Alexander Marwata: Saya Gagal Memberantas Korupsi

“…saya sudah declare, tentu Mas budiman dan mungkin juga banyak yang sudah mendengar ketika Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR saya men-declare saya gagal memberantas korupsi,”

– Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengaku dirinya telah gagal memberantas korupsi di Indonesia, setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Hal itu Alex sampaikan saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.

Ia memang mengaku senang akan segera purna tugas dari lembaga anti rasuah itu 20 Desember nanti, namun di sisi lain Alex mengaku sedih atas ketidakberhasilannya menjadikan pemberantasan korupsi di Tanah Air menjadi lebih baik untuk kurun waktu 2019-2024.

“Tentu sedih, karena saya sudah declare, tentu Mas Budiman dan mungkin juga banyak yang sudah mendengar ketika Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR saya men-declare saya gagal memberantas korupsi,” kata Alex.

Pengakuan gagal itu disampaikan bukan tanpa alasan. Salah satu indikator yang digunakan Alex untuk menilai kinerjanya adalah angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia tahun 2024 adalah 34, sama seperti IPK di tahun 2014. Padahal, 5 tahun yang lalu nilainya 6 poin lebih tinggi di angka 40.

“Kan jelas itu menunjukkan penurunan,” ujar Alex.

Selain melihat IPK, kegagalan juga ia rasakan dengan melihat realita hari ini orang tak lagi takut dengan KPK. Bahkan orang-orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bisa melepaskan diri dari hukum melalui jalur praperadilan.

“Jadi saya sangat prihatin, selama 9 tahun di KPK saya merasa seolah-olah hanya buang-buang waktu saja kalau dilihat dari itu,” kata dia

Ia melanjutkan, jika KPK memang dirasa sudah tidak diperlukan lagi untuk menangani tindak pidana korupsi di Indonesia, bahkan dirasa hanya mengganggu kenyamanan birokrasi, maka ia sampaikan agar dibubarkan saja.

Terlebih, awal pendirian KPK adalah untuk meningkatkan kerja-kerja pemberantasan korupsi, membantu Kejaksaan Agung dan POLRI yang saat itu aparat penegak hukumnya dianggap belum optimal dalam menangani perkara kejahatan kerah putih.

“Bagi saya kalau bapak-bapak merasa KPK itu mengganggu kenyamanan birokrasi atau hak-hak yang lain, silakan saja kalau memang sudah enggak dibutuhkan, bubarkan saja. Kalau masyarakat, pemerintah, DPR menganggap sekarang Kejaksaan, Kepolisian sudah bisa bekerja dengan baik, ya silakan. Tapi kalau ditanya saya apakah kedua lembaga itu sudah bekerja dengan baik, saya harus menyampaikan secara jujur, belum,” ungkap hakim berusia 57 tahun itu.

Wawancara BDM bersama Alexander Marwata.

Salah satu alasan mengapa ia menyampaikan demikian adalah melihat integritas aparat penegak hukum kita yang masih mudah disuap atau dibeli dengan uang. Terakhir adalah kasus mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar dimana ditemukan uang dan logam mulia senilai Rp1 miliar di kediamannya. Uang dan emas tersebut diakui ZR sebagai hasil mengurus perkara selama 10 tahun.

Meski telah mengaku gagal, namun Alex tak akan berhenti berupaya menghentikan kejahatan korupsi di waktu yang akan datang. Upaya yang akan ia lakukan tentu akan disesuaikan dengan kapabilitas dan kapasitasnya pasca pensiun dari jabatan pimpinan KPK.

Di ranah informal dan akademis, Alex menyabut akan terus mendedikasikan diri dan ilmunya untuk bidang pemberantasan korupsi. Namun, ia menegaskan tak mau lagi jika diamanahi masuk dalam birokrasi dan menjabat posisi tertentu selama Presiden tidak memiliki komitmen yang tegas terhadap korupsi.

“Ketika ada yang minta saya untuk sharing menjadi narasumber, saya dengan senang hati akan bersedia. Tetapi kalau untuk yang secara formal, misalnya ada yang nawarin coba pak Alex daftar jadi Hakim ad hok Tipikor di MA, saya sampaikan saya sudah enggak mau, saya sudah tidak mau terlibat dalam birokrasi, kecuali ada komitmen tinggi dari pimpinan tertinggi negara,” jelas dia.

Baginya, komitmen Presiden sebagai pemimpin negara untuk melawan korupsi, baik pencegahan maupun penindakan, sangat dibutuhkan. Sekalipun KPK bersifat independen, lembaga itu tetap membutuhkan dukungan politik dari Presiden agar kerja-kerjanya semakin maksimal.

Gagal Memberantas Korupsi, Salah Siapa?

Mengaku gagal dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia, pria kelahiran Klaten ini mengaku kesalahan ada di semua pihak, termasuk dirinya sebagai Wakil Ketua KPK.

“Jadi ini salah siapa? Ya kita semua. Rakyat salah enggak? Ya ikut salah juga, kalian memilih-milih pimpinan enggak benar kok,” tegasnya.

Maksudnya, masyarakat masih banyak yang memberikan suaranya pada calon pemimpin berdasarkan uang atau barang yang diberikan calon tersebut di masa pemilihan. Sudah tahu main kotor, tetap saja dipilih. Di situ letak kesalahan masyarakat.

Jadi, Alex melihat belum adanya persepsi yang sama terhadap korupsi. Apa gunanya KPK terus mengusut kasus korupsi para pejabat negara, tapi di akar rumput masyarakat juga masih aktif mempraktikkan korupsi, tentu di level yang berbeda. Contohnya tadi, menerima uang dari kandidat pilkada, kemudian mencoblosnya di bilik suara. Atau memberi sejumlah uang pada petugas polisi saat terkena razia lalu lintas di jalan raya. Korupsi masih menjadi budaya dan seolah-olah dianggap wajar dalam masyarakat kita.

Lebih lanjut, korupsi juga terjadi di lembaga peradilan, dimana perkara bisa dimenangkan apabila ada uang yang dibayarkan. Diakui atau tidak, itu adalah faktanya.

“Memang persoalan kita kompleks dalam pemberatasan korupsi dan saya pikir ya itu tadi dari Presiden harus ada komitmen tinggi,” kata Alex.

Wawancara BDM bersama Alexander Marwata

Kegagalan KPK Berantas Korupsi

Bagi Alex, semua pihak berperan dalam kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia, termasuk KPK itu sendiri. Setidaknya, ini adalah pendapat pribadi seorang Alexander Marwata, bisa jadi pejabat KPK yang lain menganggap berhasil, itu lain hal dan tentu sah-sah saja.

Kembali pada pendapat pribadinya, kegagalan KPK disebabkan oleh adanya tumpang tindih kewenangan memberantas korupsi di Indonesia.

“Lembaga sejenis KPK di beberapa negara itu diberi kewenangan tunggal untuk memberantas korupsi. Indonesia enggak, ada tiga lembaga diberi kewenangan sama: KPK, Kejaksaan, Kepolisian,” jelas dia.

Memang, Undang-Undang memberikan kewenangan tertentu pada KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi penanganan perkara korupsi yang dilakukan aparat di lembaga yang lain. Namun, itu bukan hal mudah mengingat KPK adalah lembaga baru yang senioritasnya jauh dibandingkan dengan Kejaksaan dan Kepolisian.

“Pengalaman saya pribadi, bukan hal mudah melakukan koordinasi apalagi melakukan supervisi kepada lembaga yang secara historis mereka lebih dulu ada. Dan juga pegawai-pegawai mereka ada di lembaga KPK dan statusnya itu bukan pegawai KPK sepenuhnya. Ini yang menyebabkan kesulitan-kesulitan di dalam pelaksanaan tupoksi KPK,” ujarnya.

Kesulitan jelas ditemukan terutama dalam hal penindakan kasus. Alex menceritakan bagaimana KPK dalam hal ini pimpinannya tidak bisa mengendalikan sepenuhnya proses penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.

Sehingga, jika ada pihak yang berniat melakukan suap agar perkara korupsinya dapat lolos, atau setidaknya dikesampingkan, salah alamat jika uang pelicin itu diberikan pada pimpinan KPK.

“Pimpinan ada 5, 1 orang diintervensi masih ada 4 orang. 2 orang diintervensi masih ada 3 orang, kalau pengambilan putusan pasti menang yang 3. Rasanya ketika ada pimpinan di intervensi, enggak akan mungkin pimpinan itu ngomong ke pimpinan yang lain, tolong dong perkara ini jangan karena menyangut ini ini. Hampir tidak mungkin. Selama 9 tahun (di KPK) enggak pernah saya diminta oleh pimpinan yang lain untuk mengenyampingkan perkara,” aku Alex.

Oleh karena itu, jika pihak berperkara ingin melakukan intervensi maka lebih mudah kepada penyidik, penyelidik, dan direktur (Ditreskrimsus/Direktur Penyelidikan KPK), bukan pimpinan KPK.

Direktur adalah orang yang menentukan apakah sebuah perkara cukup bukti untuk naik ke penyelidikan. Bagian penyelidikan memiliki kewenangan menentukan saksi yang akan dipanggil, dan seterusnya.

Jadi, pimpinan KPK menerima suatu perkara dalam bentuk yang sudah jadi atau siap, bukan mereka yang melakukan penyelidikan, penyidikan, mencari bukti, saksi, tersangka, dan seterusnya.

“Kita enggak tahu dari perkara yang naik itu di bawah prosesnya seperti apa. Apakah ada pihak lain yang terlibat, tetapi dikesampingkan? Bisa saja kan. Apakah ada saksi-saksi yang tidak dipanggil seharusnya dipanggil? Kita kan enggak ngerti, karena informasi itu enggak sampai,” jelas Alex.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *