“Ah saya kira butuh pertolongan Tuhan dan para malaikat, karena semua rusak. Pengadilan Negeri rusak, Pengadilan Tinggi rusak,”
– Hamid Awaluddin, mantan Menteri Hukum dan Ham
Hari ini, masyarakat kita sudah terbiasa mendengar para pemimpinnya tersangkut kasus korupsi. Masyarakat sendiri pun sudah terbiasa melakukan praktik korupsi dalam kehidupannya. Jadi tidak ada yang aneh, korupsi seperti sudah menjadi budaya.
Masyarakat memberikan uang kepada para pejabat dan aparat untuk mempermudah beragam urusan, sementara pejabat dan aparat mengorupsi uang rakyat untuk memperkaya diri dan keluarga. Hal yang lumrah di kondisi saat ini.
Seseorang menjadi pemimpin melalui cara yang kotor, masyarakat sebagai pemilih memberikan suaranya berdasarkan besar kecil uang pelican yang diterima. Keduanya tak ada beda. Sama-sama tak memegang teguh integritasnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM 2004-2007, Hamid Awaluddin mengatakan bagaimana proses pemilihan pemimpin di daerah-daerah berjalan dengan cara yang begitu korup sehingga memengaruhi kinerja pemerintahan ke depannya.
“Pemilihan bupati, walikota, gubernur, korup kan? Prosesnya korup, sehingga ketika dia berkuasa maka dia cenderung atau dia berada dalam posisi sudah korup, dia harus kembalikan investasinya dan sebagainya dan seterusnya,” kata Hamid dalam podcast bersama Budiman Tanuredjo di Back to BDM.
Hamid menceritakan pengalamannya melihat bagaimana politik uang bahkan merangsek masuk hingga ke sel-sel tahanan dan menjangkau para narapidana.

Narapidana di dalam pun mau menerima uang yang diberikan oleh oknum calon pemimpin daerah, dengan menerapkan standar harga suara pasar di luar sel.
“Narapidana meskipun terisolasi, dia tahu harga pasar di luar berapa. Kau kasih di luar Rp250.000 jangan kau anggap kita di dalam kau kasih Rp50.000. Dia ikuti harga pasar,” sebut mantan Duta Besar Indonesiauntuk Federasi Rusia itu.
Angka tertinggi yang ia ketahui untuk membeli suara para tahanam mencapai Rp750.000 per orang. Dan itu ada di level kabupaten. Bisa dibayangkan, betapa rusaknya demokrasi di Indonesia?
Lebih lanjut, jika ada lebih dari satu calon yang memberi mereka uang, maka semuanya akan diterima. Permintaan dukungan untuk masing-masing akan diiyakan.
“Kalau empat calon, empat-empatnya diterima. Itu bahayanya money politic, dia rusak integritas dengan kebohongan. Mas Budiman calon, ke saya, oke wah beres Mas. Terus lawannya Mas Budiman datang, oke juga, beres juga. Artinya empat kali dia berbohong. Apa artinya, no moral, terbiasa kita didik orang tidak punya integritas, tidak punya daya tahan dan daya tangguh yang kuat,” Hamid mencontohkan.
Jika sudah demikian, bisa disaksikan betapa politik uang begitu merusah karakter bangsa secara sistematis.
Jika pemimpinnya saja sudah tidak jujur, tidak bersih, tidak baik, maka hal itu akan menjadi contoh bagi masyarakat yang ada di bawahnya.
Menurut Hamid, masyarakat pun akan merasa perlu mengikuti cara main kotor sang pemimpin, pemimpin yang gemar berbohong, pemimpin yang korup.
“Wah ngapain jujur, Pak Bupati lihat tuh, sepupu sekalinya yang ngambil lihat tuh, tim suksesnya yang ngambil, ngapain kita mau jujur enak aja,” ujar Hamid melihat kebatinan masyarakat hari ini.
Hamid menunjukkan contoh lain yang menunjukkan betapa rusaknya kondisi negara bangsa Indonesia saat ini. Yakni soal pemegang proyek-proyek pembangunan di daerah.
Saat ini, proyek-proyek skala kecil di kabupaten/kota dikuasai oleh perusahaan-perusahaan dari provinsi, bahkan pusat. Mereka adalah pemodal yang menanamkan kapitalnya untuk mendukung calon pemimpin di daerah-daerah tersebut.
Jika calon pemimpin yang disokongnya terpilih dan menjabat, maka yang terjadi adalah pemimpin baru itu akan membayar dukungan yang sebelumnya diberikan oleh perusahaan tersebut.
“Ketika pejabat terpilih, maka terjadilah monopoli proyek. Dia (perusahaan) yang membayar ongkosnya kok, ya in return-nya harus diberikan,” kata Hamid.
Jika hal ini terus dibiarkan terjadi, maka Hamid menyebut yang disegani oleh pemimpin bukan lagi rakyat, tapi pemodal atau kalangan oligark. Kedua, pembangunan yang dilakukan di daerah bukan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat di daerah tersebut.
“Yang ada adalah pembangunan untuk menutupi dan mengembalikan modal yang ada, itu yang terjadi,” ujar penerima penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana tahun 2014 itu.

Di tengah kondisi yang pekat dengan hawa-hawa korupsi ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu lembaga yang bertugas menangani rasuah justru ikut-ikutan kehilangan fungsi utamanya.
KPK kini ada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, jajaran pimpinannya dipilih oleh Presiden dan disetujui DPR yang “kebersihannya” juga belum bisa dipastikan.
“Takatkala pimpinan KPK sudah diatur, ah di situlah rusaknya rusak. Misalnya kita bandingkan, kenapa Syahrul Yasin Limpo (mantan Menteri Pertanian yang tersangkut kasus korupsi) masuk dan sudah berkekuatan hukum tetap, kenapa Firli (mantan Ketua KPK yang diduga terlibat pemerasan penanganan kasus SYL) tidak. Yang digunjingkan sampai sekarang belum ada tanda-tanda dan gelagat bahwa (Firli) diproses,” jelas pria 64 tahun kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan itu.
Hal itu akan berdampak pada semua jajaran pegawai KPK yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di dalam tubuh institusi itu, mengapa ada tebang pilih terhadap kasus.
Sejak awal pemilihan Firli menjadi Ketua KPK sudah dipenuhi dengan kontroversi. Sosok Firli yang disebut memiliki sejumlah catatan negatif disebut tidak selayaknya dipilih menjadi pimpinan tertinggi KPK.
“Generasi pertama KPK yang banyak dia tangkap kan pejabat juga anggota dewan, sehingga semua anggota dewan sudah muncul dengan agenda ‘saya harus memiliki orang (di KPK) untuk menjaga ke depan’. Ya ini (Firli terpilih menjadi Ketua KPK) yang terjadi,”ujar Hamid.
Butuh Pemimpin “Gila”
Bisakah Indonesia dipulihkan? Bisakah sakit Negeri ini disembughkan?
Di dalam kondisi yang seperti ini, Hamid menegaskan diperlukan kehadiran sosok pemimpin yang “gila” dalam arti positif. Pemimpin yang berani mendatangkan gebrakan melawan rusaknya tata aturan yang saat ini berlangsung.
“Butuh pemimpin gila, harus pemimpin gila di eksekutif ini. Yang gila, yang bisa memaksakan kehendak ke partai politik. Yang (mampu) mengatakan wahai Hakim Agung, kalau kamu lakukan itu saya betul-betul suruh tangkap dan memberitahu polisi dan jaksa,” ungkap Hamid.
Lebih lanjut, bahkan Hamid menyebut perlu pertolongan Tuhan untuk menyelamatkan Indonesia yang sudah sedemikian rusak ini.
“Ah saya kira butuh pertolongan Tuhan dan para malaikat, karena semua rusak. Pengadilan Negeri rusak, Pengadilan Tinggi rusak,” celetuk Hamid.
Apa yang harus dilakukan Presiden Prabowo?
Dari sudut pandang Hamid, Prabowo sebagai pemimpin eksekutif harus mulai membuka pertemuan dengan Kejaksaan Tinggi, kapolda, bahkan jika diperlukan sampai kapolres yang menjadi ujung tombak penyidikan kasus-kasus di tengah masyarakat.
Prabowo harus tegas membuat garis pemisah, garis pembeda, antara masa kepemimpinannya dengan masa kepemimpinan pemimpin sebelumnya. Tegas lah pada aparat lembaga penegak hukum.
“Jangan main-main dengan penegakan hukum, jangan ikut berbisnis di lahan-lahan tambang, perkebunan, dan sebagainya. Kalau anda ingin menempuh jalur cepat menjadi kaya, keluar dari polisi dan jaksa, karena begitu Anda terlibat di situ maka Anda tidak akan pernah menegakkan aturan,” demikian Hamid berpendapat bagaimana Prabowo bersikap semestinya.
Hal lain yang penting untuk dipertimbangkan Prabowo adalah mengembalikan KPK kepada KPK versi sebelum Revisi UU KPK. KPK yang kuat, berintegritas, dan disegani.
Meski belum terlihat ada gerakan menuju ke sana, namun Hamid merasa Prabowo akan melangkah ke arah itu dan saat ini masih terus mencsri formulasi yang paling tepat untuk memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia.
Leave a Reply