“Yang terjadi antara Negara dan rakyat ini ada jarak yang mestinya dijembatani parpol dan pemerintah, tapi parpol dan pemerintah ini terjadi keterputusan dengan rakyat….”
– Komaruddin Hidayat, Rektor UIII
Sebagai sebuah negara, tahun ini Indonesia sudah menginjak usia ke 79, hampir 8 dekade sejak kemerdekaan diproklamasikan. Meski begitu, kemiskinan masih mudah ditemukan, kesenjangan menjangkit hampir di semua aspek kehidupan.
Modernitas memang nampak di sana-sini, dunia digital juga telah menjangkau masyarakat di berbagai lapisan. Namun Indonesia belum cukup untuk dikatakan sebagai negara maju. Indonesia dengan segala kekayaan dan potensi yang dimilikinya belum bisa melampaui negara-negara lain di Asia yang memiliki perekonomian lebih mapan. Sebutlah Singapura, Korea Selatan, juga China.
Komaruddin Hidayat, seorang profesor yang merupakan mantan Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) juga mempertanyakan hal itu. Ia heran, dengan segala sumber daya alam dan manusia yang dimiliki, mengapa Indonesia masih betah menjadi negara konsumen, bukan produsen.
“Kita sudah merdeka hampir 80 tahun, mendekati seabad kemerdekaan, tapi mengapa dibanding negara-negara lain yang merdekanya hampir bersamaan, padahal negara ini alamnya kaya, penduduknya juga banyak, besar, tapi kita kok masih menjadi negara konsumen?” ujar Komar dalam perbincangannya bersama Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.
Komar menilai tingkat pendidikan Indonesia masih rendah, begitu pula dengan kualitas ekonomi, industri, dan pertaniannya. Yang terjadi justru suasana politik yang penuh keributan dan pertengkaran, hal lain birokrasi dipandang kurang melayani publik.
“Indonesia ini ongkosnya mahal untuk menjaga persatuan, kerukunan, stabilitas, dan sebagainya mahal. Tapi hasilnya, ibarat bisnis itu enggak imbang antara biaya, cost yang telah dikeluarkan dan profit, hasil yang diraih, itu enggak imbang,” kata pria yang pernah dua kali menjabat Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Salah manajemen, sederhananya. Demikian kurang lebih penulis buku Theology of Hope ini menjawabnya. Ada beberapa titik kesalahan menurutnya.
Pertama, pola pikir masyarakat Indonesia masih terikat dengan etnisitas, agama, dan sebagainya, belum merasa menjadi warga negara atau citizen.
Yang kedua, masyarakat tidak memahami bahwa merekalah yang sesungguhnya melahirkan negara, membuat Indonesia ada.
“Masyarakat ini mestinya harus mengawal, mengasuh (negara). Dia lupa, dia tidak paham bahwa yang namanya modern state, negara moderen itu sangat powerful yang dia menguasai aset kekayaan dari Aceh sampai Papua, itu negara yang pegang. Yang namanya angkatan bersenjata, diplomasi luar, dalam negeri, birokrasi itu negara (yang menguasai), dan negara itu sangat powerful,” jelas dia.
Ia menyoroti persoalan dimana negara justru tidak menjalankan kewajibannya untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat melalui pemerintahan yang dibentuk.
Aspirasi rakyat semestinya bisa disalurkan melalui partai politik yang kader-kadernya kemudian duduk di tataran legislatif dan memiliki peran untuk menentukan arah kebijakan. Namun hal itu tidak terjadi sebagai mana diharapkan.
“Yang terjadi antara Negara dan rakyat ini ada jarak yang mestinya dijembatani parpol dan pemerintah, tapi parpol dan pemerintah ini terjadi keterputusan dengan rakyat. Lebih-lebih ketika biaya politik, mobilitas politik itu ongkosnya mahal sekali,” sebut Komar.
Di lapangan, partai politik yang semestinya menjaring suara atau aspirasi rakyat, justru kini berlomba membeli suara rakyat. Orang-orang pintar tidak disertakan dalam tubuh partai politik. Partai politik pun seolah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan.
“Disinilah kemudian terjadi satu miss management, baik dalam arti pemikiran, arti moral, baik dalam arti mekanisme politik, ini miss management negara dan pemerintah ini,” kata Komar mengakhiri pembahasan soal kesalahan manajemen dalam bernegara.
Leave a Reply