“Semua gagasan demokrasi bertujuan melindungi hak politik warganegara, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Namun, demokrasi berubah menjadi panggung persaingan perebutan kekuasaan yang pengab dan memuakkan. Mereka berpolitik tanpa hati nurani dan tanpa rasa malu. Perubahan jabatan dan kekayaan negara di tingkat elite berlangsung dengan culas, tanpa rasa malu.”
Komaruddin Hidayat dalam “Theology of Hope”.
Budiman Tanuredjo
Jumat pekan lalu (1/11/2024), saya diminta Sekjen Nasdem Hermawi Taslim untuk membahas buku “Theology of Hope” karya Komaruddin Hidayat bersama pemikir kebhinekaan Sukidi Mulyadi dan moderator Suyoto, mantan Bupati Bojonegoro yang kini menjadi pimpinan teras di Partai Nasdem.
Acara yang digelar di Nasdem Tower itu bagi saya menarik. Relatif jarang sebuah partai membangun komunitas epistem yang mendialogkan sebuah buku atau pemikiran seseorang. Acara itu dibuka Lestari Moerdijat (Wakil Ketua MPR dari Nasdem). Hadir juga anggota DPR Nasdem Sugeng Suparwoto yang saya kenal sebagai wartawan Media Indonesia.
Sukidi tampak serius membahas buku Theology of Hope. Ia membawa buku perbandingan “How Democracy Die” karya David Ziblatt dan Steven Levinsky serta buku “On Tirany” (2017) karya Timothy Snyder. Kedua buku itu sering dijadikan Sukidi sebagai referensi saat membahas kondisi di Tanah Air. Melihat buku yang dibawa Sukidi saya menyarankan kepada Hermawi Taslim dan juga Sugeng Suparwoto agar DPR juga membangun komunitas epistem dengan membahas buku “How Democracy Die” dan “On Tirany”.
Siapa tahu ada anggota DPR yang bisa membantah thesis yang dibangun Ziblatt soal regresi demokrasi yang sedang terjadi di Tanah Air. Substansi dari buku How Democracy Die yang juga disampaikan Sukidi saat membedah buku Komaruddin Hidayat adalah terjadinya erosi terhadap demokrasi secara bertahap.
Ziblatt dan Levitsky menjelaskan demokrasi jarang runtuh melalui kudeta atau kekerasan seperti yang terjadi pada abad ke-20. Sebaliknya, demokrasi modern sering kali melemah secara bertahap melalui jalur legal yang memanfaatkan kelemahan dalam sistem demokrasi itu sendiri. Pemimpin yang berpotensi otoriter menggunakan institusi demokratis untuk memperkuat kekuasaan mereka dan melemahkan oposisi, sehingga proses ini sering kali terjadi tanpa disadari oleh publik.
Selanjuta Ziblatt, mengidentifikasi empat indikator awal pemimpin yang berpotensi otoriter.
Indikator pertama, penolakan terhadap aturan demokratis. Pemimpin yang menolak atau melemahkan norma dan aturan demokrasi menunjukkan potensi ancaman. Indikator kedua, pemimpun yang mendeligitimasi lawan politik: Pemimpin yang menuduh oposisi sebagai musuh, bahkan mengancam keselamatan nasional, menciptakan iklim intoleransi. Pemimpin yang mendukung atau mendorong kekerasan terhadap lawan politik atau kelompok lain juga menandakan bahaya. Dan pemimpin yang ingin mengurangi kebebasan pers atau mengancam hak-hak kelompok minoritas memperlihatkan tanda-tanda otoritarianisme.
Buku Theology of Hope juga ditulis Komaruddin lebih merupakan refleksi kegelisahan kelas menengah terdidik Indonesia. Kegelisahan kelas menengah terdidik terhadap situasi negeri sebenarnya sudah lama ditemukan. Saya merujuk pada Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif. Kedua kelas menengah terdidik itu berpulang dengan meninggalkan kegelisahan terhadap nasib negeri. Jakob berulang kali mengingatkan saya agar tetap menjaga negeri agar tidak mrucut. Dalam nada lebih keras dan tegas Ahmad Syafii juga mengingatkan elite negeri agar tidak tuna moral.
Jakob yang berasal dari Borobudur, Komaruddin yang berasal dari Pabelan (Magelang), dan Buya Syafii yang berasal dari Sumatera adalah pribadi-pribadi yang gelisah terhadap nasib negeri. Yang membedakan ada ekspresi kegelisahan terhadap situasi negeri yang ditandai eksploitasi alam berlebihan, korupsi dan nepotisme yang merajalela, dan elite politik yang tak mengindahkan etika. Saya menempatkan Komaruddin Hidayat di antara Jakob Oetama dan Ahmad Syafii Maarif.
Kegelisahan Komaruddin bisa dilihat dari beberapa bagian dari bukunya. Komaruddin mengingatkan, ibarat sebuah pohon Indonesia tidak memiliki akar tunggang identitas sejarah yang kuat dan homogen. Berbeda dengan Turki, Persia dan China. Akar budaya Indonesia masa lalu berupa himpunan etnis yang berproses menjadi Indonesia, prosesnya masih berlangsung sampai sekarang.
Komaruddin menganalogikan hubungan Jakarta dan daerah sebagai istri-istri teraniaya. Namun, tulis Komaruddin, pemerintah pusat melakukan pilih kasih. Ada istri yang memiliki kekayaan melimpah lalu dikuras, tetapi alamnya rusak, warganya tidak sejahtera. Lihat saja nasib Papua dengan tambang emasnya, Bangka Belitung dengan timahnya, Kalimantan denhgan Batubara, Sulawesi dengan nikel dan Aceh dengan sumber gasnya. “Warganya menjerit protes menangis melihat kekayaan alamnya ramai-ramai dijadikan obyek kenduri dan korupsi para predator,”
tulis Komaruddin.
Komaruddin merindukan hadirnya aktor politik pencerah zaman. Namun nampaknya Komaruddin frustrasi dengan situasi ini sehingga ia menulis, “Semua gagasan demokrasi bertujuan melindungi hak politik warganegara, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Namun, demokrasi berubah menjadi panggung persaingan perebutan kekuasaan yang pengab dan memuakkan. Mereka berpolitik tanpa hati nurani dan tanpa rasa malu. Perubahan jabatan dan kekayaan negara di tingkat elite berlangsung dengan culas, tanpa rasa malu.”
Komaruddin tampak begitu gelisah. Tapi bagi saya, Komaruddin, Sukidi, Mahfud sekadar menyebut nama, adalah kelas menengah terdidik yang tercerahkan yang bisa membangun kembali “intangible asset” –negara hukum, konstitusi — yang telah dirusak. Mungkin mereka bisa menjadi oposisi individual mewakili kelompok tercerahkan untuk mengembalikan lagi jalan Indonesia sebagai negara hukum. Jangan menambah beban negeri ini dengan atribusi “middle income trap” dengan “democratic transition trap” dan “continuing corruption”.
Ya kita tunggu saja. ***
Leave a Reply