandi di SPBU yang aman. Baru akhir pekan saya pulang ke Pandeglang bertemu keluarga,” ucapnya.
Itulah kerasnya kehidupan Jakarta. Beban hidup orang-orang kecil akan kian berat ditempa pajak yang akan naik di tahun 2025 sebagai konsekuensi dari keberlanjutan. Sementara para kurir, ojol, tak diakui sebagai pekerja formal yang mendapatkan perlindungan negara dengan Upah Minimum Regional (UMR).
Perang mulut terbuka antara kurir dan pengemudi mobil sewaan online: seakan mempertontonkan prinsip ekonomi liberal: survival for the fittest. Dalam bahasa awam, mereka yang kuat, mereka yang akan menang. Sebuah paham ekonomi liberal yang dianut Herbert Spencer. Ini juga sejalan dengan konsep Laizess-Faire (biarkan saja). Persaingan individu dibiarkan bebas tanpa intervensi negara. Dalam upaya mencapai kebahagiaannya, mereka memiliki hukum alamnya sendiri. Intervensi atau campur tangan dari negara atau pemerintah, hanya akan menimbulkan kerugian. Karena itu, biarkanlah masyarakat itu melalui hukum alamnya sendiri: Laissez Faire!
Persoalannya, asumsi Laissez Faire ini bertumpu pada dua kondisi sosial yang tidak disebutkan: pertama, distribusi kekayaan dan pendapatan yang cukup adil dan kedua, ekonomi yang relatif bebas dari krisis dan depresi yang panjang dan parah. Selama kedua kondisi ini masih berada di tingkat yang substansial, maka ekonomi individualisme masih bisa berjalan.
Filosofi “laissez faire” dan survival for the fittest adalah masa lalu yang harus ditolak. Individualisme ekonomi dan laissez faire, secara historis adalah pemikiran dan tindakan yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan keinginan dunia bisnis saat ini.
Ekonom John Maynard Keynes menolak laissez faire yang berkomitmen pada dogma tidak adanya campur tangan negara dalam ekonomi. Keynes merumuskan dengan apa yang dia sebut sebagai layanan secara teknis yang bersifat sosial dan layanan yang secara teknis bersifat individual.
Era teknologi membawa ekonomi kearah ekonomi GIG. Model ekonomi di mana pekerjaan dilakukan dalam bentuk tugas atau proyek jangka pendek, sering kali melalui platform digital yang mempertemukan penyedia jasa dengan pelanggan. Kurir, ojek online yang jumlahnya mencapai 3 jutaan mitra, termasuk dalam kluster ekonomi GIG. Dalam ekonomi GIG, seseorang bisa melakukan pekerjaan sementara atau kontrak jangka pendek.
Ekonomi GIG mengandung plus dan minus. Ada fleksibilitas dimana pekerja bisa menentukan jam kerjanya sendiri, pekerja dapat mengambil berbagai proyek dari klien yang berbeda, bagi Perusahaan tidak perlu memberikan tunjangan karyawan tetap. Namun, ekonomi GIG punya ketidakpastian penghasilan, kurangnya perlindungan sosial, dan persaingan yang tinggi, serta bisa menghadirkan burn-out. Fleksibilitas sering kali menyebabkan pekerja mengambil terlalu banyak kerjaan.
Persaingan ketat di ekonomi GIG tetap membutuhkan peran serta negara minimal untuk menghadirkan perlindungan sosial bagi para pekerja. Perlindungan soal kesehatan dan jaminan-jaminan lainnya sehingga istilah mitra betul-betul bukan sebuah eufemisme istilah untuk menghindari pekerja mendapat jaminan sosial.
Persaingan Jakarta yang begitu keras, membutuhkan wajah manusiawi kebijakan pemimpinnya. Pemimpin yang punya kebijakan mengayomi pekerja ekonomi GIG seperti ojek online, kurir, sehingga bisa ikut merasakan kemerdekaan di Jakarta.
Perang mulut antara kurir dan sopir mobil online adalah ekspresi kerasnya kehidupan Jakarta. Upaya mereka adalah iktiar untuk bertahan hidup di Jakarta. Menyelamatkan penghasilan Rp200 ribu sehari adalah kemewahan. Hidup itu terasa tidak adil karena dalam beberapa kasus seperti Zarof Ricar, bekas pejabat Mahkamah Agung, bisa mengumpulkan dana Rp1 triliun di rumahnya dari hasil dagang putusan.
Jika dana Rp1 triliiun itu bisa dikelola oleh satu badan, mungkin bisa digunakan untuk membayar premi jaminan sosial dan kesehatan pekerja informal seperti kurir atau driver ojol yang bertaruh nyawa bekerja di Jakarta. Siapa tahu Pramono Anung dan Rano Karno bisa memunculkan wajah pemimpin yang manusiawi untuk warganya. ***
Leave a Reply