Catatan Kritis untuk Pilkada Serentak 2024

“Ancaman terbesar demokrasi pada saat ini bukan dari orang-orang yang antidemokrasi, ancaman terbesar terhadap demokrasi adalah dari orang-orang yang terpilih memegang jabatan-jabatan politik secara demokratis,”

– Direktur Eksekutif LSI, Jayadi Hanan

Rekor pilkada terbesar di Indonsia telah terpecahkan. Untuk pertama kalinya, Indonesia menyelenggarakan Pilkada Serentak di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, dan 508 kabupaten/kota.

Meski terbesar dan dilakukan di tahun yang sama dengan pemilihan presiden juga legislatif, Pilkada Serentak ini berjalan relatif “adem” dan tak terdengar adanya huru-hara.

Meski demikian, tak bisa dipungkiri kekurangan pasti ada untuk setiap pengalaman pertama. Dan berikut ini adalah catatan kritis dari sejumlah tokoh untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.

Pengamat Politik Ahmad Khoirul Umam menyorot perlunya menjaga netralitas dan independensi aparat atau instrumen negara dalam Pilkada dan dalam menjalankan kehidupan demokrasi ke depan.

Poin kedua, Umam mencermati dari sisi waktu pelaksanaan, terutama dalam proses kampanye kemarin begitu terbatas.

“Diakui atau tidak, itu pasti menjadi tantangan yang luar biasa bagi partai-partai politik termasuk khususnya bagi para peserta dari Pilkada. Oleh karena itu ke depan aspek keserentakan yang memang betul-betul kemarin disepakati dijalankan semuanya, praktis sekarang 545, barangkali tampaknya akan ada banyak sekali hal yang perlu dievaluasi,” kata dia dalam program Satu Meja The Forum Kompas TV (27/11/2024).

Catatan selanjutnya, Umam mengritisi maraknya praktik politik uang dalam pelaksanaan Pilkada Serentak. Praktik ini nampaknya sudah membudaya dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur demokrasi kita. Untuk itu, pendidikan politik untuk masyarakat harus terus diberikan, bahkan ditingkatkan.

Terakhir, dari sisi efektivitas pemerintahan, Pilkada Serentak yang dilakukan hanya selang 9 bulan dari Pemilu, bagi Umam memiliki plus minus yang tak bisa terhindarkan.

“Sisi baiknya akan ada sebuah soliditas dalam konteks nasional dan juga lokal, kepemimpinannya baru semua. Tapi di saat yang sama, tentu ini akan menjalankan sebuah roda pemerintahan baru semuanya, dari nasional, lokal, dan impact-nya butuh konsolidasi 6 bulan bahkan 1 tahun. Praktis pemerintah nasional maupun lokal akan bekerja secara optimal awal 2026,” jelas Umam.

Satu Meja The Forum edisi spesial Pilkada, 27 November 2024.

Sementara itu, Ketua DPP PDIP, Deddy Sitorus melihat secara umum Pilkada Serentak sudah berjalan baik. Namun, ia menggarisbawahi pentingnya membangun peradaban bangsa dengan tidak membiarkan terjadinya kecurangan atau pelanggaran dalam pelaksanaan pesta demokrasi semacam Pilkada ini. Harus ada konsekuensi yang didapat.

Selanjutnya, yang menjadi catatan PDIP adalah banyaknya terjadi pelanggaran penyalahgunaan kekuasaan di daerah-daerah.

“Itu dibuktikan dengan banyaknya temuan, jadi bukan omdo. Sebenarnya Pemilu ini harus yang berkontestasi adalah mereka yang legal secara undang-undang, tetapi ketika polisi masuk ke dalam arena, ketika ASN masuk ke dalam, saya tidak mengatakan di seluruh Indonesia, tetapi praktik-praktik ini terjadi di banyak tempat,” kata Deddy

Walaupun terjadi hanya di satu titik, penyalahgunaan kekuasaan teraplah satu pelanggaran yang harus ditangani. Deddy berharap agar jangan dibiarkan begitu saja, sehingga akan menjadi yurisprudensi di kemudian hari.

Beralih pada Politisi Partai Gerindra, Maruarar Sirait. Ketika diberi pertanyaan yang sama tentang catatan untuk pelaksanaan Pilkada Serentak, Ara, demikian sapaan akrab Maruarar, justru hanya menanggapi pernyataan Deddy soal penyalahgunaan kekuasaan yang melibatkan aparatur negara.

