Partai Politik Bisa-Bisa Jadi “Perampok yang Terorganisir”

“Kalau parpol itu mencari profit tapi (dengan cara) menggusur menggerus uang APBN. Jadi bagi saya parpol ini kalau enggak hati-hati menjadi satu perampokan yang terorganisir….”

– Prof Komaruddin Hidayat

Ada sejumlah fungsi dari partai politik, salah satunya adalah menjadi sarana komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Partai politik berfungsi menjaring aspirasi publik lalu mengusulkannya menjadi rumusan kebijakan di pemerintahan. Partai politik juga berfungsi untuk menyampaikan hasil kebijakan pemerintah kepada publik, sehingga bunyi kebijakan bisa diketahui secara tepat oleh khalayak.

Sayangnya, partai politik di Indonesia tak lagi berfungsi demikian. Partai yang seharusnya menjaring aspirasi rakyat, kini justru berupaya membeli suara tersebut. Setidaknya itu disampaikan oleh Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

“Yang terjadi antara Negara dan rakyat ini ada jarak yang mestinya dijembatani parpol dan pemerintah, tapi parpol dan pemerintah ini terjadi keterputusan dengan rakyat,” kata Komaruddin dalam wawancara bersama Budiman Tanuredjo untuk siniar Back to BDM.

Sejumlah orang mengatakan partai politik tak ubahnya sama dengan perusahaan. Mereka beroperasi dengan dipimpin oleh seorang CEO untuk perusahaan, dan Ketua Umum untuk partai politik. Keduanya sama-sama memproduksi sesuatu untuk mendapatkan keuntungan. Jika perusahaan menawarkan barang atau jasa untuk mendapat pemasukan dan laba, partai politik memiliki kader untuk disebar di berbagai lembaga penyelenggara negara kemudian bisa memeroleh sesuatu dari sana.

Prof. Komaruddin Hidayat dalam podcast Back to BDM.

Di balik kesamaan itu, Komaruddin melihat perbedaan signifikan di antara keduanya, terutama dalam segi fungsi. Perusahaan dijalankan untuk kepentingan bisnis, tidak ada kaitannya dengan amanat, janji, atau moral kebangsaan.

“Tapi parpol itu adalah instrumen rakyat yang dia harus membawa cita-cita, suara, aspirasi rakyat dalam rangka menciptakan pemerintah yang bagus dan pemerintah ini melayani rakyat,” sebut Komaruddin.

Perbedaan lain, perusahaan mengejar profit dari penjualan barang dan jasa yang mereka produksi demi menciptakan kesejahteraan bersama. Sementara partai politik, sama-sama mencari profit, namun dengan cara yang lain.

“Kalau parpol itu mencari profit tapi (dengan cara) menggusur menggerus uang APBN. Jadi bagi saya parpol ini kalau enggak hati-hati menjadi satu perampokan yang terorganisir, lebih parah daripada perusahaan. Organized crime, karena yang diburu itu profit yang bukan jenuin hasil karya, tapi dana rakyat yang dititipkan negara yang ingin diambil,” jelas peraih gelar Doktor bidang Filsafat Barat di Middle East Technical University, Ankara, Turki ini.

Indonesia dan demokrasi

Dari parpol, BDM dan Komaruddin Hidayat berbincang soal hal lain. Salah satunya mengenai pseudo democracy. Artinya, sebuah sistem politik yang nengklaim dirinya demokratis, namun pada kenyataannya tidak benar-benar menawarkan pilihan bagi warga negara.

Misalnya dalam pemilu atau pemilukada, kandidat-kandidat yang diajukan adalah hasil rembug para petinggi partai atau kelompok tertentu, yang kadang mengabaikan suara rakyat.

Rakyat dipaksa memilih kandidat yang terbatas, kandidat yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka. Misalnya di Pilkada Jakarta 2024, cukup massif sebagian masyarakat Jakarta menyuarakan Anies Baswedan kembali mencalonkan diri di panggung politik daerah itu, namun semua tidak terjadi. Suara mereka seolah tak diindahkan. Partai politik lebih memilih kandidat yang mereka rembug sendiri, meski suara sumbang penolakan terdengar di sana-sini.

Pseudo democracy juga bisa dilihat dari Pilkada yang hanya memiliki satu kandidat tunggal yang disandingkan dengan opsi kotak kosong. Itu opsi yang tidak menjadi pilihan. Demokrasi yang tidak demokratis. Atau jika melihat pada jalannya pemerintahan hari ini, siapa yang tidak sesuai dengan kehendak penguasa maka akan “dilumpuhkan”. Padahal peran oposan, peran penyeimbang sangat dibutuhkan di sistem politik demokrasi.

Pria kelahiran Magelang, 18 Oktober 1953 ini melihat sistem demokrasi bagi Indonesia adalah sesuatu yang mau tidak mau, suka tidak suka harus digunakan.

“Geneologi Indonesia Republik ini memang tidak ada pilihan lain kecuali republik demokrasi, karena begitu plural, enggak mungkin kerajaan, enggak mungkin khalifah, harus demokrasi. Tapi demokrasi itu ibarat ini (Indonesia) tanah  demokrasi itu benih. Tanah Indonesia itu belum siap (ditanami benih demokrasi) dan kapan siapnya saya juga masih agak gamang,” ujar dia.

Di tengah pluralitas yang ada di Indonesia, demokrasi adalah pilihan tunggal yang sudah terkunci. Sayangnya, demokrasi berjalan dengan tidak sehat. Syarat-syarat demokrasi sehat tidak terpenuhi di praktek politik Indonesia. Itu kata Komaruddin.

“Akhirnya kemudian terjadi satu pseudo, palsu demokrasi,” ujarnya.

Komaruddin Hidayat menerima sejumlah buku karya BDM.

Meski negara ini berbentuk Republik, namun Komaruddin menyebut mentalitas orang-orang di dalamnya masih belum sepenuhnya paham dan tidak berkomitmen pada demokrasi. Orang-orang Indonesia masih feodal, bahkan Komar mengatakan sangat feodal.

“Bung Hatta dan para pendiri bangsa yang lain itu kan dia mengenalkan trias politika, demokrasi model barat, sementara mentalitas kita sesungguhnya tidak siap, masih feodalistik, masih feodalistis, sangat feodal,” kata Komar.

Perlu dirumuskan lebih lanjut, demokrasi macam apa yang paling cocok dan sesuai dijalankan di Indonesia. Mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menyebut Indonesia perlu dipimpin oleh seseorang yang seperti Nabi Musa yang memiliki ciri-ciri strong, clever, dan clean.

“Musa itu strong, clever, dan clean. Jadi bangsa negara yang lembek itu perlu pemimpin yang strong, ten commandement gitu. Mengapa, karena Bani Israel itu lembek di bawah Firaun, jadi diperlukan tongkat Musa. Tapi harus clever dan clean,” sebutnya.

Sayang, di Indonesia hal itu belum terpenuhi. Pemimpin di negara ini masih banyak yang berorientasi pada kekuasaan semata. Sifat pemimpin yang strong dan clever itu terpenuhi, tapi tidak dengan sifat clean.

Satu negara yang menurutnya memenuhi kriteria strong, clever, dan clean itu adalah Singapura.  Sementara Indonesia masih belum bisa memenuhinya.

“(Pemimpin) Sekarang lebih pada bukan clever, aduh kalau untuk mengatakan culas gitu terlalu kasar ya, saya enggak mau istilah itu. Kaning, clever tapi tidak disertai dengan clean. Jadi (pemimpin kita) clever, tapi clever tidak clean ya,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *