Akhiri Mafia Peradilan di Indonesia

“Kesadaran bahwa ini memang ya sudah waktunya, enough is enough, komitmen itu yang harus kita bangun. Optimisme itu memang kita harus selalu bangun dari waktu ke waktu. Terlepas dari tantangan seberat apapun yang kita hadapi, terlepas dari fakta atau kenyataan pada akhirnya mungkin hanya sebagian kecil dari komitmen tersebut yang bisa terealisasi,”

– Binziad Kadafi, Pakar Hukum sekaligus Anggota KY

Terungkapnya kasus suap yang melibatkan 3 orang hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Gregorius Ronald Tannur, kian menambah panjang deret mafia peradilan di Indonesia.

Dari tiga hakim atas nama Erintuan Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo itu, penyidikan kemudian dikembangkan. Hasilnya, Kejaksaan Agung meringkus mantan pejabat Mahkamah Agung Zarof Ricar, karena dia juga terlibat dengan kasus serupa, menerima suap dan mejadi makelar kasus alias mafia peradilan.

Di kediaman Zarof Ricar, penyidik menemukan uang tunai dan logam mulia seberat 51 kg yang jika dirupiahkan semuanya nyaris mencapai angka Rp1 triliun.

Sebelum nama-nama itu, kasus mafia peradilan di Indonesia sudah terjadi sejak lama. Budiman Tanuredjo mengatakan, berdasarkan arsip Kompas yang ia buka, di tahun 1970-an kasus semacam ini sudah pernah terjadi.

Lantas, setelah sekian dekade berlalu mengapa mafia peradilan masih saja leluasa beroperasi di negara ini? Adakah penanganan yang selama ini diterapkan salah langkah? Kurang efektif sehingga tidak menimbulkan efek jera?

Pakar hukum sekaligus anggota Komisi Yudisial Binziad Kadafi mengatakan memang tidak mudah untuk benar-benar memberantas mafia peradilan di Indonesia. Meski tidak mudah, namun bukan berarti tidak ada upaya sama sekali yang dilakukan untuk mengendalikannya.

Dafi menjelaskan, upaya penanganan korupsi dan suap semacam ini berbeda-beda di tiap rezim pemerintahan.

“Mungkin ada masanya di mana mafia peradilan itu relatif lebih terkendali, tentu saja sulit untuk memberantasnya secara penuh, tapi terkendali dalam artian jumlahnya tidak terlalu besar, tidak terlalu marak, mereka yang biasa melakukan mafia peradilan itu jadi lebih hati-hati. Tapi ketika rezim pemberantasan korupsi, terutama perhatian terhadap judicial corruption itu melemah maka dia akan muncul lagi,” kata Dafi saat menjadi tamu dan berbicara di Back to BDM kanal YouTube Budiman Tanuredjo.

Jangan sampai momentum itu hilang…

Kasus 3 hakim PN Surabaya dan Zarof Ricar ini terungkap tidak lama setelah terpilihnya Ketua MA yang baru, Sunarto, yang dianggap Dafi sebagai seorang praktisi hukum yang cukup berintegritas dan menjanjikan dalam hal memberantas mafia peradilan.

Jadi, kejadian ini seperti sebuah momentum yang harus dimanfaatkan dengan optimal untuk “bersih-bersih” dunia peradilan di Indonesia.

“Ini jadi momentum untuk Pak Sunarto selaku Ketua Mahkamah Agung yang baru untuk mengambil langkah tegas dan pada akhirnya juga melakukan reformasi kelembagaan di Mahkamah Agung dan lembaga peradilan kita secara komprehensif. Kami di Komisi Yudisial berkomitmen dan bersedia untuk mendukung langkah-langkah baik untuk mewujudkan transparansi, akuntabilitas, dan integritas selain independensi lembaga peradilan kita,” jelas ahli hukum yang memeroleh gelar doktoralnya di Tilburg Law School, Tilburg University, Belanda pada 2019 itu.

BDM menanyakan pada Dafi, sudah ada sekian banyak kasus besar sebelumnya yang juga disebut sebagai momentum, misalnya kriminalisasi Bibit Candra, kasus Jaksa Pinangki dan Djoko Tjandra, dan sekarang Edward Tannur. Mengapa kasus-kasus serupa masih saja terjadi dan tidak ada perubahan signifikan.

Dafi menjawabnya dengan singkat, yang dibutuhkan adalah terus membangun komitmen dan optimisme bahwa ini sudah waktunya untuk mengakhiri praktik-praktik gelap di dunia peradilan. Semua pihak harus bergerak bersama, mulai dari media, organisasi masyarakat sipil, termasuk semua lembaga negara.

“Kesadaran bahwa ini memang ya sudah waktunya, enough is enough, komitmen itu yang harus kita bangun. Optimisme itu memang kita harus selalu bangun dari waktu ke waktu. Terlepas dari tantangan seberat apapun yang kita hadapi, terlepas dari fakta atau kenyataan pada akhirnya mungkin hanya sebagian kecil dari komitmen tersebut yang bisa terealisasi,” jelas Dafi.

Wawancara Budiman Tanuredjo dengan Binziad Kadafi.

Selama ini, penanganan terhadap kasus mafia peradilan berjalan begitu formalistik. Diadili, diperiksa, dituntut. Proses itu ternyata tidak menimbulkan efek jera dan mafia-mafia lain terus bermunculan di waktu yang berbeda. Semua menanti gebrakan langkah yang lebih berani dari lembaga-lembaga penegak hukum.

Dafi menyinggung soal dikabulkannya tuntutan sejumlah hakim yang meminta ditingkatkan kesejahteraannya. Hasilnya, ada kenaikan pendapatan yang cukup signifikan untuk profesi hakim di Indonesia. Menurutnya, hal ini juga harus dijadikan momentum, khususnya bagi masyarakat Indonesia menuntut hakim bekerja dengan lebih baik untuk kepentingan keadilan.

“Anda punya keluhan terhadap kesejahteraan, kemudian ada langkah-langkah yang dilakukan kemarin termasuk cuti bersama. Kemudian keluhan mereka, aspirasi mereka lalu disambut dengan baik, termasuk oleh Komisi Yudisial kita ikut menyuarakan, kita ikut mendorong, dan pada akhirnya disetujui ya yang menggunakan uang tentu saja uang pajak rakyat. Dengan kenaikan yang cukup signifikan sekitar 40 persen itu, waktunya juga untuk kita menagih kepada mereka,” jelas pria yang pernah berkarier sebagai Peneliti Hukum di KPK itu.

Salah satu cara yang paling strategis menurut Dafi untuk menyudahi praktik mafia peradilan di Indonesia adalah dengan memeriksa Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tiap penyelenggara hukum.

Memeriksa LHKPN, berbeda dengan sekadar menerima LHKPN dari para penyelenggara negara.

“Sudah lapor, cuma kalau antara lapor kemudian dengan kesesuaian laporan itu suatu hal yang berbeda. Lapor mungkin proses administrasi, semua yang ada dilaporkan. Tapi untuk memastikan bahwa apa yang dilaporkan itu sesuai dengan kenyataan atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan terutama kalau sudah ada indikasi. Indikasi gaya hidup yang mewah yang tidak sesuai dengan profil jabatan, penghasilan, dan lain-lain. Atau terlibat dalam pusaran permainan perkara semacam ini,” ujar Dafi.

Selain itu, cara yang kedua adalah dengan menciptakan lingkungan, sistem, dan budaya kerja yang bersih, yang memungkinkan orang-orang di dalamnya terhindar dari peluang melakukan tindak koruptif. Misalnya dengan memastikan semua orang yang terlibat memilii pandangan dan visi yang sama terkait penegakan hukum. Atau memberikan ruang lebih luas bagi hakim-hakim berintegritas untuk menduduki jabatan-jabatan strategis.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *