“Kalau penilaian kinerja di suatu kelembagaan didasarkan pada cost and benefit itu sama dengan BUMN dong. Lembaga publik kita itu melayani publik, enggak bisa biayanya berapa, kalau dihitung seperti itu Kementerian Pendidikan Nasional itu enggak ada untungnya dari sisi finansial, cost semua itu,”
– Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK
Seorang calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2024-2029 yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menyebut akan menghentikan giat Operasi Tangkap Tangan (OTT) apabila terpilih sebagai Ketua KPK yang baru.
Pernyataan itu disampaikan Tanak di hadapan anggota Komisi III DPR saat ia menjalani proses uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test. Wacana menghentikan OTT yang keluar dari mulut calon pimpinan KPK sudah menjadi suatu hal yang mengejutkan, kejutan belum berhenti, karena para legislator di sana memberikan tepuk tangan meriah untuk wacana tersebut, seolah menyambut dengan gembira.
Bahkan, dalam proses pemungutan suara untuk menentukan 5 komisioner KPK yang baru, Tanak memeroleh suara sebanyak 48, termasuk yang paling tinggi, meski ia tak terpilih menjadi Ketua KPK baru.
Dikutip dari Kompas.com, selain Tanak, calon lain yang terpilih menjadi 5 komisioner baru KPK adalah Setyo Budianto (46 suara), Fitroh Rohcahyanto (48 suara), Ibnu Basuki Widodo (33 suara), dan Agus Joko Pramono (39 suara).
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutnya sebagai janji manis yang diucapkan demi mendapatkan hati para pemilih, dalam hal ini anggota Komisi III DPR.
“Dia boleh menjanjikan hal-hal baik yang menyenangkan supaya terpilih, tapi ketika yang bersangutan terpilih sebetulnya enggak dipenuhi juga enggak ada persoalan, mereka (DPR) enggak bisa memberhentikan Pimpinan KPK. Kecuali kalau pimpinan itu melanggar kode etik atau melanggar pidana,” kata Alex saat diwawancara Budiman Tanuredjo untuk podcast Back to BDM.
Jangankan DPR, Presiden sekalipun tidak bisa menghentikan atau mengganti Pimpinan KPK tanpa alasan. Itulah sisi independensi KPK.
Terkait dengan pernyataan menghentikan OTT, mantan Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Jakarta ini menganggap hal itu tak akan terjadi. OTT akan terus dilakukan ke depan di bawah KPK dengan susunan pimpinan yang baru. OTT tidak mungkin dihilangkan.
“Saya yakin masih ada kegiatan tangkap tangan. Kenapa, karena laporan masyarakat itu banyak dan rasanya kita enggak mungkin ketika ada laporan terkait adanya rencana melakukan kejahatan kemudian kita tidak bertindak, membiarkan kejahatan itu terjadi, ya enggak mungkin juga,” jelas dia.
OTT Besar Pasak daripada Tiang?
Terdengar selentingan di DPR yang mengatakan bahwa kegiatan OTT hanya menghamburkan uang negara, karena biaya yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut lebih besar daripada jumlah uang negara yang berhasil diamankan.
Alex tidak setuju dengan pendapat tersebut. Berdasarkan pengalamannya menjadi pimpinan KPK sejak 2015, tidak benar jika uang hasil OTT lebih sedikit daripada biaya yang harus dikeluarkan.
“Mungkin kadang-kadang orang bilang, ‘wah OTT-nya cuma Rp100 juta’, tetapi ketika kita masuk lebih dalam, pengembangan di dalam proses penyidikan puluhan miliar juga,” ungkap mantan pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini.
Ia mencontohkan salah satu OTT KPK yang dilakukan terhadap salah satu bupati di Madura, Jawa Timur. KPK berhasil menyita uang dari yang bersangkutan sebesar Rp1 miliar. Namun, setelah dilakukan pendalaman, akhirnya uang negara yang berhasil diamankan senilai Rp500 miliar.
Lagi pula, tidak sepantasnya giat KPK diperhitungkan berdasarkan untung rugi. Bagi Alex, KPK bukan perusahaan, melainkan lembaga negara yang melayani publik.
“Kalau penilaian kinerja di suatu kelembagaan didasarkan pada cost and benefit itu sama dengan BUMN dong. Lembaga publik kita itu melayani publik, enggak bisa biayanya berapa, kalau dihitung seperti itu Kementerian Pendidikan Nasional itu enggak ada untungnya dari sisi finansial, cost semua itu,” jelas Alex.
Ada pula pendapat dari DPR yang meminta KPK menghubungi orang yang menjadi target OTT. KPK diminta menghubungi yang bersangkutan, memberitahukan rencana OTT, dengan harapan calon pelaku korupsi itu membatalkan rencana jahatanya.
Namun, lagi-lagi Alex tidak setuju dengan usulan DPR itu. Memberi tahu calon target tidak lantas berarti menghentikan tindak pidana korupsi.
“Apakah kalau dengan cara menelepon itu kemudian mereka akan menghentikan? Kan enggak jaminan juga. Mungkin mereka akan mencari cara yang lain, jalan yang lain. Saya tidak sependapat dengan model-model seperti itu,” tegas ia menolak.
Leave a Reply