Menurutnya, polisi dan TNI sudah bekerja dengan profesional. Prabowo sebagai Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra juga tidak menggunakan cara-cara yang menyalahi aturan otu. Buktinya, kandidat yang didukung oleh Gerindra ada yang kalah dan tidak meraup suara tertinggi di Pilkada kemarin.

“Ada banyak juga tempat kita enggak berhasil kok, jadi sangat tergantung juga kepada figur orangnya,” kata Ara.

Ia juga berpandangan jika Pilkada ini dilakukan dengan tidak jujur, maka rakyat akan bersuara dan tidak akan memberikan kepercayaan pada pemerintah. Namun nyatanya, Partai Gerindra yang merupakan bagian dari pemerintahan justru mendapat banyak kemenangan di daerah-daerah yang sebelumnya bukan menjadi basis Gerindra.

Misalnya Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan lain-lain.

“Silakan berpandangan seperti itu, kita enggak bisa paksa. Tapi kami berkeyakinan, saya kader Partai Gerindra, jelas ya Pak Prabowo itu tidak menggunakan alat-alat negara, mau polisi kek, mau ASN kek, dan itu lahir dari proses demokrasi yang ada,” tegas Ara.

Dengan nada lebih netral, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ace Hasan Syadzily melihat Pilkada Serentak yang dihelat di tahun yang sama dengan Pemilu ini sebagai hal baru, pengalaman pertama bagi Indonesia. Untuk itu, pasti masih terjadi kekurangan di sana-sini.

Namun, jangan evaluasi di tengah jalan. Proses Pilkada masih berlangsung. Tunggu hingga tahap akhir selesai.

“Maka kita harus lihat dulu secara keseluruhan proses dari mulai pendaftaran hingga nanti pada saat penetapan. Kalau kita melihat dari hasil quick count yang dilakukan atau hitung cepat, tentu kita masih belum utuh untuk melihat bagaimana sesungguhnya evaluasi yang harus kita lakukan,” ujar dia.

Hal lain yang menjadi kekhawatirannya adalah tingkat partisipasi publik, apakah tetap, meningkat, atau justru menurun, jika diadakan 2 kali pesta besar dalam kurun waktu berdekatan.

“Biasanya, dalam satu term tahun antusiasme publik terhadap pelaksanaan setelah satu pesta besar kemudian ada pesta besar lagi itu apakah memiliki tingkat partisipasi yang tinggi atau baik. Karena itu, menurut saya soal waktu yang paling tepat (untuk menjadi catatan),” pungkas Ace.

Lain dengan Ace, politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Edi Suparno melihat pelaksanaan Pilkada Serentak yang dihelat di tahun yang sama dengan Pilpres dan Pileg menjadi tantangan besar bagi partai-partai politik. Ia khawatir tentang ausdouer atau stamina yang dimiliki penyelenggara, partai politik sebagai peserta, dan masyarakat sebagai pemilih.

“Tetapi kita bisa membuktikan kok, bahwa kita diberikan pekerjaan dan tugas begitu besar, dilaksanakan dengan sangat baik. Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia bisa membuktikan pada dunia bahwa Pemilu kita berjalan lancar, Pilpres, Pilkada berjalan lancar. Jadi demokrasi di Indonesia itu berhasil dengan baik dan ini kita bisa buktikan,” kata Edi.

Meski berjalan relatif baik, Edi melihat masih ada beberapa hal yang penting menjadi catatan. Sama dengan Umam, Edi melihat praktik politik uang masih banyak terjadi. Selain itu juga terjadi intimidasi yang harus diperbaiki ke depan.

“Kita sudah memilih bahwa sistem kita bernegara adalah demokrasi, sistem-sistem yang lain mungkin ada untungnya ada ruginya, tetapi demokrasi terbaik bagi kita, bagaimana sekarang kita memperbaiki kualitas dari demokrasi kita ke depannya,” ujarnya.

Catatan lain adalah soal apakah Pilkada semacam ini apakah produktif bagi demokrasi Indonesia atau justru sebaliknya.

“Menurut saya ada setidaknya tiga wacana yang mungkin ke depan bisa kita terus perdebatkan. Yang pertama, bahwa kita tetap jalankan Pilkada langsung ini dengan reformasi sistemik,  misalnya yang terkait dengan regulasi money politics, soal netralitas lembaga negara, macam-macam bentuk intimidasi, dan lain sebagainya,” sebut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Hanif Dakiri.

Salah satunya dengan memperbaiki proses penjaringan calon kandidat yang di pilkada langsung selalu mengandalkan popularitas, uang, dan mesin partai. Wacana kedua adalah mengadakan pilkada tidak langsung.

“Misalnya di tingkat Pilgub, karena Gubernur itu adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat boleh jadi dipilih oleh DPRD. Tetapi untuk kabupaten/kota tetap dipilih langsung oleh rakyat,” ujar Hanif.

Wacana terakhir adalah soal waktu pelaksanaan Pilkada Serentak, apakah segera setelah pemilu presiden dan legislatif, atau diberi jeda paling tidak satu tahun.

“Juga bisa dilaksanakan secara berjenjang, misalnya berbasis zona waktu. Misalnya tiga kali. Karena ini salah satu yang kita lihat berat, pasti kompleksitasnya dari penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan semua instrumen yang terkait dengan pemilu,” jelas Hanif.

Tak hanya bagi penyelenggaraan dan pengawas, beban berat juga ditanggung oleh partai-partai politik.

“Setelah Pilkada ini, nganggur semua. Kita semua nganggur sampai dengan 5 tahun ke depan. Dan ini menjadi tantangan besar di partai, tiba-tiba nanti ada ranting mati dan lain sebagainya, sehingga kalau dibuat berjenjang mungkin masih ada kerjaan partai politik ya,” kata Hanif.

Host Satu Meja Budiman Tanuredjo dan co-Host Frisca Clarissa.

Sementara itu, dari sisi lembaga survei catatan kritis juga diberikan untuk pelaksanaan Pilkada Serentak.

Misalnya, Bestian Nainggolan dari Litbang Kompas yang menyebut ada sisi positif dan negatif dari Pilkada Serentak kali ini dibandingkan pelaksanaan pilkada sebelumnya.

Sisi positifnya, pilihan masyarakat kali ini ditentukan pada identitas politik kandidat, bukan identitas sosial.

“Pemilahan-pemilahan berdasarkan identitas sosial itu kecenderungannya memang memancing partisipasi pemilih yang tinggi, tetapi di sisi lain pemilahan berdasarkan pilihan partai politik dan segala macam ini justru memperkuat basis loyalitas dari masing-masing partai,” sebut Bestian.

Sedangkan sisi negatifnya, kandidat kurang mengeksplor program-program yang berkaitan dengan isu wilayah, memang disebutkan dalam kampanye. Namun, kekuatan identitas politik terasa lebih ditonjolkan, sehingga masyarakat pun memilih lebih beradasarkan identitas politik itu ketimbang program kewilayahan yang ditawarkan.

Terakhir, dari Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Jayadi Hanan, ia menegaskan pilkada semacam ini wajib dipertahankan, karena menjadi praktik demokrasi yang hidup di masyarakat. Ia menyebut, demokrasi di berbagai negara kini mengalami ancaman nyata. Untuk itu, Indonesia harus terus menjaga napas demokrasinya dari ancaman-ancaman yang mungkin ada.

Selanjutnya, pemilu dan partai politik yang sudah ada perlu terus direformasi secara bersama-sama, secara sistemik.

“Saya beberapa kali mengusulkan ketika menjadi saksi ahli di MK supaya rezim pemilu itu dibagi menjadi dua: pemilu nasional dan Pemilu lokal. Pemilu lokal menurut saya dibagi dua lagi: pemilu provinsi dan pemilu kabupaten/kota. Dengan begitu, partai akan terus hadir di masyarakat, sehingga partai lama-lama mereformasi dirinya secara alamiah, tidak dipaksakan,” ungkap Jayadi.

Terakhir, ia juga berpesan agar lembaga survei, lembaga yang menerbitkan hasil survei dan hitung cepat agar tidak turut merusak demokrasi dengan hasil-hasil kerjanya.

Bukan rahasia lagi, bahwa lembaga survei bisa dipesan hasilnya agar sesuai dengan kebutuhan politis pihak penguasa.

“Ancaman terbesar demokrasi pada saat ini bukan dari orang-orang yang antidemokrasi, ancaman terbesar terhadap demokrasi adalah dari orang-orang yang terpilih memegang jabatan-jabatan politik secara demokratis. Karena itu, kita jangan sampai menjadi ancaman terhadap demokrasi itu sendiri,” kata Jayadi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *