Terus Melemah, Hidup Mati KPK di Tangan Presiden Prabowo

“KPK bisa dipulihkan, karena kalau kita mengutip Undang-Undang KPK bahwa KPK berada di bawah, di dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Presiden sebagai Pimpinan eksekutif bisa menentukan strategi seperti apa untuk memastikan keberadaan KPK di dalam penegakan anti korupsi,”

– Peneliti CSIS, Nicky Fahrizal

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan satu lembaga negara yang sempat oleh para pejabat korup, karena kegarangannya dalam memburu dan menangkap para pencuri uang negara.

Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir, kegagahan KPK mulai digerogoti. Secara perlahan, lembaga yang mendapat kepercayaan tinggi dari rakyat ini dicerabut kewenangannya sehingga melemahkan kekuatan yang dimiliki. Upaya pelemahan itu begitu kentara terlihat pada keputusan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo bersama DPR, yakni revisi UU KPK di tahun 2019.

Upaya melemahkan KPK kembali terlihaht di hari-hari terakhir masa jabatan Presiden Jokowi. Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2024 yang melatarbelakangi terbentuknya Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri. Wewenang KPK untuk memberangus korupsi akan dibagi atau bahkan dialihkan pada korps baru ini.

Peneliti Sosial dan Politik dari Centre for Strategic and International Study (CSIS), Nicky Fahrizal menyebut langkah-langkah yang dilakukan di era Presiden Jokowi itu sebagai bagian dari skenario besar untuk melemahkan KPK.

Siapa yang ingin melemahkan, Nicky tidak menyebutkannya secara eksplisit. Namun, ia menekankan dalam UU KPK hasil revisi, lembaga anti rasuah itu ada di dalam rumpun kekuasaan eksekutif, pemimpin tertinggi dari eksekutif adalah Presiden.

Melihat dua keputusan ini lahir di era kepemimpinan Jokowi, Nicky beranggapan Jokowi tengah berupaya memfokuskan KPK pada konteks pencegahan korupsi saja, bukan pada domain penindakan sebagaimana sebelumnya.

“Kalau menurut saya satu skenario bahwa keinginan Pak Jokowi menempatkan KPK dalam zona atau domain pencegahan, domain penindakannya dikurangi. Nah siapa yang mengisi (domain penindakan)? Yang mengisi adalah Korps Pemberatasan Tindak Pidanaana Korupsi Mabes Polri ini, itu yang diinginkan oleh Pak Jokowi,” kata Nicky.

Dari Perpres 122/2024, dapat dilihat hampir semua kewenangan KPK ada di Kortastipidkor, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penelusuran, hingga pengamanan, tidak hanya tindak pidana korupsi, tapi juga soal pencucian uang.

Nicky Fahrizal dalam Podcast Back to BDM yang tayang Rabu (30/10/2024) di YouTube Budiman Tanuredjo.

Mengapa KPK dilemahkan? Apakah KPK membahayakan? Jawabannya sederhana, KPK mengancam mereka para politisi, pejabat, bahkan oligark yang gemar mencurangi keuangan negara. Sementara bagi orang-orang yang bersih dari perkara, keberadaan KPK tentu tidak akan mendatangkan bahaya.

Jabawan serupa diberikan oleh Nicky. Ia melihat KPK dulu adalah satu lembaga yang begitu kuat, menindak siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi. Tidak pandang bulu. Mereka yang ditangkap adalah semua yang terindikasi melakukan pelanggaran, tidak peduli apakah yang bersangkutan ada di dalam kelompok kekuasaan atau merupakan bagiann dari kelompok yang berseberangan.

“Kalau saya melihat sih karena KPK ini kan memang sangat kuat pada masa itu dan memang tidak pandang bulu untuk menindak tindak pidana korupsi,” ujar Nicky menjawab alasan mengapa KPK dilemahkan.

KPK Tak Akan Dimatikan, Hanya Dilemahkan…

Meski dianggap membahayakan pihak-pihak tertentu, misalnya para pejabat, politisi, atau kalangan oligark korup, KPK kemungkinan besar tidak akan dihilangkan atau dimatikan.

Lembaga yang akhir Desember nanti berusia 22 tahun itu menurut Nicky hanya akan dilemahkan secara perlahan dan ditempatkan pada domain pencegahan tipikor saja, bukan penindakan. Dengan demikian, meskipun ada, KPK tidak akan memiliki banyak peran seperti sebelumnya.

“KPK ini kan memang aktor yang berbahaya bagi para koruptor. Dan koruptor ini memiliki jejaring-jejaring, koneksi-koneksi politik di elit politik. Maka kalau saya melihat bagaimana caranya KPK ini dilemahkan,” sebut Nicky.

Budiman Tanuredjo saat sesi dialog dengan Nicky Fahrizal.

Cara melemahkannya pun akan dicari yang paling tidak kentara. Nicky mencontohkan dimulailah dengan revisi UU KPK, dikurangi beberapa wewenangnya, dimasukkan lah orang-orang bermasalah ke dalam internal KPK. Dengan demikian KPK akan terus ribut di internalnya, tak lagi garang dalam memburu para pelaku korupsi, dan ujungnya tidak lagi mendapat simpati dari publik.

Menurutnya, melemahkan KPK merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Alasannya, ada jajaran masyarakat sipil yang siap melindungi lembaga itu. KPK dianggap sebagai lembaga yang penting untuk rakyat. Maka rakyat pun akan dengan senang hati menjaganya ketika terjadi upaya-upaya yang tidak diinginkan yang dialamatkan pada KPK.

“Kita tahu persis ya kasus Cicak versus Buaya Jilid I, Jilid II, di mana ketika itu KPK ingin dilemahkan, lalu masyarakat sipil bergabung dan melakukan protes besar pada saat itu. Maka diperlukan suatu cara bagaimana caranya KPK ini dilembahkan secara perlahan,” ujar Nicky.

“Caranya apa, melalui hukum, lewat rekayasa hukum itu sehingga nampak legal, nampak absah, seperti itu. Itu yang dilakukan,” ia melanjutkan.

Instrumen hukum digunakan untuk melemahkan fondasi negara hukum demokratis. Namun hanya sebatas melemahkan, bukan mematikan. Alasannya, ada ongkos politik mahal yang harus dibayar jika pemerintah atau DPR benar-benar ingin ‘membunuh’ KPK.

“Ongkos politik terlalu besar apabila langsung dimatikan. Pasti akan ada penolakan dari masyarakat dan kita tahu persis Presiden Jokowi sangat memperhatikan sekali citra model-model seperti itu,” ungkap Nicky.

Selain perlawanan dari masyarakat, penghapusan KPK akan membuat Indonesia dipandang bukan lagi sebagai negara hukum demokratis oleh dunia internasional.

Hidup Mati KPK di Tangan Prabowo…

Masa kepemimpinan Presiden Jokowi telah berakhir. Revisi UU KPK dan Perpres 122/2024 telah dikeluarkan. Keduanya diakui atau tidak terbukti efektif memperlemah eksistensi KPK.

Selanjutnya, tongkat komando ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Prabowo lah yang kini memiliki kuasa untuk menentukan nasib selanjutnya dari KPK, apakah benar-benar akan diakhiri, dipelihara dengan segala kelemahannya, atau justru diperbaiki dan difasilitasi untuk kembali bangkit?

Jika Prabowo benar-benar memihak pada kepentingan rakyat sebagaimana sering ia sampaikan dalam orasi-orasi politiknya, maka menyelamatkan KPK adalah hal yang wajib dipilih.

“Pak Prabowo ini harus menentukan sikapnya, apakah ingin merevitalisasi KPK atau tetap membiarkan KPK menjadi lemah. Political will Pak Prabowo ditunggu oleh masyarakat Indonesia hari ini,” ujar Nicky.

Jika memang Kepolisian akan diperkuat dan diperluas tugas juga fungsinya hingga ke ranah pemberantasan korupsi, maka Indonesia akan memiliki 2 aktor pemberantasan korupsi: Kortastipidkor Polri dan KPK. Prabowo benar-benar harus menyingkronkan keduanya dan menghitung bagaimana pembagian porsi masing-masing aktor. Apakah dibagi berdasarkan ranah kerjanya, ditentukan berdasarkan siapa pelakunya, besar kecil kejahatannya, atau yang lain.

Namun, jika memang Prabowo menginginkan KPK untuk diakhiri, Nicky menyebut itu hal mudah untuk dilakukan. Misalnya dengan membiarkan proses seleksi calon pimpinan dan calon dewan pengawas yang saat ini tengah berlangsung. Siapapun yang terpilih, apapun pro-kontra yang meliputi sang capim atau cadewas, Prabowo tak usah ambil pusing. KPK akan redup dengan sendirinya, tanpa perlu dihantam dengan serangan-serangan baru.

Sebagai warna negara, Nicky menanti konsistensi ucapan Prabowo dalam hal-hal penanganan korupsi, untuk bisa mewujud dalam tindakan nyata. Ia sungguh menanti langkah apa yang akan diambil Prabowo terkait KPK dalam satu tahun ke depan.

Selemah apapun KPK saat ini, ia masih menyimpan keyakinan bahwa lembaga ini bisa diperbaiki, diperkuat, dan dikembalikan kegarangannya seperti KPK sebelumnya.

“KPK bisa dipulihkan, karena kalau kita mengutip Undang-Undang KPK bahwa KPK berada di bawah, di dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Artinya, dalam skema ini terjadi yang dinamakan kekuasaan eksekutif yang tunggal. Presiden sebagai Pimpinan eksekutif bisa menentukan strategi seperti apa untuk memastikan keberadaan KPK di dalam penegakan anti korupsi,” ungkap Nicky.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *