Uang dan Orang Besar di Balik Kasus Mafia Hukum

“Kalau di kasus Surabaya dari apa yang diungkap oleh Kejaksaan, ternyata kan uang besar di situ. Walaupun mungkin di awalnya ada dugaan ini melibatkan orang besar,”

– Binziad Kadafi, Pakar Hukum sekaligus Komisioner KY

Ada satu adagium yang sudah sering terdengar di tengah masyarakat kita, yakni hukum di Indonesia begitu tumpul ke atas tapi runcing menusuk ke bawah. Hukum nampaknya tidak berlaku sama bagi kalangan berada dan kalangan papa.

Bagi mereka yang memiliki kekuatan kapital atau kekuasaan tertentu, hukum dengan mudah dibeli, dimanipulasi, sehingga ganjaran atas pelanggaran berat yang mereka lakukan bisa ditekan seminimal mungkin, bahkan ditiadakan. Lain dengan kelompok bawah, meski pelanggaran hukum yang dilakukan terbilang kecil, hukum tetaplah hukum. Mereka akan dijatuhi hukuman sesuai dengan aturan yang berlaku meski terkesan terlalu berat untuk kesalahan kecil yang mereka lakukan.

Pertanyaannya, apa yang membuat kelompok atas itu terkesan memiliki imunitas lebih kuat di hadapan hukum? Adakah ini terkait dengan maraknya kasus mafia hukum, mafia peradilan di Indonesia?

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menyebutkan dengan tegas, selalu ada orang besar, uang besar, atau bahkan kombinasi keduanya di balik setiap kasus mafia hukum. Proses peradilan yang “berbau amis” terjadi karena ada orang besar yang terlibat di balik suatu kasus atau ada pihak yang telah memberikan uang besar kepada mereka para penegak hukum.

“Betul betul betul (selalu ada uang besar atau orang besar di balik kasus mafia hukum),” kata Dafi saat diwawancara Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM.

Misalnya pada kasus terbaru terkait vonis bebas untuk Gregorius Ronald Tannur yang diberikan oleh 3 orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya atas nama Erintuan Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Dari tuntutan 12 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 338 KUHP,  tiba-tiba secara aklamasi hakim dengan mudahnya memberikan kebebasan pada Ronald Tannur.

“Bagi saya, apa yang dikerjakan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya ini luar biasa berani ya, dalam arti dari tuntutan 12 tahun kemudian dibebaskan secara aklamasi. Itu di luar nalar saya hakim berani membebaskan itu,” ujar BDM kepada Dafi.

Dafi membenarkan adanya keanehan sebagaimana dirasakan oleh BDM. Keanehan itulah yang memicu KY untuk melakukan pemeriksaan dan investigasi lebih lanjut.

“Ya karena itu kemudian KY melakukan pemeriksaan, melakukan investigasi, dan pemeriksaan, dan pada pada akhirnya merekomendasikan sanksi yang cukup berat,” jelas ahli hukum yang mendapatkan gelar Master of Laws (LL.M) dari University of Washington, Amerika Serikat itu.

Dan dalam kasus Ronald Tannur ini, Dafi melihat keberadaan uang besar lebih mendominasi ketimbang orang atau nama besar di baliknya.

“Kalau di kasus Surabaya dari apa yang diungkap oleh Kejaksaan, ternyata kan uang besar di situ. Walaupun mungkin di awalnya ada dugaan ini melibatkan orang besar,” ujar Dafi.

“Saya rasa kasuistis. Mungkin kadang-kadang juga di kasus-kasus tertentu itu saling campur. Tapi menurut saya umumnya dari kasus yang OTT KPK di Mahkamah Agung yang kemudian pada akhirnya menempatkan seorang Hakim Agung sebagai terpidana, beberapa orang Hakim yang bekerja di Mahkamah Agung termasuk pegawai itu sepertinya uang besar kalau di situ,” ia melanjutkan.

Agar Peradilan Objektif Mengadili Mafia Hukum

Tiap penegak hukum yang terlibat dalam praktik mafia peradilan akan selalu ditindaklanjuti secara hukum pula.

Namun, selama ini proses peradilan yang berjalan untuk mengadili para penegak hukum pelaku mafia peradilan ditangani oleh rekan sejawat mereka sendiri. Misalnya hakim yang melanggar akan diadili oleh hakim juga. Polisi yang menyalahi aturan diperiksa oleh polisi juga. Layaknya “jeruk makan jeruk”.

Menanggapi hal tersebut, Dafi tidak sepenuhnya setuju. Menurutnya, banyak hakim yang mengeluarkan keputusan yang tegas, menyatakan salah adalah salah, sekalipun rekan sesama hakim yang duduk di bangku terdakwa. Meski tidak bisa dipungkiri, terkadang vonis yang dijatuhkan kurang berat atau pidana yang diterapkan kurang memadai sehingga tidak menimbulkan efek jera.

“Tetapi menurut saya ada peluang untuk hakim dengan karakter independency, yang sejak awal mereka didoktrin dengan itu, dididik dengan itu, terlepas dari berbagai keterbatasan dan intervensinya yang kemudian membuat pada akhirnya hakim bisa melakukan tindakan yang juga tegas,” jelas Dafi.

Demi menghindari ketidaknetralan penegak hukum dalam mengadili sesamanya, ada usulan untuk membentuk sistem semi juri atau semacam Hakim Ad Hok temporer untuk mengadili mafia peradilan sebagaimana 3 Hakim dari PN Surabaya maupun mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar. Jadi, ada pihak yang berasal dari luar (tidak terkoneksi dalam jejaring terdakwa) diangkat menjadi hakim Ad hok yang bersifat sementara dan dilibatkan untuk mengadili kasus terdakwa bersama dengan hakim-hakim asli.

Wawancara Budiman Tanuredjo dengan Binziad Kadafi.

Pihak luar dinilai bisa lebih leluasa dan memiliki kebebasan dalam mengadili. Sehingga kepercayaan publik terhadap peradilan khususnya yang menangani kasus mafia, bisa ditumbuhkan.

Meski gagasan itu terbilang baru, namun Dafi tidak menutup diri untuk setiap gagasan pembaharuan yang ditujukan untuk memperbaiki praktik peradilan di Indonesia.

“Itu satu usulan yang menurut saya layak untuk di-asses, dikaji secara mendalam. Kalau memang dari assesment yang profesional, yang mendalam itu kita yakini kemudian akan berujung pada sesuatu yang lebih baik,” ujar dia.

Namun pria berusia 49 tahun ini menyebut ada juga usulan lain yang tengah dibahas demi terciptanya peradilan yang netral dan objektif untuk menangani perkara mafia seperti ini, yakni dengan meniadakan sistem majelis hakim dan menggantinya dengan hakim tunggal. Dengan sistem hakim tunggal, sebuah keputusan bisa dilihat dengan sangat jelas siapa orang yang bertanggung jawab di balik putusan itu. Tidak seperti sistem majelis, di mana hakim-hakim dengan keputusannya bisa berlindung atas nama kolegialitas. Tak berhenti di situ, ada juga gagasan untuk membentuk forum privilegiatum.

“Jadi untuk peradilan terhadap pejabat-pejabat publik yang dianggap punya pengaruh, punya kekuasaan besar itu dilakukan oleh Mahkamah Agung langsung, oleh Hakim-Hakim Agung terpilih yang harapannya relatif jauh dari potensi intervensi,” ungkap Dafi.

Selain dari sistem pengadilannya, penanganan kasus-kasus mafia hukum juga harus diberi warna baru yang lebih berani dan keras. Tujuannya satu, agar para mafia yang jelas-jelas terbukti melakukan jual-beli hukum bisa dijatuhi hukuman yang membawa efek jera sehingga pihak lain yang berniat melakukan hal yang sama di masa depan tak lagi memiliki keberanian dan mafia hukum di Indonesia pun bisa benar-benar ditumpas.

“Betul betul betul, saya setuju bahwa harus ada kebijakan yang out of the box, yang tidak biasa-biasa saja. Tapi maksud saya ini enggak boleh diperlakukan sebagai business as usual kalau memang akan ada inovasi-inovasi tertentu untuk memperkuat akuntabilitas prosesnya. Selama kemudian itu difasilitasi dengan kerangka hukum yang semestinya, bisa kita bicarakan,” pungkas dia.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *